Langsung ke konten utama

Makalah Tentang Faraidh dan Ashabah






FARAIDHASHABUL FURUUDH dan ASHABAH )

DISUSUN OLEH
OLEH:
HENDRIK HIDAYAHNTO                   170101040444
M. RASYID HIDAYAT                         170101040233





KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, dan Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad sampai akhir hayat. Dalam kesempatan ini akhirnya penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah fiqh yang berjudul “Faraidh, Ashabul furudh dan Ashabah”.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangannya, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki penyusun, oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan adanya saran atau kritik yang sifatnya membangun untuk perbaikan dimasa yang akan datang dan sebagai motivasi bagi kami untuk lebih baik kedepannya.
Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan tugas ini terutama kepada dosen pengampu mata kuliah Fikih, Bapak Abdul Hafiz Sairazi, SHI, MHI. Semoga Allah SWT, membalas amal kebaikan. Jazaakumullah khairon . Aamiin.
Dengan segala pengharapan dan doa semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Barakallahu fiikum,
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.





Banjarmasin,     Februari 2018


Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................... ii
BAB I      PENDAHULUAN............................................................................................
1.1. Latar belakang........................................................................................
1.2. Rumusan masalah...................................................................................
1.3. Tujuan penulisan.....................................................................................
BAB II     PEMBAHASAN..............................................................................................
2.1. Pengertian Ahli waris.............................................................................
2.2. Rukun-rukun warisan.............................................................................
2.3. Sebab-sebab memperoleh warisan..........................................................
1. Nasab Hakiki.......................................................................................
2. Nasab Hukmi.......................................................................................
3. Perkawinan yang shahih......................................................................
2.4. Syarat-syarat warisan.............................................................................
2.5. Penghalang warisan................................................................................
1. Budak..................................................................................................
2. Pembunuh............................................................................................
3. Perbedaan Agama...............................................................................
4. Perbedaan dua Negara........................................................................
2.6. Hak peninggalan mayit (Tirkah).............................................................
2.7. Ashabul furuudh.....................................................................................
2.8. Ashabah..................................................................................................
2.9. Pembagian Ashabah...............................................................................
BAB III    PENUTUP.......................................................................................................
3.1. Simpulan.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Manakala kita menghadapi persoalan warisan yang menyangkut dengan hukum waris Islam (hukum faraidh), apabila hendak menyelesaikan sebenarnya dapat kita lakukan dengan mudah, asalkan segala persoalan yang menyangkut proses pembagiannya dikerjakan secara sistematis. Dalam mengerjakan pembagian harta warisan menurut hukum islam, pertama sekali yang penting diketahui adalah sistematika penyelesaian, dengan kata lain ada tahapan-tahapan yang harus kita lalui, dan apabila tahapan-tahapan ini kita lalui dengan benar maka bagaimanapun rumitnya persoalan warisan yang dihadapi, dengan mudah kerumitan itu akan diselesaikan.
Seandainya dalam tahapan pertama (menentukan ahli waris) salah, maka untuk selanjutnya sudah dapat dipastikan akan mengalami kesalahan, karena dapat saja terjadi seseorang itu kita buat sebagai ahli waris, padahal semestinya dia bukan sebagai ahli waris, atau sebaliknya seseorang kita tentukan bukan sebagai ahli waris padahal semestinya dia berhak sebagai ahli waris. Kesalahan dalam tahap awal ini akan berakibat fatal, karena kita memberikan bagian kepada orang yang tidak berhak, sebaliknya orang yang berhak tidiak diberikan haknya, kesalahan dini akan membawa kesalahan yang berurutan pada tahap-tahap selanjutnya.
Maka dari itu penulis dapat mengambil suatu rumusan yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini, yakni tentang ahli waris agar kita bisa mengetahui siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dan siapa saja yang tidak.

1.2 Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dari Faraidh, Ashabul Furud, dan Ashabah ?
2.      Apa saja rukun-rukun warisan ?
3.      Siapa saja orang yang berhak mendapatkan warisan ?
4.      Apa saja syarat-syarat pewarisan ?
5.      Apa saja sebab yang menjadi penghalang warisan ?
6.      Apa saja hak-hak yang menjadi peninggalan si mayit ?
7.      Bagaimana pembagian Ashabah ?

