Makalah Ilmu Fiqih
Ijtihad
BAB I
PENDAHULUAN
Tinjauan Historis
Secara historis, ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad saw, dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan tabi’in serta masa-masa generasi selanjutnya hingga kini dan mendatang dengan mengalami pasang surut dan karakteristiknya masing-masing. Bahwa ijtihad itu telah ada sejak zaman Rasul saw, antara lain dapat dilacak dari riwayat ‘Amr bin ‘Ash yang mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Apabila seorang hakim hendak menetapakan suatu hukum kemjudian dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata salah ijtihadnya maka untuknya satu pahala”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa, ijtihad berarti bersungguh-sungguh, bersusah payah, menggunakan segenap kemampuan. Maka, sebagian kaum muda beranggapan bahwa jika mereka bersusah payah menggali hukum syar’iyyah dengan segenap ilmunya yang sangat minim dan segenap kemampuan akalnya yang dangkal, itu adalah ijtihad.
Namun dikalangan ulama, ijtihad khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (fuqoha) untuk mengetahui hukum syari’at. Adapun Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at.
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul.
Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum islam). Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).
B. Kedudukan Ijtihad
Ijtihad diberlakukan dalam berbagai bidang, yakni mencakup akidah, mu’amalah (fiqih), dan falsafat. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan di sini adalah mengenai kedudukan hasil ijtihad. Persoalan tersebut berawal dari pandangan mereka tentang ruang lingkup qath’i tidaknya suatu dalil. Ulama ushul memandang dalil-dalil yang berkaitan dengan akidah termasuk dalil qath’i, sehingga dibidang ini tidak dilakukan ijtihad. Mereka mengatakan bahwa kebenaran mujtahid di bidang ilmu kalam hanya satu. Sebaliknya, golongan mutakalimin memandang bahwa di bidang ilmu kalam itu terdapat hal-hal yang zhaniyat, karena ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan persoalan tersebut diperlukan ijtihad. Bahkan, mereka menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar; kalaupun melakukan kekeliruan, ia tetap mendapatkan pahala. Namun, pendapat tersebut ditolak oleh ulama ushul. Sekalipun sama-sama menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar, namun kebenaran disini terbatas dalam bidang fiqih.
Menurut Harun Nasution, arti ijtihad seperti yang telah dikemukakan di atas adalah ijtihad dalam arti sempit. Dalam arti luas menurutnya, ijtihad juga berlaku pada bidang politik, akidah, tasawuf, dan falsafah.
Telah kita ketahui bahwa ijtihad telah berkembang sejak zaman Rasul. Sepanjang fiqih mengandung “pengertian tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”, maka ijtihad akan terus berkembang. Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk maupun macamnya. Dalam hubungan inilah, asy-Syahrastani mengatakan bahwa kejadian-kejadian, dan kasus-kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) termasuk yang tidak dapat dihitung. Secara pasti dapat diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya. Apabila nashnya sudah berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa terbatas; dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya.
Dalam masalah fiqh, ijtihad bi ar-rayu telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Beliau sendiri memberi izin kepada Mu’adz ibnu Jabal untuk ber-ijtihad ketika Muads diutus ke Yaman. Umar ibnu al Khatthab sering menggunakan ijtihad bi al ra’yu apabila ia tidak menemukan ketentuan hukum dalam Al-Qur’an dan as sunnah. Demikian pula para sahabat lainnya dan para tabi’in sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul dua golongan yang dikenal dengan golongan ahl ar-ra’yu sebagai bandingan golongan ahli hadis. Umar Ibnu Khatthab dipandang sebagai pemuka ahl ra-ra’yu.
Setelah Rasulullah wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang sempurna, kewajiban berdakwah berpindah pada sahabat. Mereka melaksanakan kewajiban itu dengan memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan berbagai peperangan. Mereka berhasil menaklukan Persia, Syam, Mesir, dan Afrika Utara. Akibat perluasan wilayah itu, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah baru yang memerlukan pemecahan. Keadaan seperti itu mendorong pemuka sahabat untuk ber-ijtihad
C. Dasar Hukum Ijtihad
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah atau metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:
Adanya keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Umar:
Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.
