Langsung ke konten utama

Makalah Qishash, Had dan Ta'zir



QISHASH, HAD/HUDUD dan TA’ZIR
DISUSUN OLEH :


Fitriah                          : 170101040229 Maulana Azizah          : 170101040991




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUANA.    Latar Belakang..........................................................................................................
B.     Rumusan Masalah.....................................................................................................

BAB II PEMBAHASANA.    Pengertian Qishas.....................................................................................................
B.     Pensyariatan atau hukuman qishas............................................................................
C.    Perbedaan qishas dengan bentuk-bentuk hukuman hadd lainnya................... .........
D.    Syarat-syarat qishas..................................................................................................
1)      Syarat-syarat pelaku pembunuhan......................................................................
2)      Syarat-syarat korban yang di bunuh...................................................................
3)      Syarat-syarat tindakan pembunuhan itu sendiri..................................................
4)      Syarat wali korban yang dibunuh.......................................................................
E.       Perkara-perkara yang menghalangi qishas......................................................
F.       Seberapa jauh tingkat keharusan hukuman qishas..........................................
G.      Pemilik hak terhadap qishas...........................................................................
H.      Kewenangan untuk menuntut pemenuhan hak qishas...................................
I.         Mekanisme pelaksanaa eksekusi qishah.........................................................
J.        Perkara-perkara yang bisa menggugurkan hukuman qishah...........................
A.    Pengertian Hudd............................................................................................
B.       Macam-macam Hukuman Huudud/Had........................................................
C.      Penentuan Bentuk Dan Polanya.....................................................................
D.      Pelaksanaan Hukuman Hadd/Huudud...........................................................
A.      Pengertian Ta’zir............................................................................................
B.       Penetapan Hukuman Ta’zir............................................................................
C.      Hikmah Penetapan Hukuman Ta’zir dan peradaban Ta’zir dan Huduud......
D.      Bentuk Hukuman Ta’zir.................................................................................
E.       Ta’zir Melebihi Sepuluh Cambukan...............................................................
F.       Ta’zir Berupa Hukuman Mati.........................................................................
G.      Ta’zir Berupa Penyitaan Harta.......................................................................
H.      Ta’zir adalah Hak Hakim...............................................................................
I.         Ganti Rugi Dalam Hukuman Mati.................................................................


BAB III PENUTUPA.    Kesimpulan...............................................................................................................
B.     Saran.........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... iii



