( Tasawuf Amali )
DISUSUN OLEH :
FITRIAH 170101040229
M. RASYID HIDAYAT 170101040233
BAHRUL ILMI 170101040450
M.FADILLAH 170101040237
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullah
wabarakatuh
Dengan mengucapkan puji dan syukur atas
kehadirat Allah SWT, dan Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad ﷺ sampai akhir hayat. Dalam kesempatan ini
akhirnya penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah Akhlak Tasawuf ini yang berjudul “Tasawuf Amali”.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangannya, hal ini
dikarenakan keterbatasan waktu, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
penyusun, oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan adanya saran atau kritik
yang sifatnya membangun untuk perbaikan dimasa yang akan datang dan sebagai
motivasi bagi kami untuk lebih baik kedepannya.
Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan tugas ini
terutama kepada dosen pengampu mata kuliah.
Semoga Allah SWT, membalas amal kebaikan beliau. Jazaakumullah khairon .
Aamiin.
Dengan segala pengharapan dan doa semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Barakallahu fiikum,
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Banjarmasin, Desember 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR
ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1.
Latar belakang........................................................................................ 1
1.2.
Rumusan masalah................................................................................... 1
1.3.
Tujuan penulisan..................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3
2.1. Tasawuf Amali ....................................................................................... 3
A. Pengertian Tasawuf Amali..................................................................... 3
B. Pokok-pokok Ajaran Tasawuf Amali...................................................... 3
1)
Maqamat.......................................................................................... 3
2)
Al-Ahwal......................................................................................... 6
3)
Mahabbah........................................................................................ 9
4)
Ma’rifah........................................................................................... 10
C. Tokoh-tokoh Tasawuf Amali
1) Rabi`ah Al-Adawiyah....................................................................... 10
2)
Dzu An-Nun Al-Misri....................................................................... 11
3)
Abu Yazid Al-Bustani...................................................................... 12
4) Abu Manshur Al-Hallaj..................................................................... 13
BAB III PENUTUP....................................................................................................... 15
3.1.
Simpulan................................................................................................. 15
3.2. Saran....................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai manusia yang
beragama dan berakhlakul karimah, setiap manusia mempunyai kedudukan untuk
melakukan kewajiban bersyukur kepada Allah SWT. Secara historis dan teologis
agama sebagai pengawal dan memandu perjalanan hidup umat manusia agar menemui
keselamatan didunia dan diakhiratnya.
Tasawuf sebagai ajaran
pembersihan hati dan jiwa memiliki sejarah perkembangan dari masa-kemasa. Dalam
sejarah perkembangannya, para ahli tasawuf membagi tasawuf menjadi dua, yaitu
tasawuf yang mengarah kepada teori-teori prilaku dan tasawuf yang mengarah pada
teori-teori yang rumit dan perlu pemahaman yang mendalam.
Pada perkembangannya,
tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut dengan tasawuf akhlaki
dan amali. Ada yang menyebutkan sebagai tasawuf yang sering dikembangkan kaum
salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut tasawuf falsafi.
Hasrat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah
tujuan utama dari para sufi. Sejalan dengan semakin berkembangnya tasawuf, maka
orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah semakin banyak pula.
Tinjauan analisis terhadap tasawuf menunjukan bahwa
para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki konsepsi tentang jalan
(thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniyah
(riyadhah), lalu secara bertahap menempuh fase yang dikenal dengan maqam
(tingkatan) dan hal (keadaan).
Tingkat pengenalan ma’rifat adalah jarogan yang pada
umumnya dikejar oleh para sufi. Lingkup perjalanan para sufi untuk memperoleh
ma’rifat ini sering juga disebut kerangka ‘Irfani.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah
ini akan membahas beberapa masalah antara lain :
a.
Apa Pengertian Tasawuf
Amali ?
b.
Apa Saja Pokok Ajaran
Tasawuf Amali ?
c.
Siapa Saja Tokoh-tokoh Tasawuf
Amali ?
