Langsung ke konten utama

Filsafat Islam Al-Kindi, Al-Razi, dan Al-Farabi



FILSAFAT ISLAM
( Al-Kindi, Al-Razi, dan Al-Farabi)


Disusun Oleh :

Fitriah                      :170101040229
Norhatnah                :170101040952







Segala puji hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam, semoga salawat dan salam dilimpahkan sebanyak-banyaknya kepada rasul yang termulia, Nabi Muhamad Ibnu Abdullah.  Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan Makalah “Pemikiran Filsafat Islam” guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam”
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Pemikiran Filsafat Islam, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai referensi. Telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Unutk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalampembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusunan bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami.
Semoga makalah ini memberikan informasi dan manfaat pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuhuan bagi kita semua.
Banjarmasin, 26 Maret 2018











DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang..........................................................................................................
B.     Rumusan Masalah.....................................................................................................
C.    Tujuan Penulisan.......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A.    Al-Kindi....................................................................................................................       
B.       Al-Razi...........................................................................................................
C.      Al-Farabi .......................................................................................................

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan...............................................................................................................
B.     Saran.........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filasafat Islam di bagian Timur Dunia Islam (Masyriqi) berbeda dengan filsafat Islam di Maghribi ( bagian Dunia Barat). Di antara filosof Islam di kedua kawasan terdapat sebuah perselisihan pendapat tentang berbagai  pokok pengertian. Di Timur ada filosof terkemuka, al-Kindi, al- Razi, dan al-Farabi. Di Barat juga ada filosof terkemuka, Ibnu Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd.
Wajar saja jika filososf filsafat Islam muncul terlebih dahulu di bagian Timur sebelum di bagian Barat. Sebagai akibat adanya peradaban yang berpusat di Syam dan Persia setelah sebelumnya berpusat di Athena dan Iskandariyah. Setelah Islam datang, orang Arab menguasai daerah Persia, Syam, dan Mesir. Kemudian pusat kekhalifaan pindah dari Hijaz (Madinah) ke Damaskus (Syam), sebuah kota yang yang dari politik menjadi pusat kekuasaan Bani Ummayah. Pada masa itu muncul dua kota besar meaminkan peranan penting dalam sejarah pemikiran Islam, yaitu Bashrah dan Kufah. Hingga datangnya kekuasaan orang-orang Bani Abbas, dua kota tersebut memimpin tetap memimpin kehidupan kebudayaan di seluruh dunia. Setelah para penguasa daulat Abbasyiah membangun kota Baghdad, dua kota pusat kebudayaan Islam  Bashrah dan Kufah berpindah ke kota Baghdad. Sejak itu Baghdad menjadi pusat kekhalifaan di samping menjadi pusat  kegiatan ilmu, filsafat dan peradaban. Kaum cendekiawan dan para ahli fikir dari berbgai pelosok dunia banyak yang tertarik ke Baghdad, sehingga kota itu mirip denga Athena pada abad ke-5 SM, atau mirip dengan Paris dalam abad ke-19 Masehi, yaitu sebagai pusat kebudayaan manusia.
Di dalam suasana kehidupan politik dan pemikiran sedang berkembang pesat, muncullah seorang filosof Arab atau filosof Islam: Ya’qub bin Ishaq al- Kindi. Dia seorang filosf peradaban Islam pada abad ke-3 Hijriyah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian al-Kindi, al- Razi, dan al-Farabi ?
2.      Bagaimana pokok-pokok pemikiran filsafat al-Kindi, al-Razi, dan al-farabi ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Al-Kindi
1.      Sejarah Hidup dan Karya-karyanya
Al-Kindi, nama lengkapnya Abdul Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Ash-Shabah bin ‘Imran bin Isma’il bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat. Ia berasal dari kabilah kindah, termasuk kabilah terpandang di kalangan masyarakat Arab dan  bermukim di daerah Yaman dan Hijaz. Setelah dewasa al-Kindi pergi ke Baghdad dan mendapat perlindungan dari khalifah al- Ma’mun (813-833 H) dan khalifah al-Mu’tasim (833-842 H). Al-Kindi menganut paham Mu’tazilah dan kemudian belajar filsafat. Selain belajar filsafat ia juga menekuni dan ahli dalam bidang ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik, meteorologi, optika, kedokteran, politik dan matematika. Penguasaanya terhadap filasafat dan disiplin ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof  terkemuka. Karena itu pula dinilai pantas dalam menyadang gelar Failasuf al-‘Arab (filosof berkebangsaan Arab).
Tentang kapan al-Kindi meninggal tidak ada satu keterangan pun yang pasti. Agaknya menentukan tahun dan wafatnya sama sulitnya dengan menentukan tahun kelahirannya dan siapa saja guru-guru yang mendidiknya. Mustafa ‘Abd Al-Raziq cenderung mengatakan tahun wafatnya adalah 252 H, sedangkan Massingon menunjuk tahun 260 H, suatu pendapat yang diyakini oleh Hendry  Corbin dan Nellino. Sementara itu, Yaqut Al-Himawi mengatakan bahwa Al-Kindi sesudah berusia 80 tahun atau lebih sedikit.
Al-Kindi mengarang buku-buku dan menurut keterangan ibn al-Nadim buku-buku yang ditulisnya berjumlah 241 dalam filsafat, logika, matematika, musik, ilmu jiwa dan lain sebagainya. Corak filsafat al-Kindi tidak banyak yang diketahuinya karena buku-buku tentang filsafat banyak yang hilang. Baru pada zaman belakangan ini orang menemukan kurang lebih 20 lebih risalah al-Kindi dalam tulisan tangan.[1] Beberapa karya tulis al-Kindi antara lain: Fi al-Falsafah al-Ula; kitab al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Falsafah; Riasalat ila al-Ma’mun fi al-‘illat wa Ma’lul; risalat fi Ta’lif al-A’dad; kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Mantaiqiyyat wa al-Mu’tashah wa ma Fauqa al-Thabiyyat; Kammiyat Kutub Aristoteles; Fi al-Nafs.
Beberapa karya tulis al-Kindi telah diterjemahkan oleh Gerard Cremona ke dalam bahasa Latin, yang sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan. Oleh karena itu, beralasan kiranya Cardini menganggap al-Kindi sebagai salah seorang dari dua belas pemikir terhebat.