1.3  Tujuan penulisan
1.      Agar Mahasiswa/i dapat mengetahui apa itu Faraidh, Ashabul furudh, Ashabah.
2.      Agar Mahasiswa/i dapat mengetahui apa saja rukun-rukun warisan.
3.      Agar Mahasiswa/i dapat mengetahui siapa saja yang mendapatkan warisan.
4.      Agar Mahasiswa/i dapat mengetahui apa saja syarat-syarat warisan.
5.      Agar Mahasiswa/i dapat mengetahui siapa saja orang yang tidak mendapat warisan.
6.      Agar Mahasiswa/i dapat mengetahui hak-hak seorang mayit.
7.      Agar Mahasiswa/i dapat mengetahui bagaimana pembagian Ashabah.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1   PENGERTIAN WARISAN (ILMU FARAIDH)
Mawaris atau warisan dinamakan juga dengan Al-Faraidh, artinya bagian-bagian  harta mayit yang ditetapkan oleh Allah bagi mereka yang berhak menerimanya.
Ilmu waris adalah kaidah-kaidah yang mengajarkan tentang bagian harta waris yang diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
Ilmu mirats juga dinamakan dengan ilmu faraid , artinya masalah-masalah pembagian warisan. Sebab, Faraid adalah bentuk jamak dari fariidhah, yang diambil dari kata fardhu yang bermakna ‘yang ditetapkan,’ karena didalamnya ada bagian-bagian yang telah ditetapkan.
Al-Faraid adalah bagian-bagian yang ditentukan. Oleh karena, kata al-faraid lebih banyak digunakan daripada yang lain.[1]
Faraidh adalah jamak dari faridhah; faridhah diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan). Fardh dalam istilah syara’ adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Ilmu mengenai hal itu dinamakan ilmu waris (‘ilmu miiraats) dan ilmu faraidh.[2]
Al-Fardh (Fardh) : adalah bagian yang ditentukan oleh syara’ kepada ahli waris. Artinya, bagian yang ditentukan secara jelas dari peninggalan mayit dengan dasar nash dan ijma, seperti 1/8, 1/4, dimana tidak bertambah kecuali dengan radd dan tidak berkurang kecuali aul.[3]
2.2   RUKUN-RUKUN WARISAN
Warisan mempunyai tiga rukun yaitu orang yang mewariskan, orang yang mewarisi, dan yang diwarisi.
1.      Orang yang mewariskan (muwarrits). Yakni, orang mati yang meninggalkan harta atau hak.
2.      Orang yang mewarisi (warits). Yakni, orang yang berhak mendapatkan warisan  karena sebab-sebab yang akan dijelaskan, meskipun dia tidak benar-benar  mengambilnya karena suatu halangan. Dia berhak mendapatkan warisan dari orang lain karena kedekatannya baik secara hakiki maupun hukmi.
3.      Yang diwarisi (al-Mauruts). Yakni, peninggalan. Al-Mauruts dinamakan juga miraats dan irts, yaitu harta yang ditinggalkan oleh orang yang mewariskan atau hak-hak yang mungkin diwariskan . Seperti hak qishash, hak menahan barang yang dijual karena sudah terpenuhinya harga, dan hak barang gadaian karena terpenuhinya pembayaran utang.

Jika salah satu dari rukun-rukun ini tidak ada maka tidak ada pewarisan. Sebab, warisan adalah ungkapan dari perolehan hak seseorang terhadap harta orang lain karena bagian, ashabah, atau rahim. Jika salah satu dari hal itu tidak ada maka tidak ada warisan.

2.3   SEBAB-SEBAB MEMPEROLEH WARISAN  
Warisan itu diperoleh dengan tiga sebab :
1.      Nasab hakiki, Karena firman Allah swt :
“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamamu daripada yang bukan kerabat didalam Kitab Allah.”  (Surat Al-Anfaal ayat 75)

2.     Nasab hukmi, karena sabda Rasulullah  :
“Wala itu adalah kerabat seperti kekerabatan karena nasab.” (H.R. Ibnu Hibban dan Al-Hakim dan dia menshahihkannya pula)

3.      Perkawinan yang shahih, karena firman Allah swt. :
“Dan bagimu seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (Surat An-Nisa ayat 12).[4]

2.4   SYARAT-SYARAT PEWARISAN
Pewarisan itu mempunyai tiga syarat :
1.      Kematian orang yang mewariskan, baik kematian secara nyata ataupun kematian secara hukum, misalnya seorang hakim yang memutuskan kematian seseorang yang hilang. Keputusan itu menjadikan orang yang hilang sebagai orang yang mati secara hakiki, atau mati menurut dugaan seperti seseorang memukul seorang perempuan yang hamil sehingga janinnya gugur dalam keadaan mati.
2.      Pewaris itu hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun hidupnya itu secara hukum, misalnya kandungan. Kandungan itu secara hukum dianggap hidup, karena mungkin rohnya belum ditiupkan. Apabila tidak diketahui bahwa pewaris itu hidup sesudah orang yang mewariskan mati, seperti karena tenggelam, terbakar atau tertimbun; maka di antara mereka itu tidak ada waris-mewarisi jika mereka termasuk orang-orang yang saling mewarisi. Dan harta mereka masing-masing dari mereka itu dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.
3.      Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan.