1.3. Tujuan Penulisan
a. Tujuan umumnya untuk menambah ilmu
pengetahuan dan memberikan pemahaman tentang
Pokok-pokok Ajaran dalam Tasawuf Amali.
b. Tujuan Khususnya yaitu untuk memenuhi tugas
pada mata kuliah Akhlak Tasawuf dari dosen pengampu Bpk Drs. M. Masykuri Hamdie,
M.Ag.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
TASAWUF AMALI
A. Pengertian
Tasawuf Amali
Tasawuf amali sebenarnya merupakan kelanjutan
dari tasawuf akhlaki,
karena seseorang tidak dapat dekat dengan Tuhan dengan amalan yang ia kerjakan
sebelum ia membersihkan jiwanya. Jiwa yang bersih merupakan syarat utama untuk
bisa kembali kepada Tuhan, karena Dia adalah zat yang bersih dan suci, dan Tuhan
menyukai orang yang bersih serta orang yang mensucikan diri. Dalam hal ini
Allah SWT berfirman: Dan Allah menyukai
orang-orang yang bersih. (QS. At-Taubah: 108). Dan firmanNya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah:
222).
B.
Pokok-pokok Ajaran
Tasawuf Amali
1)
Maqamat
Secara
harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau
pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan
panjang yang harus ditempuh oleh seorang Sufi untuk berada dekat dengan Allah.
Tentang
berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk
sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad
al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta'arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai
dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada
sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu', al-taqwa,
al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma'rifah.
Sementara
itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma' menyebutkan jumlah maqamat
hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara', al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan
al-ridla.
Dalam
pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulum al-Din mengatakan bahwa
maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal,
al-mahabbah, al-ma'rifah dan al-ridla.
Kutipan
tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda,
namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud,
al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Penjelasan atas
masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
- Al-Zuhud
Secara
harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.
Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan
hidup kematerian. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting
dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud
lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan
abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu.
- Al-Taubah
Al-Taubah
berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan
Taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa
dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi
perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan.
- Al-Wara'
Secara
harfiah al-wara' artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dan dalam
pengertian sufi al-wara' adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat
keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat).
Kaum
sufi menyadari benar bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang
haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum atau memakainya.
Orang yang demikian akan keras hatinya, sulit mendapatkan hidayah dan Ilham
dari Tuhan. Hal ini sangat ditakuti oleh para sufi yang senantiasa mengharapkan
nur ilahi yang dipancarkan lewat hatinya yang bersih.
- Kefakiran
Secara
harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang
miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari
apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk
dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada
diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
- Sabar
Secara
harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya
menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi
tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakan sikap cukup walaupun
sebenarnya berada dalam ke fakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibn Atha
mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang
baik. Dan pendapat lain mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan
cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal.
Di
kalangan para sufi sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah
Allah, dalam menjauhi segala larangan-Nya dan dalam menerima segala
percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita.
- Tawakkal
Secara
harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Hamdun al-Qashshar mengatakan
tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi
lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak
dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu
terjadi setelah hamba menyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada
ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian
itu sebenarnya takdir Allah.
Pengertian
tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution.
Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
- Kerelaan
Secara harfiah ridla
artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan ridla berarti tidak
menentang qada dan qadar Tuhan. Menerima qada dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan
perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan
senang dan gembira.
Beberapa
sikap yang termasuk dalam maqamat itu sebenarnya merupakan akhlak yang mulia.
Semua itu dilakukan oleh seorang sufi setelah lebih dahulu membersihkan dirinya
dengan bertaubat dan menghiasinya dengan akhlak yang mulia. Hal yang demikian
identik dengan proses takhalli yaitu membersihkan diri dari sifat yang buruk
dengan taubat dan menghiasi diri dengan sifat yang baik, dan hal ini disebut
dengan istilah tahalli sebagaimana dikemukakan dalam tasawuf akhlaki.
2)
Al-Ahwal
Menurut ahli sufi, al-Ahwal (jamak dari
hal dalam bahasa Arab dalam bahasa Inggris disebut state) adalah situasi
kejiwaan yang diperoleh seseorang sebagai karunia Allah, bukan dari hasil
usahanya. Datangnya kondisi mental itu tidak menentu, kadang datang dan pergi
nya berlangsung cepat, keadaan seperti itu disebut lawaih. Akan tetapi kalau datang perginya kondisi mental itu dalam
tempo yang panjang dan lama disebut bawadih.