2.      Pokok-pokok Pemikiran Filsafat al-Kindi
Al-Kindi mengemukakan pokok-pokok pemikiran filsafat dalam berbagai aspek antara lain:
1)      Filsafat Pemandu dan Agama (Talfiq)
Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan antara filasafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Menurutnya antara keduanya tidak bertentangan karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu satu tidak banyak. Ilmu filasafat meliputi ketuhanan, keesan-Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudarat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.
Agaknya untuk memuskan semua pihak, terutama orang-orang Islam yang tidak senang dengan filsafat, dalam usaha pemanduannya ini, al-Kindi juga membawakan ayat-ayat Al-Quran. Menurutnya menerima dam mempelajari filsafat sejalan dengan anjuran Al-Quran yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini. Di antara ayat-ayatnya yang hanya terjemahan adalah sebagai berikut.
a)      Surat Al-Nasyr [59]: 2
………Maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.
b)      Surat Al-A’raf [7]: 185
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang dicipitakan Allah…………….
c)      Surat Al-Ghasiya [88]: 17-20
Maka apakah tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaiamana ia ditegakkan. Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.
d)     Surat Al-Baqarah [2]: 164
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, kapal yang berlayar di laut membawa apa yang mereka berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi yang sudah mati dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebenaran bagi kaum yang memikirkan.
            Pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut: ilmu agama merupakan bagian dari filsafat; wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian; menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.

2)      Falsafat Ketuhanan (Metafisika)
Tuhan dalam falsafat al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah dan mahiah. Tidak aniah karena tidak termasuk yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk. Tuhan juga tidak mahiah karena Tuhan tidak merupakan genus dan spesies. Tuhan adalah Yang Benar Pertama (Al-Haqqul Awwal) dan Yang Benar Tunggal (Al-Haqqul Wahid).
Sesuai dengan faham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta dan bukan Penggerak Pertama sebagai pendapat Aristoteles. Alam bagi al-Kindi bukan kekal di zaman lampau tetapi punya permulaan. Karena itulah ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu.

3)      Filsafat Jiwa
Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad Saw. tidak menjelaskan tegas tentang roh dan jiwa. Bahkan Al-Quran sebagai pokok sumber ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat ruh karena itu urusan Allah bukan Manusia. Dengan adanya hal tersebut, kaum filosof Muslim membahas jiwa berdasarkan pada falsafat jiwa yang dikemukakan para filosof  Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.
Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar. Jiwa mempunyai arti penting , sempurna, dan mulia. Subtansinya berasal dari subtansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungannya dengan cahaya dan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan illahi sementara badan mempunyai hawa nafsu dan marah. Dan perbedaannya jiwa menentang keinginan hawa nafsu.
Pada jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu (yang terdapat di perut), daya marah (terdapat di dada), dan daya pikir (berputar pada kepala.

4)      Akal (Moral)
Dalam jiwa manusia terdapat tiga daya yang telah disebutkan diatas salah satunya ialah daya berpikir. Daya berpikir itu adalah akal. Menurut al-Kindi akal dibagi menjadi tiga macam: akal yang bersifat potensil; akal yang keluar dari sifat potensil dan aktuil; dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersifat potensil tidak bisa mempunyai sifat aktuil jika tidak ada kekuatan yang menggerakannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi al-Kindi ada satu lagi macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bernama akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal tersebut membuat akal yang bersifat potensil dalam roh manusia menjadi aktuil. Sifat-sifat akal ini:
a.       Merupakan akal pertama
b.      Selamanya dalam aktualitas
c.       Merupakan spesies dan genus
d.      Membuat akal potensil menjadi aktuil berpikir
e.       Tidak sama dengan akal potensil tetapi lain dari padanya.