2.5   PENGHALANG WARISAN (MAWAANI’ AL-IRTS)
Al-Maani’ (bentuk tunggal dari al-Mawaani’) menurut bahasa adalah penghalang. Sedangkan menurut istilah, adalah sesuatu yang menyebabkan status seseorang akan suatu makna (alasan) dalam dirinya menjadi tidak ada.
1.        Para fuqaha menyepakati tiga penghalang warisan yakni budak, membunuh, perbedaan agama.
2.        Hanafiyyah menyebutkan empat penghalang warisan yang popular yakni budak, membunuh, perbedaan agama, perbedaan negara.[5]
3.        Malikiyyah menyebutkan sepuluh penghalang warisan, yaitu: perbedaan agama, budak, pembunuhan sengaja, Al-Li’an, zina, ragu-ragu mengenai kematian muwarits, janin dalam kandungan, ragu-ragu mengenai hidupnya anak yang baru lahir, ragu-ragu mengenai matinya muwarrits, ragu-ragu mengenai kelelakian dan kewanitaan.[6]
4.        Syafi’iyyah dan Hanabilah menyebutkan tiga penghalang warisan, yaitu budak, membunuh, beda agama. Syafi’iyyah menambahi tiga penghalang lain: perbedaan statusnya kekafiran, Murtad, Ad-Daur al-Hukmi (hukum yang berputar).[7]

Oleh karena itu, kita akan kembali menjelaskan penghalang-penghalang warisan warisan yang empat, yaitu :
1.      PENGHALANG PERTAMA: BUDAK (AR-RIQ)
Ar-Riq menurut bahasa berati pengabdian,’ sedangkan, menurut istilah adalah ketidakmampuan secara hukum yang menetap pada diri manusia. Penyebabnya pada asalnya adalah kafir. Kafir adalah penghalang warisan secara mutlak, baik status budak itu utuh atau tidak, menurut pendapat Hanafiyyah dan Malikiyyah, Oleh karena itu, antara orang merdeka dan budak tidak bisa saling mewarisi. Artinya, budak tidak bisa mewarisi siapapun dan tidak bisa diwarisi. Sebab, status budak menghilangkan hak kepemilikan, Karena, status budak menyebabkan dia menjadi harta yang dimiliki oleh tuannya.
Hanabilah[8] mengatakan orang yang sebagian dari dirinya berstatus merdeka maka dia bisa mewarisi, dan sebagian statusnya yang lain juga diwarisi.[9]
Hal ini karena hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi . Bersabda mengenai budak yang dimerdekakan sebagian.
“Dia bisa mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang ada pada dirinya”

2.      PENGHALANG KEDUA: MEMBUNUH
Fuqaha bersepakat bahwa membunuh adalah penghalang warisan. Orang yang membunuh tidak mewarisi orang yang dibunuh. Karena sabda Nabi Muhammad .
-Laiisa lillqaatili miiraatsu.-
            “Orang yang membunuh tidak mempunyai hak warisan”[10]
Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai macam pembunuhan yang menghalangi warisan :
1.      Hanafiyyah : Itu adalah pembunuhan yang haram. Yakni, pembunuhan yang terkait dengan kewajiban qishash dan kafarat. Baik sengaja, semi sengaja.
2.      Malikiyyah : Pembunuhan yang menghalangi warisan ialah pembunuhan sengaja karena amarah, baik langsungmaupun karena sebab tertentu. Kecuali pembunuhan karena salah maka tidak menghalangi warisan harta namun menghalangi warisan diyat.
3.      Syafi`iyyah : Orang yang membunuh tidak mewarisi orang yang dibunuh secara mutlak, baik langsung atau karena sebab, baik terpaksa atau tidak, baik hak atau tidak, baik oleh orang mukallaf atau tidak. Dalil mereka adalah keumuman hadits at-Tirmidzi dan lainnya.
-Laiisa lilqaatili syaii’ –
“Orang yang membunuh tidak mendapatkan sama sekali”

4.      Hanabilah : Bahwa pembunuhan yang menghalangi warisan adalah pembunuhan karena tidak hak. Yaitu pembunuhan yang dijamin dengan qishash ,diyat, atau kafarat dll.

3.      PENGHALANG KETIGA: PERBEDAAN AGAMA
Perbedaan agama antara muwarrits dan orang yang mewarisi karena Islam dan lainnya, menghalangi warisan sebagaimana kesepakatan ulama madzhab empat. Orang Muslim tidak bisa mewarisi orang kafir, orang kafir tidak bisa mewarisi orang Muslim, baik disebabkan kekerabatan atau hubungan suami istri, karena sabda Nabi Muhammad .
“Orang Muslim tidak bisa mewarisi orang kafir, orang kafir tidak mewarisi orang Muslim.”[11]

Juga sabda Nabi Muhammad ,
“Dua orang yang berlainan Agama tidak saling mewarisi”[12]

Ini adalah pendapat yang paling unggul, sebab walayah (melindungi yang lain) menjadi terputus antara Muslim dan orang kafir. Pendapat ini diambil oleh undang-undang Mesir (M 6), Undang-undang Syria M 264, tentang tidak ada waris-mewaris antara orang Muslim dan non-Muslim.