Dan apabila kondisi mental itu continiu dan menjadi kepribadian maka itu
disebut dengan hal, jamaknya dan al-ahwal.
Menurut al-Qusyairi Al-ahwal ini selalu
bergerak naik setingkat demi setingakat kearah yang lebih sempurna sampai
ketitik kulmunisasi, yaitu puncak kesempurnaan rohani. Kalau sebelumnya maqamat
adalah merupakan tingkatan pelatihan dalam membina sikap hidup yang hasilnya
dapat dilihat dari prilaku perbuatan seseorang, maka kondisi mental al-ahwal
bersifat abstrak. Ia tidak dapat dilihat dengan mata, hanya dapat dipahami dan
dirasakan oleh orang yang mengalaminya atau memilikinya. Oleh karena itu tidak
dapat diinformasikan melalui bahasa tulisan atau bahasa lisan.
Mengenai jumlah dan formasi al-hal (al-ahwal)
ini sebagian besar sufi berpendapat ada 8 yaitu: Al-Muqarabah, Al-Khauf,
Al-Raja’, Al-Uns, Al-Thoma’ninah, Al-Musyahadah dan Al-Yakin.
1.
Al-Muraqabah
Al-Muraqabah mengandung pengertian:
Adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan
diawasi. Artinya si makhluk senantiasa dalam keadaan waspada bahwa ia tetap
dalam keadaan diawasi oleh Khaliknya, sehingga akan selalu menata dan membina kesucian dirinya.
2.
Al-Khauf
Yang dimaksud dengan Al-Khauf menurut
sufi adalah suatu sikap mental yang merasa takut pada Allah karena kurang
sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang kepadanya.
Oleh karena adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu berusaha untuk
memperbaiki dan lebih meningkatkan amal perbuatannya dan jangan sampai
menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh Allah. Perasaan khauf ini timbul
karena pengenalan dan rasa kecintaan kepada Allah sudah mendalam sehingga ia
khawatir kalau-kalau Allah yang dicintainya itu melupakannya
atau takut kepada siksa Allah.
3.
Al-Raja’
Raja’ berarti suatu sikap mental
optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya
yang shaleh. Oleh karena Allah Maha Pengasih, Maha Pengampun dan Maha
Penyayang, maka seorang hamba yang taat merasa optimis akan memperoleh limpahan
karunia Ilahi. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang
dada penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Allah, karena ia merasa hal
itu akan terjadi. Perasaan optimis akan memeberi semangat dan gairah melakukan
mujahadah demi terwujudnya apa yang diidam-idamkan itu.
4.
Al-Syauq
Al-Syauq atau rindu adalah kondisi
kejiwaan yang menyertai mahabbah. Al-Syauq ialah rasa rindu yang memancar dari
kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengenalan yang mendalam tentang Allah
akan melahirkan rasa senang dan gairah, dan rasa senang ini akan melahirkan
rasa rindu yang mendalam. Rindu ingin bertemu, hasrat selalu bergelora ingin
selalu bersama Allah. Setiap denyutan jantung, detak kalbu dan desah nafas,
ingatan hanya tertuju kepada Allah itulah yang disebut Al-Syauq (rindu).
Perasaan inilah yang menjadi pendorong sufi agar selalu berada sedekat mungkin
dengan Allah, yang menjadi sumber segala kenikmatan dan keindahan yang
didambakan setiap sufi.
5.
Al-Uns
Al-Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh
ekspresi terpusat penuh hanya kepada Allah. Tidak ada yang dirasa, tidak ada
yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya terpusat
bulat sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam
situasi hilang ingatan terhadap alam sekitarnya. Kata Dzun Nun Al-Mishri,
seseorang yang sudah sampai pada kondisi uns, andainya dilemparkannya ia ke
neraka, ia tidak akan merasakan lagi panasnya neraka itu. Dan Al-Junaid
berkata: seseorang yang sudah sampai pada kondisi Uns, andai katanya pun
ditusuk dengan pedang, maka ia tidak akan merasakannya.
6.