BAB IIPEMBAHASAN
I.A. Pengertian Qishah
Kata al-qishaash dan al-qashash secara bahasa artinya adalah mengikuti jejak. Kata ini digunakan untuk menunjukan arti  hukuman, karena orang yang menuntut qishah mengikuti jejak kejahatan pelaku kejahatn lalu membalasnya dengan melukainya misalnya. Kata ini juga berarti mumaatsalah (kesepadanan, kesamaan). Dari arti inilah, pengertian hukuman qishas secara syara diambil, yaitu membalas atau menghukum pelaku sama dengan apa yang telah ia lakukan, yaitu di bunuh.[1]Allah telah mensyariatkan qishash, karena di dalamnya terdapat kehidupan yang besardan keberlangsungan bagi umat manusia. Jika pembunuh mengetahui bahwa dia akan dikenai hukuman mati, maka dia pun jera. Dengan demikian, dia lebih memilih bagi dirinya untuk bertahan hidup di satu sisi, dan di sisi lain dia membiarkan hidup orang yang sebelumnya hendak dibunuhnya.[2]Pada dasarnya qishash dilaksanakan dengan eksekusi mati terhadap pembunuh dengan cara yang diterapkan saat dia membunuh. Hanya saja yang demikian ini akan membuat ketersiksaan yang relatif lama bagi pihak yang dijatuhi eksekusi mati. Maka dari itu, eksekusi dengan menggunakan pedang lebih efektif baginya, dan karena Allah. Berfirman, yang artinya “siapa yang menyerangmu, maka seranglah dia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (Al-Baqarah [2]: 194).[3]Telah terjadi perdebatan yang sengit seputar hukuman mati. Berbagai tulisan para penulis pun mengungkapkan tentang perdebatan ini, dari kalangan ahli filsafat dan pakar perundang-undangan, seperti Roussou, Bintam, Bakkariya, dan lainnya. Diantara mereka ada yang mendukung hukuman mati dan sebagian dari mereka menentangnya serta menyerukan agar hukuman mati ditiadakan.[4]A.  Pensyari’atan Hukuman Qishas
Pensyari’atan hukuman qishas tertetapkan berdasrkan Al-Qur’an, sunnah, ijma, dan nalar. Adapun dari Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menyatakan tentang hukuman qishas sebagaimana yang sudah pernah disinggung sebelumnya, di antaranya adalah ayat yang artinya, “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang di bunuh,”(Al-Baqarah:187). “ Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telingan dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishasnya.” (Al-Maa’idah: 45). “Dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hal orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Al-Baqarah:179). Dalam sunah terdapat pula banyak hadits yang menjelaskan tentang hukuman qishas, di antaranya adalah,
لا يحلُّ د م ا مر ئ مسلم يشهد أ ن لا إ لا بإ حد ى ثلا ث ا لشيب الزا ني والنفس با نفس و التارك لد ينه المفار ق للجما عة“Tidak halal (menumpahkan) darah seseorang muslim yang bersaksi bajwasanya tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya aku adalah utusan Allah kecuali terhadap salah satu dari tiga orang, yaitu orang yang telah menikah yang berzina, jiwa dengan jiwa (pembunuh), dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) yang memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin).”[5]            Jumhur ulama mengatakan bahwa qishas yang dijalani oleh pelaku atau ampunan yang diberikan kepadanya itu bisa menghapus dosa pembunuhan yang dilakukannya, karena, “Hukuman hadd adalah sebagai kafarat bagi para terpidana yang menjalaninya.” Karena kemanfaatan hukuman qishas hanya bagi orang-orang yang masih hidup supaya mereka berhenti dari tindakan pembunuhan. Perhatikan ayat berikut ini, yang artinya “Dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 179)[6]
B.       Syarat-Syarat Qishas
Ada sejumlah syarat yang harus terpenuhi supaya hukuman qishas bissa ditetapkan. Syarat-syarat tersebut ada yang terkait dengan pelaku, ada yang terkait dengan koraban, ada yang terkait dengan tindakan pembunuhan itu sendiri dan ada pula yang terakit dengan wakil korabn.

a.       Syarat-syarat pelaku pembunuhan
Ada empat syarat yang harus terpenuhi pada diri pelaku pembunuhan yang bisa dijatuhi hukuman qishas. Keempat syarat tersebut adalah seperti berikut:1)        Pelaku harus bersatu mukallaf (baligh dan berakal). Oleh karena itu, hukuman qishas maupun hukuman hadd tidak bisa dijatuhkan terhadap pelaku anak kecil atau orang gila.
2)        Pelaku memang sengaja dan bermaksud untuk membunuh, yakni menginginkan untuk menghilangkan nyawa korbannya.
3)        Kesengajaan dan keinginan untuk membunuh itu harus murni, yakni tidak terkeruhkan dengan adanya syubhat yang mengindikasikan bahwa pelaku tidak memiliki keinginan untuk membunuh.
4)        Menurut ulama Hanafiyah, pelaku ketika melakukan tindakan pembunuhannya adalah dalam kondisi mukhtaar (atas keingina dan kemauan sendiri, tidak dalam kondisi terpaksa).[7]
b.      Syarat-syarat Korban yang dibunuh
1)          Korban adalah yang berstatus mahqunud dam, yakni diharamkan melakukan pelanggaran dan penganiayaan terhadap hidupnya.
2)          Korban bukanlah bagian dari pelaku yang membunuhnya, yakni tidak ada ikatan nasab kebapakan dan keanakan antara korban dan pelaku. Alasan pembedaan anatar orang tua dengan anak dalam hukum ini adalah, kekuatan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak, hanya saja kekuatan kasih sayang orang tua terhadap anak adalah kasih sayang yang murni tanpa ada kecurigaan terkotori dengan suatu keinginan dan tendensi materil terselubung .