4.      PENGHALANG KEEMPAT: PERBEDAAN DUA NEGARA
Yang dimaksud dengan Negara adalah negara yang mempunyai pertahanan khusus dan kekuasaan tersendiri. Yang dimaksud dengan perdebaan dua Negara adalah masing-masing orang yang mewarisi dan orang yang diwarisi mengikuti satu negara negara yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam hal pertahanan dan kerjaan, sementara satu dengan yang lainnya terputus perlindungan seperti salah seorang dari mereka dari India sedang yang lain dari Swedia.
Penghalang ini tampak antara Darul Islam dan Darul Harb. Adapun Darul Islam atau negara Muslim dianggap satu negara umat Islam. Orang Muslim dinegara manapun bisa mewarisi. Kalau orang Muslim di darul Harb maka yang mewarisi adalah ahli warisnya di Darul Islam. Penghalang ini khusus untuk non-Muslim. Sebab, negara Islam adalah satu Negara.
Adapun Darul Harb hukumnya berbeda bergantung dengan perbedaan negaranya.
Perbedaan negara adalah penghalang warisan menurut Hanafiyyah hanya jika itu antara orang kafir, bukan orang Muslim. Karena, terjadinya saling mewarisi antara pelaku kejahatan dan keadilan, meskipun berbedapertahanan dan kekuasaan. Penghalang ini dengan demikian khusus untuk non-Muslim.
Menurut Syafi`iyyah bukanlah penghalang warisan, namun mereka mengatakan tidak ada saling mewarisi antara kafir harbi dan kafir mu’ahad. Dan ini mencakup kafir dzimmi dan kafir musta’man, karena terputusnya muwalah antara keduanya.
Menurut Malikiyyah dan Hanabilah bukanlah penghalang mutlak warisan. Penduduk darul Harb bisa saling mewarisi, baik negara mereka berbeda atau sama.

2.6   HAK-HAK YANG BERKAITAN DENGAN PENINGGALAN MAYIT (AT-TIRKAH)
Definisi tirkahTirkah menurut bahasa adalah apa yang ditinggalkan oleh seorang dan dibiarkan tetap. Menurut istilah mayoritas ulama selain Hanafiyah, adalah semua yang ditinggalkan mayit berupa harta dan hak-hak yang tetap secara mutlak.
Tirkah menurut Hanafiyah adalah harta dan hak-hak finansial yang dimiliki mayit. Oleh karena itu, ia mencakup harta materiil seperti pekarangan ,barang bergerak, dan piutang ditempat orang lain, hak benda yang bukan harta, namun bisa dihargai dengan harta.
Hanafiyyah membatasi tirkah  hanya pada harta atau hak yang mempunyai hubungan dengan harta saja. Yang diwarisi menurut mereka adalah benda-benda yang berupa harta.
Adapun hak-hak yang berkaitan dengan tirkah ada dua macam:[13]
Pertama, yang berhubungan dengan hak orang lain pada saat dia masih hidup, ini tidak dinamakan tirkah . Namun, ia dinamakan dengan hak-hak benda, seperti hak penjual dalam penerimaan barang yang dibuang, hak orang yang menggadaikan terhadap barang yang digadaikan.dll
Kedua, tidak berkaitan dengan hak orang lai. Inilah yang dinamakan tirkah. Ini berkaitan dengan empat hak sesuai urutan sebagai berikut.
1.      PERAWATAN MAYIT DAN PENGAFANANNYA
Harus dimulai dengan pengkafanan mayin, perawatannya dengan baik sesuai tingkat kelonggaran dan kesulitan hidup si mayit menurut Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Atau dengan ukuran tidak mubadzir tidak pula menyia-nyiakan.
Perawatan jenazah yang dikehendaki adalah semua yang dibutuhkan si mayit ketika dia mati sampai ditimbun dalam kuburnya. Yakni, biaya-biaya memandikan, dan menggali kuburnya.
Mendahulukan biaya perawatan jenazah daripada utang adalah pendapat Hanabilah. Adapun Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mendahulukan pembayaran utang daripada biaya perawatan. Malikiyyah mendahulukan utang yang dijamin dengan gadai daripada perawatan jenazah. . Tersebut dalam kitab al-Adzb al Faidh volume 1/13: mayoritas ulama selain Imam Ahmad mendahulukan hak-hak yang berkaitan dengan peninggalan daripada perawatan jenazah.

2.      MEMBAYAR UTANG-UTANG MAYIT
Kemudian, setelah perawatan jenazah, utang-utang mayit dibayarkan dari semua hartanya yang tersisa setelah perawatan jenazah. Alasan diakhirkannya pembayaran utang daripada pengafanan dan sebagainya adalah karena pengafanan adalah pakaiannya setelah dia mati, sebagaimana pakaiannya selama dia hidup. Sebab untuk membayar utang, pakaian-pakaiannya tidak dijual selama ia mampu bekerja. Pembayaran utang lebih didahulukan daripada menjalankan wasiat, meskipun wasiat didahulukan penyebutannya dalam ayat. Ini karena ucapan Ali,
Aku melihat Rasulullah Mulai mengurus utang mayit daripada wasiat.”[14]
3.      PELAKSANAAN WASIAT-WASIATNYA
Wasiat-wasiat dilaksanakan dari sepertiga harta yang tersisa, bukan dari sepertiga harta asli si mayit yaitu setelah pelaksanaan hak-hak diatas, karena firman Allah swt,
“...setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya...”
 