Al-Thoma’ninah
Secara harfiyah, kata ini berarti tenang,
tentram, tidak ada rasa was-was dan khawatir, tidak ada yang dapat mengganggu
perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang
tinggi. Perasaan Thoma’ninah ini muncul menurut sufi adalah setelah sufi sudah dekat
dengan Allah, sudah dapat berdialog secara langsung dengan Allah, karena nya ia
merasa tentram dan bahagia karena sudah sampai pada puncak yang diidam-idamkan.
7.
Al-Musyahadah
Kata musyahadah berarti menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, maka menurut sufi musyahadah itu diartikan :
Menyaksi-kan secar jelas dan sadar tentang Allah. Jelasnya ia merasa telah
berjumpa dengan Allah. Ada dua kata yang berbarengan dengan Al-Musyahadah,
yaitu muhadharah dan mukasyafah. Muhadahrah adalah adanya
perasaan telah hadirnya atau beradanya Allah dalam hatinya, dan sebagai
kelanjutan terjadilah Mukasyafah yaitu tersingkapnya tabir yang menjadi
senjangan antara sufi dengan Allah, dengan demikian tercapailah Musyahadah.
Dalam situasi seperti inilah terjadi
ma’rifah yaitu menyaksikan dan mengenal Allah secara jelas. Pertemuan dan
perjumpaan dengan Allah itu oleh sebagian sufi digambarakan seakan-akan
masih ada kesenjangan atau jarak antara sufi dengan Allah itu, tetapi sebagian
sufi lagi menuturkan bahwa ia sudah jumbuh atau bersatu dengan Allah yang
disebut dengan istilah Ittihad.
8.
Al-Yakin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas
dan mendalam kepada Allah dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora ditambah
lagi dengan perjumpaan secara langsung dengan Allah, maka tertanam dan
tumbuhlah perasaan yang mantap dalam jiwa bahwa Dialah yang dicari itu.
Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuaan secra langsung
tersebut, itulah yang disebut dengan Al-Yakin.
Dengan demikian, Al-Yakin itu ialah
kepercayaan yang kokoh dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang
ia miliki, karena ia sendiri telah menyaksikannya dengan segenap jiwanya, dan
ia telah merasakan dengan seluruh ekspresinya serta dipersaksikan oleh segenap
eksistensialnya.
Mencapai tingkat Al-Musyahadah dan
Al-Yakin itu menurut pengakuan para sufi amat sulit dan jarang orang yang
memperoleh karunia semulia itu. Mereka yang sudah menerima karunia semulia itu
adalah para wali yang sudah sampai pada tingkat insan kamil.
Apabila seseorang telah mencapai tingkat
tertinggi, itu bukan berarti selesailah perjuangannya sebagai sufi, sebab
karakteristik tasawuf sebagai pengalaman spritual adalah menuntut pengulangan
dan pemeliharaan yang tidak hentinya sampai akhir hayat.
3)
Mahabbah
Kata
mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbi, mahabatan, yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam.
Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau
penyayang. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha
sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan
tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Selanjutnya
Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah
cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan pengertian yang
diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut:
- Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan
membenci sikap melawan kepada-Nya.
- Menyerahkan seluruh diri kepada yang
dikasihi.
- Mengosongkan hati dari
segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.
Dengan
uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu
keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang
dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai.
Alat
untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa
dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan
hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.
Roh
yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan Tuhan kepada
manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan
demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia
tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu. Yang mengetahui hanyalah Tuhan.
4)
Ma'rifah
Dari
segi bahasa ma'rifah berasal dari kataarafa, ya'rifu, irfan, ma'rifah yang
artinya pengetahuan atau pengalaman. Dalam arti sufistik ini, ma'rifah
diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari.
Selanjutnya,
dari literatur yang diberikan tentang ma'rifah sebagai dikatakan Harun
Nasution, ma'rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati-sanubari
dapat melihat Tuhan.
Dari
beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa ma'rifah adalah mengetahui
rahasia rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari.
Alat
yang dapat digunakan untuk ma'rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb
(hati), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris, karena qalb
selain dari alat untuk merasak adalah juga alat untuk berpikir. Bedanya qalb
dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya
tentang Tuhan, sedang qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan
Jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah
dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkai zikir dan wirid
secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati
tersebut disinari cahaya Tuhan.