D. Objek Ijtihad
Menurut al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’i. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
Pertama: Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan as sunnah
Kedua: Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (subut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma para ulama.
Apabila ada nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah meneliiti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, mashalah murshalah, dan lain-lain. Namun permasalahan ini banyak diperdebatkan dikalangan para ulama.
Menurut bahasa, ijtihad berarti bersungguh-sungguh, bersusah payah, menggunakan segenap kemampuan. Maka, sebagian kaum muda beranggapan bahwa jika mereka bersusah payah menggali hukum syar’iyyah dengan segenap ilmunya yang sangat minim dan segenap kemampuan akalnya yang dangkal, itu adalah ijtihad.
Namun dikalangan ulama, ijtihad khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (fuqoha) untuk mengetahui hukum syari’at. Adapun Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at.
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul.
Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum islam). Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).
B. Kedudukan Ijtihad
Ijtihad diberlakukan dalam berbagai bidang, yakni mencakup akidah, mu’amalah (fiqih), dan falsafat. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan di sini adalah mengenai kedudukan hasil ijtihad. Persoalan tersebut berawal dari pandangan mereka tentang ruang lingkup qath’i tidaknya suatu dalil. Ulama ushul memandang dalil-dalil yang berkaitan dengan akidah termasuk dalil qath’i, sehingga dibidang ini tidak dilakukan ijtihad. Mereka mengatakan bahwa kebenaran mujtahid di bidang ilmu kalam hanya satu. Sebaliknya, golongan mutakalimin memandang bahwa di bidang ilmu kalam itu terdapat hal-hal yang zhaniyat, karena ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan persoalan tersebut diperlukan ijtihad. Bahkan, mereka menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar; kalaupun melakukan kekeliruan, ia tetap mendapatkan pahala. Namun, pendapat tersebut ditolak oleh ulama ushul. Sekalipun sama-sama menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar, namun kebenaran disini terbatas dalam bidang fiqih.
Menurut Harun Nasution, arti ijtihad seperti yang telah dikemukakan di atas adalah ijtihad dalam arti sempit. Dalam arti luas menurutnya, ijtihad juga berlaku pada bidang politik, akidah, tasawuf, dan falsafah.
Telah kita ketahui bahwa ijtihad telah berkembang sejak zaman Rasul. Sepanjang fiqih mengandung “pengertian tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”, maka ijtihad akan terus berkembang. Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk maupun macamnya. Dalam hubungan inilah, asy-Syahrastani mengatakan bahwa kejadian-kejadian, dan kasus-kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) termasuk yang tidak dapat dihitung. Secara pasti dapat diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya. Apabila nashnya sudah berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa terbatas; dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya.
Dalam masalah fiqh, ijtihad bi ar-rayu telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Beliau sendiri memberi izin kepada Mu’adz ibnu Jabal untuk ber-ijtihad ketika Muads diutus ke Yaman. Umar ibnu al Khatthab sering menggunakan ijtihad bi al ra’yu apabila ia tidak menemukan ketentuan hukum dalam Al-Qur’an dan as sunnah. Demikian pula para sahabat lainnya dan para tabi’in sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul dua golongan yang dikenal dengan golongan ahl ar-ra’yu sebagai bandingan golongan ahli hadis. Umar Ibnu Khatthab dipandang sebagai pemuka ahl ra-ra’yu.
Setelah Rasulullah wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang sempurna, kewajiban berdakwah berpindah pada sahabat. Mereka melaksanakan kewajiban itu dengan memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan berbagai peperangan. Mereka berhasil menaklukan Persia, Syam, Mesir, dan Afrika Utara. Akibat perluasan wilayah itu, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah baru yang memerlukan pemecahan. Keadaan seperti itu mendorong pemuka sahabat untuk ber-ijtihad
C. Dasar Hukum Ijtihad
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah atau metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:
Adanya keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Umar:
Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.