B.     Al-Razi
1)      Biografi
Pertama, al-Razi bernama lengkap Abu Bakr Muhammad bin Zakariyya al-Razi. Dia lahir di Rayy, Propinsi Khurasan, dekat Teheran, pada tahun 856 M./ 251 H. dan wafat tahun 925 M./ 313 H. Menjelang wafatnya, ia terkena penyakit buta, tetapi menolak untuk diobati. Sebab, pertimbangan masaknya berkeputusan: bahwa “begitu banyak dunia yang pernah dili­hatnya, ingin melihatnya lagi”.
Kedua, pendidikan yang diperolehnya dari Hunayn bin Ishaq, mengantarkannya menjadi manusia produktif. Bahkan, produktifitasnya melebihi gurunya, terutama di bidang medis, sebagaimana poin-poin penjelasan berikut.
Ketiga, kepribadian al-Razi dilukiskan sebagai seorang yang sangat murah hati, dermawan dan ulet.  Oleh karena itu dapat dipahami secara logis apabila, dari dua disiplin utama (kedokteran dan filsafat) yang ditekuninya, rentang kehidupannya lebih banyak terkonsentrasi pada bidang medis yang berkaitan langsung dengan jasa pelayanan sosial, dari­pada bidang filsafat yang bertumpu pada kepentingan elit-intelektual/ budaya.
Keempat, kejeniusan dan repuasinya yang baik di bidang kedokteran, menjadikannya diangkat sebagai direktur rumah sakit di Rayy semasa ia menjelang usia tigapuluh tahun, kemu­dian di Baghdad. Bahkan dia berprestasi sebagai “dokter Islam yang tidak ada bandingannya”. Di sisi lain, dia dije­laskan oleh beberapa ahli telah pandai memainkan harpa pada masa mudanya dan pernah menjadi money changer, sebelum beralih ke filsafat dan kedokteran.
Sedangkan karirnya di bidang intelektual terbukti pada karya tulisnya yang tidak kurang dari 200 jilid tentang berbagai pengetahuan fisika dan metafisika (medis, astrono­mi, kosmologi, kimia, fisika, dan sebagainya, kecuali mate­matika, karena beberapa alasan yang tidak diketahui, benar-benar dihindarinya. Dalam bidang medis, al-Razi menulis buku –sebagai karya terbesar-tentang penyakit cacar dan campak, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Bukunya al-Hawi yang lebih terkenal dengan sebutan al-Jami‘, terdiri atas 20 jilid, membahas berbagai cabang ilmu kedokteran, sebagai buku pegangan selama lima abad (abad 13-17) di Eropa dan salah satu dari kesembilan karangan seluruh perpustakaan Fakultas Kedokteran Paris di tahun 1395 M. Bahkan, al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dan measles.
Kelima, khusus di bidang filsafat, hanya sejumlah kecil karya al-Razi, sekitar 100 buku yang telah ditemukan. Berikut ini disajikan karya-karya tersebut:
1.      Sekumpulan karya logika berkenaan dengan Kategori-Kategori, Demonstrasi, Isagoge, dan Kalam Islam;
2.      Sekumpulan risalah tentang metafisika pada umumnya;
3.      Materi Mutlak dan Partikular;
4.      Plenum dan Vacum, ruang dan waktu;
5.      Fisika;
6.      Bahwa dunia mempunyai Pencipta yang Bijaksana;
7.      Tentang keabadian dan ketidakabadian tubuh;
8.      Sanggahan terhadap Proclus;
9.      Opini fisika: “Plutarch” (Placita Philosophorum);
10.  Sebuah komentar tentang Timaeus;
11.  Sebuah komentar terhadap komentar Plutarch tentang Temaeus;
12.  Sebuah risalah yang menunjukkan bahwa benda-benda ber­gerak dengan sendirinya dan gerakan itu pada hakikatnya adalah milik mereka;
13.  Obat pencahar rohani (Spiritual Physic);
14.  Jalan filosofis;
15.  Tentang Jiwa;
16.  Tentang perkataan imam yang tak dapat salah;
17.  Sanggahan terhadap kaum Mu’tazilah;
18.  Metafisika menurut ajaran Plato; dan
19.  Metafisika menurut ajaran Socrates.
Melalui karya-karyanya, al-Razi menampilkan dirinya sebagai filosof-platonis, terutama dalam prinsip “lima ke­kal” dan “jiwa”nya. Di samping itu, ia juga pendukung pan­dangan naturalis kuno.
Selain ulet, ia juga seorang tokoh intelektual yang berani, sehingga ia dijuluki sebagai tokoh non-kompromis terbesar di sepanjang sejarah intelektual Islam. Di antara bukti keberaniannya dituangkan dalam pandangannya tentang “jiwa” dan “kenabian dan agama”.
Keenam, meskipun al-Razi menulis sejumlah karya monu­mental dan memiliki keberanian pemikiran, akan tetapi pamor kreasi kemedisannya lebih mencuat dibanding dengan buah filsafatnya. Oleh karena itu dapat dipahami, apabila dalam seleksi unggulan peta kajian filsafat –baik di panggung global maupun di ring filsafat Islam sendiri–, ia tidak terekrut di dalamnya. Demikian ini didasarkan pada sejauh beberapa referensi yang telah penulis periksa, sebagaimana kajian-kajian Anhari, Collinson dan Wilkinson, al-‘Iraqi, Hashim, Hanafi, dan Aceh. Kecuali kajian-kajian berikut yang memproporsikan al-Razi sesuai dengan kadar pendekatannya.
Kajian Fakhry yang menempatkan al-Razi pada periode awal penulisan filsafat sistematik (abad kesembilan). Kajian Madkour yang memposisikan al-Razi pada sisi kecil tentang teori kenabian yang berdampingan secara aktif dengan bebera­pa tokoh dan mazhab filsafat Yunani dan Islam. Kemudian, kajian Ali yang secara khusus membahas al-Razi –meskipun sangat ringkas- sebagai anggota mazhab filsafat Dunia Islam bagian Timur.

2)      Pokok-pokok filsafat
Perhatian utama filsafat al-Razi adalah jiwa, kemudian lima yang kekal. Setelah itu, moral, kenabian dan agama, yang merupakan sisi pengembangan daya kritik intelektualnya.
Jiwa merupakan titik kesamaan perhatian utama antara al-Razi dan Plato. Untuk ini ada ilustrasi indah untuk menggambarkan substansi pokok filsafat Plato (Platonik) sebagaimana dipresentasikan oleh Gaarder: “… suatu kerin­duan untuk kembali ke alam jiwa…”.
a.       Metafisika (Lima yang kekal )
Prinsip lima yang kekal (five co-eternal principles/ al-mabadi’ al-Qadimah al-Khamsah) menurut al-Razi adalah: (1) Sang Pencipta, (2) jiwa universal, (3) materi pertama, (4) ruang absolut, dan (5) waktu absolut.
Ali memberikan penjelasan secara pasrial demikian:
1.      Sang Pencipta adalah Tuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna.
2.      Jiwa universal adalah jiwa yang hidup dari jasad ke jasad sampai suatu waktu menemukan kebebasan yang hakiki.
3.      Materi pertama adalah materi yang dari padanya Tuhan menciptakan dunia. Materi ini terdiri dari atom-atom yang mempunyai volume. Atom-atom ini mengisi ruang sesuai dengan kepadatannya. Tanah merupakan atom yang paling padat, kemudian air, hawa dan api.
4.      Ruang absolut adalah adalah ruang yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir.
5.      Masa absolut adalah masa yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir.

b.      Moral
Gagasan al-Razi tentang moral beraset konsep transmi­grasi jiwanya, yang tertuang dalam karyanya Philosophical Way (Jalan Filsafat), tarutama berkenaan dengan masalah penyembelihan hewan.
Al-Razi merasa terganggu oleh penderitaan hewan, teru­tama yang diakibatkan oleh perlakuan manusia. Menurutnya, penyembelihan hewan buas dapat dibenarkan sebagai pemeliharaan terhadap terhadap kelangsungan hidup manusia. Tetapi hal itu tidak dapat diterapkan kepada hewan-hewan piaraan. Menurut hematnya, bahwa penyembelihan itu diartikan sebagai pembebasan jiwa mereka dari penghambaan kepada tubuh, dan dengan demikian menjadikan mereka lebih dekat dengan takdir akhirnya. dengan memberikan kemungkinan bagi mereka “tinggal dalam tubuh lain yang lebih baik, seperti tubuh manusia.