(an-Nisaa`:12)
            Wasiat didahulukan daripada warisan, baik wasiat mutlak seperti wasiat dengan bagian yang populer dalam tirkah seperti sepertiga atau seperempat. Atau tertentu, yaitu wasiat yang berupa barang dari peninggalan mayit seperti rumah tertentu atau uang-uang tertentu.
            Hanafiyyah berpendapat bahwa wasiat jika berupa salah satu kewajiban Allah maka utang lebih didahulukan daripada kewajiban-kewajiban itu. Sebab, utang lebih kuat daripada kewajiban itu .

4.      HAK PARA AHLI WARIS
Sisa harta mayit setelah dilaksanakan hak-hak di atas dibagi kepada ahli warisnya, sesuai dengan tingkatan-tingkatan mereka. Ahli waris adalah orang-orang yang nasab atau hubungannya dengan mayit benar-benar ada. Mereka mendapatkan hak warisan yang bagian mereka terdapat dalam Al-Kitab, As-Sunnah, atau ijma.
Urutan hak-hak yang berkaitan dengan peninggalan mayit (Tirkah) menurut undang-undang Mesir M 4 menyatakan bahwa tirkah dilakukan sebagaimana berikut.
Pertama, biaya yang cukup untuk merawat mayit dan orang yang wajib diberi nafkah.
Kedua, utang-utang mayit
Ketiga, apa yang diwasiatkan oleh mayit dalam batas yang mana wasiat bisa dilaksanakan.
Keempat, harta yang masih tersisa setelah itu untuk para ahli waris. Jika tidak ada ahli waris maka tirkah digunakan sebagaimana berikut.
1.        Hak orang yang diakui oleh mayit adanya nasab pada orang lain.
2.        Apa yang diwasiatkan mayit yang mana lebih dari batas yang diperbolehkan melaksanakan wasiat (lebih dari sepertiga)

2.7 ASH-HAABUL FURUUDH
Warisan ada dua macam: fardh dan ashabah.
Ashabul fardh adalah para ahli waris yang menurut syara’ sudah ditentukan bagian-bagian tertentu mereka mengenai tirkah. Para ahli waris dzawil furudh ada dua belas, empat dari laki-laki yaitu suami, ayah, kakek, saudara laki-laki seibu. Delapan dari perempuan yaitu istri, ibu, nenek, anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu.
Bagian-bagian mereka yang ditentukan dalam kitabullah ada enam, yaitu setengah, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam. Ahli waris untuk masing-masing bagian adalah sebagai berikut.

a.    Ahli Waris yang Mendapatkan Setengah
Ahli waris yang mendapat bagian setengah ada lima, berdasarkan kesepakatan ulama. Mereka adalah:
1.        Suami: Ketika tidak ada anak keturunan yang mewarisi. Artinya, ketika tidak ada anak laki-laki, anak perempuan, anak laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dari anak laki-laki.
2.        Seorang anak perempuan. Jika dia sendirian tidak bersama ahli waris yang sejajar dengannya, dan tidak ada ashabah seperti anak laki-laki.
3.        Seorang anak perempuan dari anak laki-laki: jika dia sendiri dan tidak ada ahli waris ashabah. Juga, tidak ada anak perempuan atau anak laki-laki. Sebab, anak laki-laki bisa menghalanginya untuk mendapatkan setengah.
4.        Seorang saudara perempuan sekandung. Jika dia sendirian dan tidak ada ahli waris ashabah, tidak ada penghalang. Juga, tidak ada anak perempuan atau anak perempuan dari laki-laki.
5.        Seorang saudara perempuan seayah. Jika dia sendiri dan tidak ada ahli waris ashabah, tidak ada penghalang. Juga, tidak ada anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki, atau saudara perempuan kandung.
b.   Ahli Waris yang Mendapatkan Seperempat
Seperempat adalah bagian dua orang yaitu:
1.      Suami, dengan adanya anak keturunan yang mewarisi.
2.      Seorang istri atau lebih, tanpa ahli waris anak keturunan.