D. Objek Ijtihad
Menurut al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’i. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
Pertama: Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan as sunnah
Kedua: Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (subut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma para ulama.
Apabila ada nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah meneliiti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, mashalah murshalah, dan lain-lain. Namun permasalahan ini banyak diperdebatkan dikalangan para ulama.
E.PengertianMujtahid
Kalimat “Mujtahid” merupakan isim Fa’il dari kalimat “Ijtahada” yang artinya mencurahkan segala kemampuan/sungguh-sungguh. Isim Fa’il menurut bahasa indonesianya adalah pelaku (subjek). Jadi, dapat disimpulkan bahwa mujtahid ialah orang yang bertijtihad atau dengan kata lain sebagai seseorang yang mencurahkan segala kemampuan dalam mengistinbathkan hukum syara’.
F.Syarat-syarat.Mujtahid
Pintu ijtihad selalu terbuka pada setiap masa, dengan perkembangan, ijtihad selalu diperlukan. Namun demikian tidak berarti setiap orang boleh melakukan ijtihad. Akhir-akhir ini, sebagian cendekiawan Islam merasa berhak dan mau berijtihad, tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan mau atau tidak mau, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang tidak mampu untuk berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat mujtahid.
Ulama ahli Ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupun syariah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak lima ratus ayat.
2) Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syariat. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu Hanbal dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda
Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan menggunakan kamus hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan sanad dalam hadis (Asy-Syaukani : 22)
Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-kitab yang sudah masyhur kesahihannya, seperti Bukhari Muslim, Baghawi, dan lain-lain
3) Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan sunnah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghapalnya. Di antara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam naskah dan mansukh adalah kitab karangan Ibnu Khujaimah, Abi Ja’far an Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm dan lain-lain
4) Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa dijadikan rujukan diantaranya kitab maratiba al-ijma’ (ibn Hajm)
5) Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta meng-instimbat-nya, karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
6) Menguasai bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-Qur’an dan as sunnah ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari Al-Qur’an atau al-hadis
7) Menguasai ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan, menurut Fakhru ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam berijtihad adalah ilmu ushul fiqh
8) Mengetahui maqashidu asy-syariah (tujuan syariat) secara umum, karena bagaimanapun juga syariat itu berkaitan dengan maqashidu asy-syariah sebagai standarnya.
Maksud dari maqashidu al-syariah antara lain menjaga kemaslahatan manusia dan menjatuhkan dari kemadharatan. Namun, standarnya adalah syara’, bukan kehendak manusia, karena manusia tidak jarang menganggap yang hak menjadi tidak hak dan sebaliknya.
Muhammad Musa Towana dalam bukunya yang berjudul al-ijtihad mengelompokkan syarat-syarat mujtahid ke dalam beberapa bagian berikut rinciannya.
Pertama, persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah), yang meliputi: (1) balig, (2) berakal sehat, (3) kuat daya nalarnya, dan (4) beriman atau mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (al-syurut al-asasiyah), yaitu syarat-syarat mendasar yang menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan berikut: (1) mengetahui Qur’An (2) memahami Sunnah, (3) memahami maksud-maksud hukum syari’at, dan (4) mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawa’id al-kulliyat) hukum Islam.
Ketiga, persyaratan penting (al-syurut al-hammah), yakni beberapa persyaratan yang penting dipunyai mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup: (1) menguasai bahasa Arab, (2) mengetahui ilmu ushul al-fiqh, (3) mengetahui ilmu mantik atau logika, dan (4) mengetahui hukum asal suatu perkara (al-bara’ah al-asliyah)
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang mencakup: (1) tidak ada dalil qat’i bagi masalah yang diijtihadi, (2) mengetahui tempat-tempat khilafiyah atau perbedaan pendapat, dan (3) memelihara kesalehan dan ketaqwaan diri.
G.Stratifikasi.(tingkatan) Mujtahid
Kemampuan dan minat seseorang terbatas. Bahkan ada orang yang sudah puas dengan mengikuti saja. Sejalan dengan kemampuan dan minat itu, para mujtahid juga bertingkat-tingkat.
1) Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil
Mujtahid Mustaqil adalah ulama’ yang telah memenuhi semua syarat-syarat di atas. Mereka mempunyai otoritas untuk mengkaji hukum langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah, melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, dan menggunakan metode yang dirumuskan sendiri dalam berijtihad tanpa mengekor kepada mujtahid lain. Pendapatnya kemudian disebarluaskan kepada masyarakat. Termasuk dalam tingkatan ini adalah seluruh fuqoha dari kalangan sahabat, fuqoha dari kalangan tabi’im seperti Sa’id bin Musayyab dan Ibrahim an-Nakha’i, fuqoha mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad, Sufyan ats-Tsauriy, dan Abu Tsaur. Namun yang madzhabnya tetap masyhur hingga kini adalah 4 Imam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
2) Mujtahid Muntasib
Mujtahid Muntasib adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil atau memilih pendapat-pendapat imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang, meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hampir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya. Termasuk dalam tingkatan ini seperti al-Muzani (dari madzhab Syafi’i) dan Abdurrahman ibnu Qosim (dari madzhab Maliki)
3) Mujtahid Madzhab
Mujtahid Madzhab, ialah mujtahid yang mengikuti imam madzhabnya baik dalam masalah ushul ataupun furu’. Peranan mereka sebatas melakukan istinbath hukum terhadap masalah-masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya. Mujtahid madzhab tidak berhak berijtihad terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapannya di dalam madzhab yang dipegangnya. Menurut madzhab Maliki, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid madzhab.
4) Mujtahid Murajjih
Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang tidak mengistinbathkan hukum-hukum furu’ (apalagi hukum-hukum asal) akan tetapi hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang dipandang paling kuat (arjah).
Kalimat “Mujtahid” merupakan isim Fa’il dari kalimat “Ijtahada” yang artinya mencurahkan segala kemampuan/sungguh-sungguh. Isim Fa’il menurut bahasa indonesianya adalah pelaku (subjek). Jadi, dapat disimpulkan bahwa mujtahid ialah orang yang bertijtihad atau dengan kata lain sebagai seseorang yang mencurahkan segala kemampuan dalam mengistinbathkan hukum syara’.
F.Syarat-syarat.Mujtahid
Pintu ijtihad selalu terbuka pada setiap masa, dengan perkembangan, ijtihad selalu diperlukan. Namun demikian tidak berarti setiap orang boleh melakukan ijtihad. Akhir-akhir ini, sebagian cendekiawan Islam merasa berhak dan mau berijtihad, tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan mau atau tidak mau, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang tidak mampu untuk berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat mujtahid.
Ulama ahli Ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupun syariah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak lima ratus ayat.
2) Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syariat. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu Hanbal dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda
Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan menggunakan kamus hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan sanad dalam hadis (Asy-Syaukani : 22)
Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-kitab yang sudah masyhur kesahihannya, seperti Bukhari Muslim, Baghawi, dan lain-lain
3) Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan sunnah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghapalnya. Di antara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam naskah dan mansukh adalah kitab karangan Ibnu Khujaimah, Abi Ja’far an Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm dan lain-lain
4) Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa dijadikan rujukan diantaranya kitab maratiba al-ijma’ (ibn Hajm)
5) Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta meng-instimbat-nya, karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
6) Menguasai bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-Qur’an dan as sunnah ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari Al-Qur’an atau al-hadis
7) Menguasai ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan, menurut Fakhru ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam berijtihad adalah ilmu ushul fiqh
8) Mengetahui maqashidu asy-syariah (tujuan syariat) secara umum, karena bagaimanapun juga syariat itu berkaitan dengan maqashidu asy-syariah sebagai standarnya.
Maksud dari maqashidu al-syariah antara lain menjaga kemaslahatan manusia dan menjatuhkan dari kemadharatan. Namun, standarnya adalah syara’, bukan kehendak manusia, karena manusia tidak jarang menganggap yang hak menjadi tidak hak dan sebaliknya.