c.       Kenabian
Bagi al-Razi, akal menjadi kompas utama dalam kehidupan setiap manusia. Akal diberikan oleh Tuhan kepada setiap insan dalam kekuatan yang sama. Perbedaan timbul karena pengaruh pendidikan, lingkungan dan suasana. Manusia bebas untuk menerima ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya. Sebab, ilmu itulah yang akan menyucikan jiwanya, untuk dapat kembali kepada Tuhannya.
Al-Razi tidak percaya kepada para Nabi. Sebab, mereka dipandangnya hanya membawa kehancuran bagi manusia. Kebenar­an wahyu yang didakwahkannya, tidak benar adanya. Oleh karenanya, al-Qur’an dengan uslubnya tidak merupakan mu’ji­zat bagi Muhammad. Ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebih kongkret daripada wahyu. Oleh karena itu, kegiatan membaca buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya lebih berar­ti daripada membaca buku-buku agama.
Selanjutnya, dalam hubungan kenabian dan agama, al-Razi menegaskan bahwa para Nabi tidak berhak mengklaim bahwa mereka memiliki keistimewaan khusus, baik rasional maupun spiritual, karena semua manusia sama. Padahal keadilan dan kemahahakiman Tuhan memastikan untuk menolak memberikan keistimewaan kepada seseorang di atas orang lain.
Sedangkan mukjizat dipandangnya sebagai bagian dari mitos keagamaan atau rayuan dan keahlian yang dimaksudkan untuk menipu dan menyesatkan. Ajaran agama saling kontradik­tif, karena satu sama lain saling menghancurkan, dan tidak sesuai dengan pernyataan bahwa ada realitas permanen. Hal itu dikarenakan setiap Nabi membatalkan risalah pendahulunya, akan tetapi menyerukan bahwa apa yang dibawanya adalah kebenaran, bahkan tidak ada kebenaran lain, dan menusia menjadi bingung tentang pimpinan dan yang dipimpin, panutan dan yang dianut. Semua agama merupakan sumber peperangan yang menimpa manusia sejak dulu, di samping merupakan musuh filsafat dan ilmu pengetahuan.
Alur pikiran di atas dapat dipahami, bahwa, dalam pandangan al-Razi, agama itu hanya warisan tradisional yang diikuti oleh masyarakat karena tradisi saja. Oleh karena pandangannya yang demikian, maka al-Razi dapat disebut seorang ateis, karena mengkritik semua agama. Tetapi di sisi lain, ia seorang monoteis sejati yang mengaku adanya Tuhan Pencipta, sehingga baginya, nabinya adalah akalnya sendiri.
Kritik terhadap al-Razi, dengan cara yang tajam pernah disampaikan oleh Abu al-Hatim al-Razi (w. 330 H.) –seorang yang sezaman dan senegara dengan al-Razi–dalam kitabnya A’lam al-Nubuwwah. Di dalamnya tidak ditegaskan nama al-Razi, akan tetapi cukup mengarahkan kritiknya kepada orang yang disebutnya al-Mulhid (sang ateis). Namun ada indikasi pasti yang menunjukkan bahwa sang ateis ini bukan orang lain selain al-Razi. Buku tersebut memuat protes fundamental yang diarahkan oleh al-Razi kepada kenabian dan pengaruhnya secara sosial. Protes-protes ini, secara global, mendekati semua protes yang sebelumnya telah dikobarkan oleg al-Rowan­di. Seakan kedua tokoh tersebut mengulangi nada yang sama.
Sebenarnya al-Rowandi –rekan sezaman dengan al-Razi-amat masyhur dan mempunyai keberanian intelektual yang luar biasa, sampai-sampai ia benar-benar berani memperolokkan al-Qur’an dengan meniru-nirukannya dan menertawakan Muhammad. Tetapi, namanya tertutupi oleh al-Razi. Dalam hemat penu­lis, di antara kemungkinan ketertutupan ini adalah karena al-Rowandi terfokus pada arogansi intelektual dan karyanya tidak seberapa banyak. Sedangkan al-Razi, di samping karya filsafatnya lebih banyak daripada karya al-Rowandi, juga karena reputasi kepustakaan maupun jasa pelayanan sosialnya di bidang medis. Apalagi karya al-Hawinya telah menembus jaringan prestisius di Eropa selama lima abad.

C.    Al-Farabi
1)      Rekonsiliasi (Pemaduan)
Al-Farabi telah berhasil mengrekonsiliasikan  beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles dan juga juda antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal filosof sinkretisme yang mempercaya kesatuan filsafat.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam itu hakikatnya satu, yaitu sama-sama mencari kebenaran yang satu, karena tujuan filsafat ialah memikirkan kebenaran sedangkan kebenaran itu hanya satu macam dan serupa pada hakikatnya. Justru semua aliran filsafat  pada prinsipnya  tidak ada perbedaan. Kalaupun berbeda, hanya pada lahirnya. Upaya ini terealisasikan ketika ia mendamaikan pemikiran Aristoteles dengan Plato dalam bukunya yang populer al-Jam ‘bain al-Ra’yai al-Hakimain. Dan antara filsafat dan agama
Cara Al-Farabi menyatukan kedua filosof di atas ialah dengan mengajukan pemikiran masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya. Setiap dalam pembicaran masalah idea yang menjadikan bahan bahasan polemik antara Aristoteles dan Plato. Filosof yang disebut pertama yang tidak dapat membenarkannya karena, menurutnya, alam idea hanya terdapat dalam pikiran. Sedangkan fiosof yang disebut kedua mengakui adanya dan berdiri sendiri.
Untuk mempertemukan kedua filosof ini, Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan takwil apabila ia menemukan pertentangan pikiran antara keduanya. Kemudian, ia tegaskan lebih lanjut, sebenarnya Aritoteles mengakui alam rohani yang teradapat diluar alamini dan perkataannya yang mengingkari alam rohani tersebut dapat ditakwilkan. Jadi, kedua filosof tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada Zat Allah.
Sebenarnya, Al-Farabi telah keliru menganggap tidak terdapat perbedaan antara Aristoteles. Padahal, sesungguhnya buku tersebut adalah karya Plotinus, yang berisikan penetapan ala idea terletak bukan pada benda. Dengan demikian, pada hakikatnya Al-Farabi merekonsiliasikan antara plato dan Plotinus, bukan antara Plato dan Aristototeles.
Disamping itu telihat pula usaha Al-Farabi merekonsialisasikan antara agama dan filsafat. Menurutnya para filosof Muslim menyakini, Al-Quran dan hadits adalah hak dan benar dan filsafat juga adalah benar. Kebenaran itu tidak boleh lebih dari satu. Justru itu ia tegaskan bahwa antra keduanya tidaklah bertentangan, bahkan mesti cocok dan serasi karena sumber keduanya sama-sama dari Akal Aktif, hanya yang berbeda cara memperolehnya. Bagi filosof perantaranya Akal Mustafad, sedangkan dalam agama perantaranya wahyudisampaikan kepada nabi-nabi. Kalau ada perlawanan, itu hanya dari segi lahirnya dan tidak sampai menembus batinnya. Untuk menghilangkan perlawanan itu harus dipakai takwil filosofis dan tidak meninggalkan pertentangan kata-kata. Filsafat memberikan kebenaran dan agama juga menjelaskan kebenaran. Oleh kaena itu, Al-Farabia tidaklah berbeda kebenarannya yang disampaikan para nabi dengan kebenaran yang dimajukan filosof, dan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani. Akan tetapi, hal ini tidak berarti Al-Farabi menerima kelebihan filsafat dari agama.