c.    Ahli Waris yang Mendapatkan Bagian Seperdelapan
Seperdelapan adalah bagian seorang saja, ketika ada ahli waris anak keturunan, karena Firman Allah SWT.
فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ....
“... jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggali...”(an-Nisaa’:12)
d.   Ahli Waris yang Mendapatkan Bagian Dua Pertiga
Dua pertiga adalah bagian empat orang yaitu:
1.        Dua anak perempuan yang atau lebih ketika tidak ada ashabah yang bersama mereka.
2.        Dua orang anak perempuan dari anak laki-laki atau lebih ketika orang yang meninggal tidak mempunyai anak, ashabah yang yang bersama mereka juga tidak ada dua orang anak perempuan, karena izma.
3.        Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, ketika tidak ada dua orang anak perempuan dan dua orang anak perempuan dari anak laki-laki, dua orang saudara perempuan sekandung, tidak ada ashabah bersama mereka dan tidak ada penghalang.
4.        Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih ketika tidak ada dua orang anak perempuan, dua orang anak perempuan dari anak laki-laki, dua orang saudara perempuan sekandung, tidak ada ashabah dan tidak ada penghalang.
e.    Ahli Waris yang Mendapatkan Bagian Sepertiga dan Sepertiga Sisa
Sepertiga adalah bagian dua orang:
1.         Ibu, ketika tidak ada ahli waris anak dan sejumlah saudara laki-laki.
2.         Sejumlah saudara laki-laki dan sejumlah saudara perempuan seibu ketika tidak ada ahli waris anak dan ayah laki-laki.
f.     Ahli Waris yang Mendapatkan Seperenam
Seperenam adalah bagian tujuh orang, yaitu:
1.         Ayah dan ahli waris anak.
2.         Kakek dengan anak dan tidak ada ayah, karena ijma.
3.         Ibu dengan ahli waris anak atau sejumlah saudara laki-laki dan saudara perempuan.
4.         Nenek shahihah artinya nenek seibu atau seayah, seorang atau lebih ketika tidak ada ibu. Nenek lebih dari satu bersama-sama mendapatkan seperenam. Ahli waris yang dekat menghalangi ahli waris yang jauh.
5.         Seorang anak perempuan dari anak laki-laki atau lebih bersama dengan seorang anak perempuan dan tidak ada ahli waris ashabah.
6.         Seorang saudara perempuan seayah atau lebih dengan saudara perempuan kandung, tidak ada ahli waris ashabah, tidak ada ahli waris garis ayah yang laki-laki juga garis cabang (anak dan seterusnya), karena adanya ijma bahwa seperenam untuk saudara perempuan seayah sebagai penyempurna dua pertiga, yakni bagian dua orang saudara perempuan.
7.         Saudara perempuan seibu atau saudara laki-laki ketika tidak ada ahli waris garis anak dan garis ayah yang laki-laki.

2.8 ASHABAH-ASHABAH (ASHABAAT)
            Ashabaat adalah bentuk jamak dari ashabah, yaitu laki-laki dari kerabat mayit yang dalam penasabannya kepada mayit tidak ada perempuan. Ashabah laki-laki adalah ayah mayit,anak laki-lakinya, kerabatnya dari pihak ayah. Mereka dinamakan ashabah, sebab mereka melingkupi orang yang dekat dengan mereka dan melindunginya.[15]
            Ashabah yaitu orang-orang yang mendapatkan sisa dari warisan orang-orang yang sudah ditentukan oleh al-Qur’an dan jika tidak ada sisa warisan setelah dibagikan kepada Ashabul furudh maka golongan kedua ini tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan mayit. .’Ashabah dapat disebabkan karena dirinya sendiri seperti `ashabah dari lelaki (selain suami dan anak ibu) atau `ashabah disebabkan selain dari mereka yaitu anak perempuan, cucu perempuan, saudara kandung perempuan, saudara perempuan dari bapak, setiap masing-masing dari mereka mendapatkan sisa warisan, disebabkan adanya saudara mereka laki-laki atau baik `ashabah bersama yang lainnya yaitu saudara-saudara perempuan bersama anak-anak perempuannya.[16]

2.9 PEMBAGIAN ASHABAH
            Ashabah dibagi menjadi dua : ashabah sababi dan ashabah nasab.
1.      ASHABAH SABABI
Ashabah Sababi adalah ashabah orang yang memerdekakan atau orang yang memerdekakannya. Kemudian ashabah sababi  sesuai dengan urutan ashabah sebagai berikut: maula al-Ataqah (tuan yang memerdekakan) mewarisi orang yang dimerdekakannyajika dia tidak mempunyai ahli waris ashabul furudh atau ashabah nasabi . Oleh karena itu, ashabah sababi adalah kekerabatan secara hukum, sebabnya adalah memerdekakan, karena tuan memberikan nikmat kepadanya.
Urutan ashabah orang yang memerdekakan yaitu anak lai-laki dari orang yang memerdekakan adalah orang yang paling berhak dengan ashabah, kemudian anak laki-laki dari anak laki-laki, meskipun terus kebawah, kemudian ayahnya, kakeknya meskipun sampai keatas, karena sabda Nabi Muhammad .
“Wala` (perwalian karena memerdekakan) adalah bagian seperti bagian nasab.”[17]