Proses
sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitan nya dengan konsep takhalli,
tahalli dan Tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela
dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu
menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan Tajalli adalah
terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan.
C.
Tokoh-tokoh Tasawuf
Amali
1)
Rabi'ah Al-Adawiyah'
Nama
lengkap Rabi'ah adalah Rabi'ah bin Ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah.
Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di suatu
perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185
H/801 M. Ia di lahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin.
Karena ia putri keempat, orangtuanya menamakannya Rabi'ah. Kedua orangtuanya
meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana perang di
Bashrah, Iya dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari suku Qais
Banu Adwah. Dari sini, ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada
keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran
tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi'ah dan menerangi
seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.
Setelah
dimerdekakan tuannya, Rabi'ah hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai
seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan ibadah
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. sebagai kekasihnya. Ia
memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi. Iya hidup dalam kemiskinan dan
menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan, dalam
doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Pendapat
ini dipersoalkan oleh Badawi. Rabi'ah, menurutnya, sebelum bertobat, pernah
menjalani kehidupan duniawi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rabi'ah tidak
mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu
terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan Badawi untuk menguatkan pendapatnya
adalah intensitas tobat Rabi'ah itu sendiri. Menurut Badawi, tidak mungkin iman
dan kecintaan Rabi'ah kepada Allah SWT. begitu ekstremnya, kecuali jika ia
pernah sedemikian jauh di dalam menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.
2)
Dzu An-Nun Al-Misri
Dzu
An-Nun Al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar
pertengahan abad ketiga Hijriyah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin
Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M
dan meninggal pada tahun 246 H/856 M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya
sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberi Allah SWT. kepadanya. Di
antaranya, Iya pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan
selamat di sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal
mula Al-Misri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang Sufi banyak
diutarakan. Al-Misri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari suatu tempat ke
tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait
Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Siria, Pegunungan Lebanon, Anthokiah, dan
Lembah Kan'an. Hal ini menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan
mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang
ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi sehingga dapat berhubungan dan mengambil
pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia
mengambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits, dan lain-lainnya. Adapun yang
pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush'ib An-Nakha'iy.
Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-'Abd atau Israfil Al-Maghribiy.
Ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu
syariat maupun tasawuf.
Sebelum
Al-Misri, sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia adalah orang pertama yang
memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang
pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang
pertama yang memberi definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik.
Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah
mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak
dasar-dasar tasawuf.
Pendapat
tersebut cukup beralasan mengingat Al-Misri hidup pada masa awal pertumbuhan
ilmu tasawuf. Lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan
keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberanian itu yang menyebabkannya
harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan tuduhan zindiq.
Akibatnya, ia pernah dipanggil menghadap Khalifah Al Mutawakkil. Akan tetapi,
ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya
sebagai wali diakui secara umum tatkala ia meninggalkan dunia yang fana' ini.
3)
Abu Yazid Al-Bustami
Nama
lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin 'Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di
daerah Bustam (Persia) tahun 874-974 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya
bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi
pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di
daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan
ibunya, Abu Yazid telah mempunyai keajaiban. Kata ibunya, bayinya yang dalam
kandungannya akan memberontak sampai muntah kalau sang Ibu memakan makanan yang
diragukan kehalalannya.
Ketika
meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang
anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada kedua orang
tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman,
"Berteima kasihlah Aku dan kepada kedua orangtuamu". Ayat ini sangat
menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang ke
rumahnya untuk menemui ibunya. Ini suatu gambaran tentang upayanya memenuhi
setiap panggilan Allah SWT.
Perjalanan
Abu Yazid untuk menjadi seorang Sufi memerlukan waktu puluhan tahun. Sebelum
membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi
seorang faqih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah
Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan kepada Abu Yazid ilmu tauhid, ilmu hakikat,
dan ilmu lainnya. Hanya, ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk
buku.
Dalam
menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun
pasir di Syam, hanya sedikit tidur, makan, dan minum.
4)
Abu Manshur
Al-Hallaj
Nama
lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad
Al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun
244 H/855 M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16
tahun, ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin 'Abdullah
At-Tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian, ia pergi ke Basrah dan berguru pada
'Amr Al-Makki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M, Iya masuk ke kota
Baghdad dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu, Iya pergi mengembara dari suatu
negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf.