2)      Ketuhanan
a.       Pemikiran tentang Tuhan
Al-Farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengkompromikan anatara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal (wujud pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Bentuk filsafat neo-Platonisme sendiri praktis telah melaksanakan penyatuan filsafat plato dan Aristoteles dalam dirinya. Konsep Al-Farabi ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran Islam. Dalam membuktikan adanya Allah Al-Farabi mengemukakan dalilWajibul al-Wujud dan Mumkin al-Wujud ( De Boar, 1954:162).
Dengan demikian Al-Farabi membagi wujud kepada dua bagian, yaitu:
1.      Wujud yang nyata dalam sendirinya (Wajibul-wujud li dzatihi).
Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya. Esensinya adalah wujud yang sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya. Ia ada selamanya, wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemuslihatan sama sekali. Ia adalah sebab pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).

2.      Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya.
(wajibul-wujud lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Atau dengan perkataan lain cahaya adalah wujud yang mumkin, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata (wajib)karena matahari.
Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebabyang pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyatadan yang pertama kali ada. Bagaimanapun juga panjangnyarangkaian wujud yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena sesuatu yang mumkin tidak bisa memberi wujud kepada dirinya sendiri.
 Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa sesuatu sebab, kalu ada sebab bagi-Nya, maka adanya Tuhan tidak sempurna tidak lagi, berarti adanya Tuhan bergantung pada sebab yang lain. Ia wujud yang paling dahulu dan paling mulia, yang tidak berawal dan tidak berakhir, sebagai sebab pertama berarti Tuhan tidak ada yang mengawali dan tidak memerlukan yang lain. Wujud-Tuhan adalah Zat yang paling azali dan yang selalu ada. Wujud-Nya tidak terdiri dar Matter (benda) dan from (bentuk/surah), yaitu dua bagian pada makhluk. Karena kesempurnaan itu, maka tidak ada sesuatu yang sempurna yang terdapat pada selain-Nya.
Tuhan itu Maha Esa, tidak terbatas dalam segala sesuatunya, bila ada hal-hal yang membatasi berarti Tuhan tidak Esa lagi. Maka Tuhan tidak dapat dirumuskan sama sekali denagn batasan yang akan memberikan pengertian pada manusia, sebab suatu batasan berarti suatu  penyusunan yang akan menggunakan golongan dan pembedaan atau digunakan pengertian zat dan bentuk, seperti memberi definisi kepada sesuatu benda atau barang.

b.      Sifat Tuhan
Dalam metafisikanya tentang ketuhanan Al-Farabi hendak menunjukkan keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya. Juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan zat (substansi) Tuhan. Sifat Tuhan tidak berbeda dari zat-Nya. Karena Tuhan adalah tunggal. Juga zat Tuhan menjadi obyek pemikiran sendri (ma’qul), karena yang mengahalang-halangi sesuatu untuk menjadi obyek pemikiran ialah benda itu pula. Jadi ia adalah obyek pemikiran, karena ia adalah akal pikiran. Ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain untuk memikirkan Zat-Nya sendiri tetapi cukup dengan Zat-Nya itu sendiri pula untuk menjadi obyek pikiran.
Tuhan juga adalah Zat yang MahaMengetahui (‘alim) tanpa memerlukansesuatu yang lain untuk dapat mengetahui. Jadi Tuhan cukup dengan zat-Nya sendiri untuk mengetahui dan diketahui. Ilmu (pengetahuan) Tuhan terhadap diri-Nya tidak lain hanyalah zatnya sendiri juga. Dengan demikian, maka ilmu dan zat yang mempunyai ilmu adalah satu juga.
Jadi menurut Al-farabi tidak ada perbedaan antara sifat Tuhan dengan zat (substansi) Tuhan, sifat Tuhan yang berarti juga substansi Tuhan. Tuhan sendiri sebenarnya akal, sebab segala sesuatu yang tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Begitu pula denga wujud yang pertama (Tuhan). Zat (substansi) Tuhan yang satu itu adalah akal (pikiran). Akal adalah zat (substansi) yang berfikir, tetapi sekaligus juga menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri.


c.       Pembuktian Adanya Tuhan
Dalam membuktikan adanya Tuhan ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dalil ontologi, dalil teologi dan kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut(ontologi, teologi dan kosmologi) untuk samapai kepada kesimpulan adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh para pemikir Islam. Diantar dalil yang banyak dipakai adalah dalil ciptaan atau dalil kosmologi menurut istilah metofisika.
Dalil kosmologi melihat alam sebagai makhluk suatu akibat yang terakhir dalam rangkaian sebab akibat. Pada akhirnya hubungan sebab akibat akan berhenti pada satu sebab pertama, karena pada dasarnya kita tidak dapat memikirkan adanya rentetan sebab akibat yang tidak berkesudahan (berkeputusan). Al-Farabi dalam membuktikan adanya Tuhan menggunakan dalil penciptaan ini.
Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan, pertama asda sebagai kemungkinan disebut wujud yang mungkin, kedua ada sebagai keharusan disebut dengan wujud yang wajib. Dalam keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh ada yang lain, dan keadaan yang kedua adanya tanpa sesuatu yang lain ada dengan sendirinya dan sebagai keharusan.
Pembuktian dengan dalil kosmologi seperti yang dilakukan oleh Al-Farabi termasuk dalil yang sederhana mudah dimengerti, tetapi kelemahan dalil ini berpangkal dari suatu keyakianan yang mengharuskan adanya Tuhan.