Muhammad Musa Towana dalam bukunya yang berjudul al-ijtihad mengelompokkan syarat-syarat mujtahid ke dalam beberapa bagian berikut rinciannya.
Pertama, persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah), yang meliputi: (1) balig, (2) berakal sehat, (3) kuat daya nalarnya, dan (4) beriman atau mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (al-syurut al-asasiyah), yaitu syarat-syarat mendasar yang menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan berikut: (1) mengetahui Qur’An (2) memahami Sunnah, (3) memahami maksud-maksud hukum syari’at, dan (4) mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawa’id al-kulliyat) hukum Islam.
Ketiga, persyaratan penting (al-syurut al-hammah), yakni beberapa persyaratan yang penting dipunyai mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup: (1) menguasai bahasa Arab, (2) mengetahui ilmu ushul al-fiqh, (3) mengetahui ilmu mantik atau logika, dan (4) mengetahui hukum asal suatu perkara (al-bara’ah al-asliyah)
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang mencakup: (1) tidak ada dalil qat’i bagi masalah yang diijtihadi, (2) mengetahui tempat-tempat khilafiyah atau perbedaan pendapat, dan (3) memelihara kesalehan dan ketaqwaan diri.
G.Stratifikasi.(tingkatan) Mujtahid
Kemampuan dan minat seseorang terbatas. Bahkan ada orang yang sudah puas dengan mengikuti saja. Sejalan dengan kemampuan dan minat itu, para mujtahid juga bertingkat-tingkat.
1) Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil
Mujtahid Mustaqil adalah ulama’ yang telah memenuhi semua syarat-syarat di atas. Mereka mempunyai otoritas untuk mengkaji hukum langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah, melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, dan menggunakan metode yang dirumuskan sendiri dalam berijtihad tanpa mengekor kepada mujtahid lain. Pendapatnya kemudian disebarluaskan kepada masyarakat. Termasuk dalam tingkatan ini adalah seluruh fuqoha dari kalangan sahabat, fuqoha dari kalangan tabi’im seperti Sa’id bin Musayyab dan Ibrahim an-Nakha’i, fuqoha mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad, Sufyan ats-Tsauriy, dan Abu Tsaur. Namun yang madzhabnya tetap masyhur hingga kini adalah 4 Imam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
2) Mujtahid Muntasib
Mujtahid Muntasib adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil atau memilih pendapat-pendapat imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang, meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hampir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya. Termasuk dalam tingkatan ini seperti al-Muzani (dari madzhab Syafi’i) dan Abdurrahman ibnu Qosim (dari madzhab Maliki)
3) Mujtahid Madzhab
Mujtahid Madzhab, ialah mujtahid yang mengikuti imam madzhabnya baik dalam masalah ushul ataupun furu’. Peranan mereka sebatas melakukan istinbath hukum terhadap masalah-masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya. Mujtahid madzhab tidak berhak berijtihad terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapannya di dalam madzhab yang dipegangnya. Menurut madzhab Maliki, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid madzhab.
4) Mujtahid Murajjih
Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang tidak mengistinbathkan hukum-hukum furu’ (apalagi hukum-hukum asal) akan tetapi hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang dipandang paling kuat (arjah).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ijtihad dilakukan oleh mujtahid untuk mengeluarkan hukum berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Karena mujtahid ini mengeluarkan hukum, maka ia disebut pula sebagai hakim. Tapi tidak semua orang dapat berijtihad begitu saja dan mengeluarkan fatwa. Untuk mencapai derajat mujtahid, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Namun, dalam ijtihad terdapat perbedaan stratifikasi para mujtahid ke dalam beberapa martabat.
Kita telah mengetahui bersama bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Namun, seiring berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan yang ditemui umat islam pun kian berkembang. Ketika permasalahan-permasalahan tersebut tidak dapat lagi diselesaikan hanya melalui nash Al-Qur’an dan Hadist secara eksplisit (jelas), timbul istilah ijtihad.
Komentar
Posting Komentar