2.      ASHABAH NASAB
Ashabah nasab adalah laki-laki kerabat mayit, yang antara mereka dengan mayit tidak ada perempuan seperti anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, dan paman, anak perempuan dengan saudara laki-lakinya, saudara perempuan dengan anak perempuan.
Dalil pewarisan mereka adalah firman Allah SWT,
                        “Allah mensyariatkan kepadamu tentang pembagian warisan untuk anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...”(an-Nisaa`:11)
                        Kemudian Al-Qur’an menjelaskan bagian ayah dan ibu, dan menunjukan bahwa anak-anak mengambil sisa setelah bagian dari ayah dan ibu.
                        Firman Allah SWT,
                        “...Dan jika mereka ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan...” (an-Nisaa`:176)
                        Menunjukan bahwa saudara laki-laki termasuk ashabah nasab.
Macam-Macam Ashabah Nasab
a.      Ashabah bin-Nafsi
Yaitu, setiap laki-laki yang dekat dengan mayit, penasabannya kepada mayit tidak ada perempuan
Ashabah bin-Nafsi adalah kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan orang yang meninggal tanpa diselingi oleh orang perempuan.
Ketentuan ini mengandung dua pengertian, yaitu antara ,mereka dengan orang yang meninggal tidak ada antara perantara sama sekali, seperti anak laki-laki dan ayah orang yang meninggal, serta terdapat perantara, tetapi bukan yang perempuan seperti cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayahnya ayah (kakek), saudara sekandung.
Dengan demikian, yang termasuk `ashabah bin Nafsi adalah:
1.      Anak laki-laki
2.      Cucu laki-laki dari jalur laki-laki
3.      Bapak
4.      Kakek shahih
5.      Saudara laki-laki sekandung
6.      Saudara laki-laki sebapak
7.      Anak laki-laki sekandung
8.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9.      Paman sekandung
10.  Paman sebapak
11.  Anak laki-laki paman sekandung
12.  Anak laki-laki paman sebapak
13.  Orang laki-laki yang memerdekakan budak

b.      Ashabah bil Ghair
Yaitu, setiap perempuan yang yang mempunyai bagian tertentu, yang ada bersamanya laki-laki dari tingkatannya.
Ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris yang telah menerima bagian dari sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak ada maka ia tetap menerima bagian tertentu. Ahli waris penerima Ashabah bil ghair terdiri dari :
1.    Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki
2.    Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki
3.    Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung
4.    Saudara perempuan se ayah bersama dengan saudara laki-laki se ayah[18]

Contoh kasus 1:
Seseorang wafat meninggalkan seorang anak kandung laki-laki dan seorang anak kandung perempuan , dalam hal ini seluruh harta warisan dibagi antara mereka berdua, sebagai ashabah dengan ketentuan bagian laki-laki adalah dua kali lipat dari perempuan.
            Contoh kasus 2:
Seseorang wafat meninggalkan cucu laki-laki dan cucu perempuan, dalam hal ini harta warisan menjadi milik mereka berdua dengan ashabah dengan ketentuan bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan
            Ashabh bil ghair memiliki dua sisi yaitu:
1.      Ashabah, Yaitu wanita yang memiliki hak waris setengah dari harta warisan jika ia sendiri dan 2/3 jika ia berdua atau lebih.
2.      Ghair, Yaitu laki-laki yang bergabung bersama wanita karena berada pada derajat yang sama dan memilikihubungan kekerabatan yang sangat kuat.
            Adapun beberapa contoh dari ashabul bil ghair yaitu :
1.      Seseorang wafat meninggal anak perempuan, ibu, dan paman, dalam hal ini anak perempuan memperoleh ½ dari harta warisan, ibu memperoleh 1/6 berdasarkan furudh dan paman mendapatkan sisanya ashabah.
2.      Seseorang wafat meninggal dua anak perempuan, istri, dan paman, dalam hal ini anak perempuan memperoleh 2/3 dari harta warisan, istri memperoleh 1/8 berdasarkan furudh dan paman mendapatkan sisanya ashabah.
BAB III
PENUTUP


3.1  SIMPULAN
Ilmu waris adalah kaidah-kaidah yang mengajarkan tentang bagian harta waris yang diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
Al-Faraid adalah bagian-bagian yang ditentukan. Oleh karena, kata al-faraid lebih banyak digunakan daripada yang lain.
Warisan mempunyai tiga rukun yaitu orang yang mewariskan, orang yang mewarisi, dan yang diwarisi.
1.      Orang yang mewariskan (muwarrits).
2.      Orang yang mewarisi (warits).
3.      Yang diwarisi (al-Mauruts).
Warisan itu diperoleh dengan tiga sebab :
1.      Nasab hakiki
2.      Nasab hukmi
3.      Perkawinan yang shahih.

Ashabul fardh adalah para ahli waris yang menurut syara’ sudah ditentukan bagian-bagian tertentu mereka mengenai tirkah. Para ahli waris dzawil furudh ada dua belas, empat dari laki-laki yaitu suami, ayah, kakek, saudara laki-laki seibu. Delapan dari perempuan yaitu istri, ibu, nenek, anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu. Bagian-bagian mereka yang ditentukan dalam kitabullah ada enam, yaitu setengah, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam.