3)      Emanasi
Al-Farbi manemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak (alam( yang bersifat materi dari Yang Maha Esa (Allah) jauh dari arti ateri dam Maha sempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan buakanlah pencipta alam, melaikan Penggerak Pertama (prime cause), seperti yang dikemukakan Aristoteles. Sementara dalam doktrin ortodok Islam (al-mutakallimin), Allah adalah Pencipta (shani, Agent), dari menciptakan dari tiada menjadi ada (ceiro ex nihillo).. unutk mengislamkan doktrin ini Al-Farabim, juga filosof lainnya mencari bantuan kepada Neoplatonis monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah pencipta.. dengan arti, Allah menciptakan alam semenjak alam azali, energi alam berasal dari energi yang kadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu, menurut filosof muslim, kun Allah yang temaktub dalam Al-Quran di tunjukan kepada syai (sesuatu) bukan kepada Iasyai (nihil).
Telah dikemukakan bahwa Allah adalah Aql, Aqil,  dan Ma’qul.  Ia sebut Allah adalah Aql  karena Allah pencipta dan pengatur alam, yang beredar menurut aturan yang luar biasa rapi dan teratur tanpa cacat sedikitpun, mestilah suatu subtansi yang memiliki daya berpikir yang luar biasa. Oleh sebab itu, cara Allah menciptakan alam ialah dnegan ber-ta’aqqul terhadap zat-Nya dengan proses sebagai berikut.
Allah Mahasempurna, ia tidak memikirkan dan berhubungan dengan alam karena terlalu rendah bagi-Nya untuk memikirkan dan berhubungan dengan alam yang tidak sempurna. Allah cukup memikirkan – membedakan antara term aql  dan fikr  dalam terminologi Al-Quran—zat-Nya, maka terciptalah energi yang maha dasyat secara pancaran dan dari energi inilah terjadinya akal pertama (jugamemandat dalam bentuk materi). Akal pertama berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kedua dan berpikirkan dirinya menghasilkan langit pertama. Akal kedia berpikir tentang Allah menghasilkan Akal ketiga dan berpikir  tentang dirinya menghasilkan bintang-bintang. Akal ketiga berpikir tentang Allah menghasilkan Akal keempatdan berpikir tentang dirinya menghasilkan Saturnus. Akal keempat berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kelima dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Yupiter. Akal kelima berpkir tentang Allah menghasilkan akal keenamdan berpikir tentang dirinya menghasilkan Mars. Akal keenam berpikir tentang Allah menghasilkan Akal ketujuh dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Matahari. Akal ketujuh berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kedelapan dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Venus. Akal kedelapan berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kesembilan dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Merkuri. Akal kesembilan berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kesepuluh dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Rembulan. akal kesepuluh, karena adanya akal ini sudah lemah, maka ia tidak dapat lagi menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh, dan metri pertama menjadi dasar keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah. Akal kesepuluh ini disebut dengan Akal Fa’al (Akal aktif) atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang mengurusi kehidupan di bumi.
Akal-akal dan planet-planet itu terpancar secara beruntutan dalam waktu yang sama. Hal ini dapat terjadi karena dalam Allah berpikir tentang diri-Nya, dissebutkan, menghasilkan daya atau energi.
Kalau pada Allah hanya terdapat satu objek pemikiran, yakni zat-Nya, sedangkan pada akal-akal erdapat objek pemikiran Allah dan akal-akal.
Di sini yang perlu dipertanyakan, faktor apa yang mendorong Al-Farabi mengemukakan emanasi ini? Tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan Allah, bahkan melebihi Al-Kindi. Allah bukan hanya dinegasikan dalam artian ‘aniah dan mahiah, tetapi juga lebih jauhlagi. Allah adalah Esa sehingga tidak mungkin Ia berhubungan dengan yang tidak Esa atau yang banyak. Andaikan alam diciptakan secara langsung oleh Allah, maka mengakibatkan Ia berhubungan dengan yang tidak sempurna dan ini akan menodai keesaan-Nya oleh sebab itu, dari Allah hanya timbul satu, yakni Akal pertamaberfungsi sebagai mediator antara Yang Esa dan banyak sehingga dapat dihindarkan hubungan antara Ynag Esa dan yang banyak.
Emanasionisme Al-Farabi ini jelas cangkokan doktrin Platonius yang dikombinasikan dengan sistem kosmologi Platomeus sehingga menimbulkan kesab bahwa Al-Farabi hanya mengalihbahasakan dari bahasa sebelumnyake dalam bahasa Arab. Menurut Nurcholish Majid, Al Farabimempelajari dan mengambil ramuan asing ini terutama paha ketuhanannya memberikan kesan tauhid.