Ia diberi gelar Al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dari meminta
wol.
Dalam
semua perjalanan dan pengembaraannya ke berbagai kawasan Islam, seperti
Khurasan, Ahwaz, India, Turkistan, dan Mekah, Al-Hallaj banyak memperoleh
pengikut. Ia kemudian kembali ke Baghdad pada tahun 296 H/909 M. Di Baghdad,
pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya terhadap
kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Secara kebetulan, ia
bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr Al-Qusyairi, yang
mengingatkan sistem tata usaha yang baik, pemerintahan yang bersih.
Al-Hallaj
selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu
melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi. Gagasan
"pemerintahan yang bersih" dari Nashr Al-Qusyairi dan Al-Hallaj ini
jelas berbahaya karena khalifah boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang
nyata dan hanya merupakan lambang saja. Pada waktu yang sama, aliran-aliran
keagamaan dan tasawuf tumbuh dengan subur. Pemerintah sangat khawatir terhadap
kecaman-kecamannya yang sangat keras dan pengaruh sufi ke dalam struktur
politik. Oleh karena itu, ucapan Al-Hallaj "ana al-haqq", yang konon
tidak bisa dimaafkan para ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan,
dijadikan alasan untuk menangkap dan memenjarakannya. Setahun kemudian, ia
dapat meloloskan diri dari penjara berkat pertolongan sopir penjara, tetapi 4
tahun kemudian, ia tertangkap lagi di kota Sus.
Setelah
dipenjara selama delapan tahun, Al-Hallaj dihukum gantung. Sebelum digantung,
Ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu dipenggal kepalanya.
Akan tetapi, sebelum dipancung, ia meminta waktu untuk melaksanakan shalat dua
rakaat. Setelah selesai shalat, kaki dan tangannya dipotong, badannya digulung
dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya dibuang kesungai, sedangkan kepalanya
dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Al-Hallaj wafat pada tahun 922 M.
Kematian tragis
Al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar para pengikutnya.
Ajaran nya masih tetap berkembang. Terbukti setelah satu abad dari kematiannya,
di Irak ada 4.000 orang yang menamakan diri Hallajiyah. Di sisi lain,
pengaruhnya sangat besar terhadap para pengikutnya. Ia dianggap mempunyai
hubungan dengan gerakan Qaramitah.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Tasawuf
amali sebenarnya merupakan kelanjutan dari tasawuf akhlaki, karena seseorang tidak dapat dekat dengan Tuhan
dengan amalan yang ia kerjakan sebelum ia membersihkan jiwanya. Jiwa yang
bersih merupakan syarat utama untuk bisa kembali kepada Tuhan, karena Dia
adalah zat yang bersih dan suci, dan Tuhan menyukai orang yang bersih serta
orang yang mensucikan diri.
Dan didalam tasawuf amali terdapat bebarapa
pokok ajaran yang terdiri dari Maqamat dan Al-Ahwal
dan ada juga Mahabbah dan Ma’rifat.
Secara harfiah
maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal
mulia.
Dalam pada itu Imam
al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada
delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah,
al-ma'rifah dan al-ridla.
Kutipan tersebut
memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada
maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara,
al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla.
Sedangkan Al-Ahwal ,Mengenai
jumlah dan formasi al-hal (al-ahwal) ini sebagian besar sufi berpendapat ada 8
yaitu: Al-Muqarabah, Al-Khauf, Al-Raja’, Al-Uns, Al-Thoma’ninah,
Al-Musyahadah dan Al-Yakin.
3.2 SARAN
Dengan diselesaikannya makalah
ini semoga dapat membantu kita dalam memahami Pokok-pokok ajaran Tasawuf Amali dan semoga kita dapat mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Demikian
makalah yang dapat kami susun. Semoga dapat menambah pengetahuan kita Kami
mohon maaf jika dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami semua. Aamiin.
Daftar
Pustaka
Anwar. Rosihon, Akhlak Tasawuf, (bandung : CV.Pustaka setia,
2010)
Nata, Abuddin.
Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009)
Siregar, Rivay. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2002)
AS, Asmaran. Pengantar Studi
Tasawuf, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994)
Komentar
Posting Komentar