Ashabah yaitu orang-orang yang mendapatkan sisa dari warisan orang-orang yang sudah ditentukan oleh al-Qur’an dan jika tidak ada sisa warisan setelah dibagikan kepada Ashabul furudh maka golongan kedua ini tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan mayit.


DAFTAR PUSTAKA

Az-zuhaili, Wahbah, 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jilid 10. Jakarta: Gema Insani
Sabiq, Sayyid, 1997. Fikih Sunnah 14. Bandung: Alma’arif
Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, 2011. Fiqhus Sunnah Linnisa, Penerjemah. Achmad Zaeni Dahlan dan Sandi Heryana. Jawa Barat: Pustaka Khazanah Fawa`id
Rofiq, Ahmad, 2001. Fiqh Mawaris. Cet, 4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sabiq, Sayyid, 1997. Fikih Sunnah 12-13-14. Bandung: Alma’arif, 1997)



[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIKIR, 2011) , Cet.1, hlm.340
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14: (Bandung : Alma’arif, 1997) Jil.14, hlm. 235
[3] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIKIR, 2011) , Cet.1, hlm. 345
[4] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12-13-14: (penerbit : Alma’arif, 1997) , hlm. 258
[5] Syarh as-Sirajiyyah: hlm. 18-24; ad-Durrul Mukhtaar wa Raddul Muhtaar: V/541-543; Tabyiinul Haqaa’iq: VI/239 dan seterusnya; al-Lubaab Syarh al-Kitaab: IV/188, 197.
[6] Al-Qawaaniin al-Fiqhiyyah hlm. 394 dan seterusnya; Bidaayatul Mujtahid: II/346 dan seterusnya.
[7] Mughnil Muhtaaj: III?24-29; ar-Rahabiyyah: hlm 19; Kasysyaaful Qinaa’: IV/448 cet. Makkah; al-Mughnii: VI/266-270, 291-298.
[8] Al-Mughnil: VI/267-269
[9] Macam-macam budak pada masa lalu. Al-Qanal-Mukatabal-MudabbarUmmu Walad dan Muba`adh. Al-Qan adalah status budak yang utuh. Al-Mukatab adalah orang yang melakukan perjanjian tertulis dengan tuannya atas sejumlah harta tertentu, agar merdeka. Al-Mudabbar adalah budak belian yang mana tuannya mengatakan kepadanya “Kamu merdeka setelah aku mati.” Adapun Ummu walad budak perempuan yang melahirkan anak dari tuannya. Budak Mudabbar dan Ummu walad tidak boleh dijual. Keduanya merdeka dengan kematian tuannya. Adapun budak muba`adh adalah orang sebagian dirinya berstatus merdeka karena pemiliknya telah memerdekakannya. Budak Muba`adh menurut Abu Hanifah dalam posisi budak selama dia masih mempunyai tanggungan satu dirham dalam melepaskan kebudakannya, oleh karena itu dia tidak mewarisi dan tidak pula diwarisi. Sedangkan Menurut Imam Malik,Syafi’i, dan Ahmad bahwa dia merdeka. Jika orang yang memerdekakannya orang kaya, bagian sekutunya itu dihitung menjadi tanggungan orang yang memerdekakan itu dengan harga yang adil dan diserahkan kepada sekutunya. Si budak itu sebagian statusnya budak dan sebagian merdeka. (Bidaayatul Mujtahid: II/360)
[10] HR Malik dalam al-Muwaththa`, Ahmad, Ibnu Majah, asy-Syafi’i, Abdurrazzaq, al-Baihaqi dari Umar. (Nailul Authaar: VI/74).
[11]HR Jamaah selain an-Nasa`i dari Usamah bin Zaid (Nailul Authaar: VI/73)
[12]HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Abdullah. At-Tirmidzi mempunyai riwayat juga dari Jabir,ibid..
[13]Syarh as-Siraajiyyah , hlm. 3-7; ad-Durrul Mukhtaar wa Raddul Muhtaar: V/535-537; asy-Syarhush Shaghiir: IV/616-  618; al-Qawaaniin al-Fiqhiyyah: hlm. 383 dan seterusnya; Mughnil Muhtaaj: III/3-4: Kasysyaaful Qinaa’: IV/447.
[14] HR at-Tirmidzi diriwayatkan dari Ali bahwa dia berkata “pembayaran utang adalah sebelum wasiat. Ahli waris tidak mendapatkan wasiat.”
[15]Syarh as-Siraajiyyah: hlm, 70-82; Tabyiinul Haqaa’iq: VI/237 dan seterusnya ; al-Lubaab: IV/193 dan seterusnya.
[16]Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah Linnisa, Penerjemah. Achmad Zaeni Dahlan dan Sandi Heryana: (Jawa Barat: Pustaka Khazanah Fawa`id, 2011) .

[17] HR ath-Thabrani dari Abdullah bin Abi Aufa, al-Hakim, dan al-Baihaqi dari Ibnu Umar.
[18] Ahmad rofiq, Fiqh Mawaris, (Cet., 4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal.79


Komentar