4)      Kenabian
Filsafat kenabian Al-Farabi erat kaitannya antara nabi dan filosof dalam kesanggupanya untuk mengadakannya komunikasi dengan akal fa’al. Motif lahirnya filsafat Al-Farabi ini  disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi kenabian secara filosofis  oleh Ahmad Inu Ishaq Al-Ruwandi (w. Akhir abad III H). Tokoh yang berkebangsaan Yahudi ini menurunkan beberapa karya tulis yang isinya mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad Saw. Khususnya kritiknya ini dapat dideksripsikan sebagai berikut:
a.       Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia, karena Tuhan telah mengaruniakan akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nyadan dapat pula mengetahui perbuatan baikm dan buruk.
b.      Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya thawaf di Ka’bah, dan sa’i di Bukit Shafa dan Marwah dengan tempat-tempat lain.
c.       Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia.
d.      Al-Qur’an bukanlah Mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (Al-khawariqal-adat). Orang yang non Arab jelas saja heran dengan balaghah Al-Quran, karena mereka tidak kenal dan memgerti Bahsa Arab dan Muhammad adalah kabilah yang paling fasahah dikalangan orang Arab.
Dalam suasana yang demikian, Al-Farabi merasa terpanggil untuk menjawab tantangan tersebut. Karena kenabian adalah asa sentral dalam agama, apabila ia telah batal, maka akibatnya membawa kebatalan pada agama itu sendiri.
Al-farabi adalah filosof muslim pertama yang mengemukakan filsafat  kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak ada penambahan oelh filosof-filosof sesudahnya. Filsafatnya ini didasarkan pada psikologi dan metafisika yang erat hubungannya denga ilmu politik dan etika.
Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan akal fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapt mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.
Telah dimaklumi bahwa ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi waktu tidur dan waktu bangun. Dengan kata lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan keduanya hanya terletak pada tingkatannya dan tidak mengenai esensinya. Mimoi yang benar tidak lain adalah satu tanda dari tanda kenabian.
Menurut Al-Farabi, bila kekuatan imajinasi pada seseorang kuat sekali, oobjek indrawi dari luar tidak akan dapat mempengaruhinya sehingga ia dapar berhubungan dengan akal fa’al. Apabila kekuatan imajinasinya telah mencapai taraf kesempurnaan, tidak ada halangan bainya menerima peristiwa-peristiwa sekarang atau mendatang dari Akal Fa’al pada waktu bangun. Dengan adanya penerimaan demikian maka ia dapat nubuwwat terhadap perkara-perkara ketuhanan.
Jadi, ciri khas seorang nabi oleh Al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan Aka; Fa’al ia dapat menerima visi dan kebenara-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyutidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (Akal kesepuluh) yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah Malaikat Jibril. Sementara itu filosof dapat berkomnikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkapn hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal kesepuluh.
Sampai di sini terkesan bahwa kenabian telah menjadi suatu yang dapat diusahakan (muktasabat). Akan tetapi, jika diamati secaa cermat; kesan ini meleset sama sekali. Hal ini disebabkan nabi adalah pilihan Allah dan komunikasinya dengan Allah bukan melalui Akal mustafad, tetapi melalui akal dalam derajad materiil. Seorang nabi dianugrahi Allah akal yang mempunyai daya tangkap yang luas biasa sehingga tanpa latihan dapat mengadakan komunikasi langsung dengan akal kesepuluh (Jibril). Akal ini mempunyai kekuatan suci (qudsiyyat) dan di beri nama hads.  Tidak ada akal yang lebih kuat daripada demikian dan hanya nabi-nabi yang memperoleh akal seperti itu. Sementara itu, filosof dapat berhubungan dengan akal kesepuluh adalah usaha sendiri, melalui latihan dan pemikiran. Seorang filosof hanya memiliki akal mustafad (perolehan) lebih rendah dari pada nabi yang mempunyai akal meteriil dan hads. Oleh karena itu, setiap nabi adalah filosof dan tidak semua filosof itu nabi. Akan tetapi, filosof tidak bisa menjadi nabi, yang selamanya ia (nabi) tetap manusia Allah.
Dari sisi pengetahuan dan sumbernya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, antara filosof dan nabi terdapat kesamaan. Oleh karena itu, Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat sebab antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Demikian pula dengan mukjizat sebagai bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari Akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.
Dari uraian di atas telihat keberhasilan Al-Farabi dalam menjelaskan kenabian secara filosofis dan menafsirkannya secara ilmiah yang dapat dikatakan tiada duanya, terutama di “pentas” filsafat Islam.

5)      Kenegaraan dan Politik
Manusia menurut Al-Farabi seperti halnya Plato, Aristoteles dan ibn Abi Rabi’, bersifat sosial yang tidak mugkin hidup sendiri-sendiri. Makhluk yang berkecenderungan alami untuk hidup bermasyarakat dan bantu-membantu untuk kepentingan bersama dalam mencapai  tujuan hidup, yakni kebahagiaan. Hal ini karena manusia tidak mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerja sama denagn pihak lain.
Pendapat Al-Farabi tentang tujuan hidup bermasyarakat memperlihatkan pengaruh keyakinan agamanya sebagai seorang muslim, di samping pengaruh tradisi Plato dan Aristoteles yang mengaitkan politik dengan moralitas dan etika.
Al-Farabi membagi masyarakat ke dalam dua macam, yakni
a.       Masyarakat sempurna, masyarakat sempurna diklasifikasikan menjadi:
1.      Masyarakat sempurna besar, adalah gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama (perserikatan bangsa-bangsa).
2.      Masyarakat sempurna sedang, adalah masyarakat yang terdiri atas satu bangsa yang menghuni disatu wilayah dari bumi ini (negara nasional).
3.      Masyarakat sempurna kecil, adalah masyarakat yang terdiri atas para penghunisatu kota (negara kota).

b.      Masyarakat tidak sempurna atau belum sempurna, adalah penghidupan sosial di tingkat desa, kampung, lorong dan keluarga. Selanjutnya, di antara tuga bentuk penghuni sosial itu, keluarga merupakan yang paling tidak sempurna.
Perkembangan dari tidak/kurang sempurna menjadi sempurna menurut Al-Farabi bertingkat-tingkat. Mula-mula, masyarakat manusia berupa masyarakat yang terbesar, lalu menjadi masyarakat desa dan kampung, kemudian menuju ke masyarakat kota yang sempurna dan berpemerintahan. Al-Farabi berpandangan bahwa masyarakat sempuna itu ialah masyarakat yang mengandung keseimbangan diantara unsur-unsrunya. Perbedaannya hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar maka dalam diri manusia unsur-unsur itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatnya.
Pandangan ini didasari oleh pemikiran filsafatnya bahwa manusia tidak sama satu sama lainnnya, disebabkan bnayak faktor, antara lain: faktor iklim dan lingkungan tempat mereka hidup, dan faktor makanan. Faktor-faktor tersebut banyak berpengaruh dalam pembentukan watak, pola pikir dan perilaku, orientasi atau kecendurangan serta adat kebiasaan.
Berbeda dengan Al-Farabi, Ibu Sina (370-425H/980-1033M) mempumyai pandangan berbeda-bedanya manusia dengan sesamanya adalah “anugrah Tuhan” yang dijadikannya untuk memelihara keselamatan hidup dan perkembangan kemajuan hidupnya.jika semua manusia bersamaan dalam segala hal, pasyilah membawa kemusnahan mereka.
Dalam hal filsafat kenegaraan, Al-Farabi membedakan negara menjadi liama macam:
1.      Negara utama (al-Madinah al-Fadhilah ) yaitu negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Menurutnya negara terbaik adalah negara yang dipimpin oleh rosul dan kemudian oleh para filosof.
2.      Negara orang-orang bodoh  ( al-Madinah al-Jahilah ), yaitu negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
3.      Negara orang-orang fasiq ( al-Madinah al-Fasiqah ) yakni negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan dan akal  ( fa’alal-Madinah al-Fadilah )  tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negeri yang bodoh.
4.      Negara yang berubah-ubah( al-Madinah al-Mutabaddilah ) ialah yang penduduknya semula mempunyai fikiran dan pendapat seperti yang dimiliki negara utama tetapi kemudain mengalami kerusakan.
5.      Negara sesat ( al-Madinah al-Dallah ), yaitu negara yang penduduknya mempunyai konsepsi pemikiran yang salah tentang Tuhan dan akal fa’al, tetpi kepala negaranya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan kemudian menipu orang banyak denagn ucapan dan perbuatan.

Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur negaranya. Disini nyata teori kenegaraan iti paralel dengan filsafat mettafisikanya tentang kejadian alam ( emanasi yang bersumber pada yang satu ). Al-Farabi menegaskan bahwa negeri yang utama adalah negeri yang memperjuangkan kemakmuran dan kebhagiaan warga negaranya.
Al-Farabi berpendapat, ilmu polotik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Kebahagiaan manusia diperoleh karena perbuatan atau tindakan dan cara hidup yang dijalankannya. Al-Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan yang hakiki (sebenanya) tidak mungkin dapat diperoleh sekarang (di dunia ini), tetapi sesudah kehidupan sekarang yaitu kehidupan akhirat. Namun sekarang ini juga ada kebahagiaan yang nisbi seperti halnya kehormatan, kekayaan, dan kesenangan yang dapat nampak dan dijadikan pedoman hidup.
Ada dua macam prolem politik yaitu:
1.      Pemerintah atas dasar penegakkan terhadap tindakan-tindakan yang sadar, cara hidup, disposisi positif dasar ini dapat djadikan upaya untuk mendapat kebahagiaan. Pemerintah atas dasar demikian disebut pemerintah utama, dimana sebagai ciri kota-kota dan bangsa-bangsanya tunduk terhadap pemerintah.
2.      Pemerintah atas dasar penegakkan terhadap tndakan-tindakan dan watak-watak dalam rangka mencapai sesuatu yang diperkirakan mendapat suatu kebahagiaan, maka muncul beraneka ragam bentuk pemerintah, apabila yang dikejar kejayaan semata dapat dianggap sebagai pemerintah yang rendah, jiak mengejar kehormatan, disebut pemerintah kehormatan, dan pemerintahan bergantung kepada apa yang menjadi tujuannya.

Tujuan lain dari filsafat politik Al-Farabi adalahpembentukan pemimpin-pemimpin politik yang handalpemimin politik memiliki fungsi sebagai dokter yang menyembuhkan jiwa sehingga dengan kepemimpinannya jiwa masyarakat akan selalu sehat terutama dalam meraih sesuatu yang baikdan menghindar dari yang jahat. Kemampuan politisnya harus digunakan untuk menjaga nilai-nilai yang mampu mengembangkan masyarakat.

6)      Jiwa
jiwa manusia berasal dari materi asalnya memancar dari akal kesepuluh. Jiwa adalah jauhar  rohani sebagai from bagi jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduany mempunyai sebstansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqal,  berasal dari alam ilahi, sedanglan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Bagi Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
a.       Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b.      Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang medorong untuk merasakan dan berimajinasi.
c.       Daya al-Nathiqat (bepikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingkatan berikut.
1.      Akal Potensial (al-Hayulani), ialah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti; melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.
2.      Akal Aktual (al-Aql bi al-fil), akal yang dapat melepaskan arti0arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyau wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi telah dalam bentuk actual.
3.      Akal Mustafad (al-Aql al-Mustaafad), akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuj mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh.
Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan filsafat Negara utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa ini, menurut Al-Farabi, akan kembali kea lam nufus, (alam kejiwaan) dan abadidalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada Negara fasiqahi, yakni jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan segala perintah allah, ia kembali kealam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan. Sementara itu, jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni yang tidak kenal dengan Allah dan tidak pernah melakukan perintah Allah, ia lenyap bagaikan jiwa hewan.






















PENUTUP
A.      Kesimpulan

Dalam bagian akhir ini, ada beberapa hal yang perlu disampaikan. Bahwa filsafat Islam adalah hasil dari asimilasi dari filsafat Yunani, materi atau bahan yang terdapat dalam sistem filsafat (Islam) ini diambil dari pemikiran Yunani atau deduksi dari pemikiran tersebut. Oleh karena itu, dalam hal isu dan muatannya, bisa dikatakan semuanya bersumber dari Yunani, tetapi dalam hal bentuk, sistem ini jelas mendapat cap Islam. Di dalamnya terkandung orisinalitas yang brilian pada satu pihak, dan nasibnya yang tragis dalam sejarah Islam pada pihak lain, karena, gagal memenuhi keinginan kalangan ortodoks maka keberadaannya tidak dijamin. Akan tetapi tetap merujuk dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi dalam berpikir, dengan kata lain bahwa Filsafat Islam adalah hasil dialektika antara wahyu dan akal untuk memahami realitas.
Dapat disimpulkan, dari lahirnya para tokoh di atas tadi yang menjadi sebab adanya karya-karya mereka yang banyak, merupakan hal yang membanggakan bagi khazanah keilmuan islam. Sayangnya saja, karya-karya mereka yang banyak itu tidak kita temui secara keseluruhan pada saat ini, karena terjadinya keadaan-keadaan yang menyulitkan para filosof, seperti halnya kejadian yang menimpa ibnu rusyd yang karya-karyanya di bakar.

B.       Saran

Belajarlah dari filsafat di atas mereka banyak membuat sebiah karya yang membuat islam mendapatkan pengetahuan baru dan ilmu yang tidak pernah mereka ketahui . kita sebagai pemuda penerus bangsa harus kuat atau teguh dengan iman dan juga harus bisa berkarya dengan pemikiran-pemikiran yang membawa kebaikan tetapi juga harus pemikiran yang dapat dipertanggung jawabkan.



DAFTAR PUSTAKA
Ø  Nasution, Hasymsyah. Filsafat Islam. Gaya Media Pratama. Jakarta:1999
Ø  Sudarsono. Filsafat Islam. PT Rineka Cipta. Jakarta: 1997

Komentar