Beberapa pendapat para ulama tentang syarat pelaku pembunuhan:
1)             Jumhur (selain ulama fHanafiyah), mensyaratkan bahwa status korban adalah sepadan dengan status pelaku pada sisi keislaman dan kemerdekaan.  Hal ini berdasarkan hadits,
 لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَا فِرٍ
“Seorang muslim tidak dibunuh (diqishas) lantaran membunuh orang kafir.”
اَ لْمُسْلِمُوْنَ تَتَكَا فَأٌ دِ مَا ؤُ هُمْ وَ يَسْعَى بِذِ مًّتِهِمْ أَ دْ نَا هُمْ أَ لاَ لاَ يُقْتَلُ مُؤْ مِنٌ بِكَا فِرٍ“Orang-orang mukmin itu setara darah mereka. Mereka adalah bagaikan satu tangan menghadapi orang-orang selain mereka. Orang-orang lemah diantara mereka boleh berusaha (memberikan suaka, memberikan jaminan keamanan) dengan mendapat tanggungan (jaminan) mereka (maksudnya, apabila ada seseorang di antara mereka memberikan suaka atau jaminan keamanan kepada musuh dari orang kafir, maka mereka semua harus menghormati dan menjaga suaka itu, mereka tidak boleh menggangu musuh yang diberi suaka tersebut, meskipun orang yang memberi suaka itu adalah orang yang lemah dan rendah diantara mereka). Ingatlah seorang mukmin tidak dihukum mati lantaran membunuh orang kafir.”[8]
2)             Ulama Hanafiah juga memperkuat pandangan mereka itu dengan qiyas, yakni tangan orang islam dipotong ketika ia melakukan pencurian terhadap harta milik orang kafir dzimmi. Apabila keharaman harta orang kafir dzimmi sama seperti keharaman harta orang islam, maka keharaman darah orang kafir dzimmi juga sama seperti keharaman darah orang islam.
3)             Sementara itu, ulama Syafi’iyah mengatakan, bahwa seorang pemberontak dibunuh (dihukum qishas) karena membunuh orang yang al-adl dan begitu juga sebaliknya, orang al-adl dibunuh (dihukum qishas) karena membunuh seorang pemberontak, jika pembunuhan itu dilakukan di luar peperangan (ketika sedang tidak berperang).
4)             Imam syafi’i dan ulama Hanabilah mengatakan, dimakruhkan bagi orang al-adl membunuh seorang pemberontak yang masih kerabatnya. Imam syafi’i menambahkan, kawasan yang dikuasai oleh kelompok pemberontak hukumnya tetap masuk wilayah hukum daarul islam, sehingga apabila di sana terjadi suatu tindak kejahatan yang meharuskan ditegakannya hukum hadd, imam harus melaksanakannya ketika ia telah menguasai willayah tersebut.
5)             Sementara itu, ulama Malikiyah mengatakan, pelaku dihukum bunuh bukan sebagai hukuman qishas, akan tetapi karena tindakan membuat kerusakan dan tindakan hiraabah (pembegalan), maka ulama Malikiyah berpendapat, di dalamnya tidak disyaratkan unsur kesepadanan, sehingga si pelaku tetap dihukum bunuh meskipun korbannya adalah seorang budak sedangkan ia adalah seorang merdeka, atau korbannya adalah orang kafir sedangkan ia (pelaku) adalah orang islam, serta didalamnya tidak boleh ada pengampunan dan tidak pula kompromi berdamai (shulh), kompromi damai yang dilakukan oleh wali korban tidak bisa diterima, dan kewenangan sepenuhnya berada di tangan iman.[9]


c.      Syarat-syarat Tindakan pembunuhan itu sendiri
Ulama Hanafiyah mensyaratkan, tindakan pembunuhan yang mengharuskan qishas haruslah tindakan pembunuhan secara langsung, bukan pembunuhan secara langsung, bukan pembunuhan debgan sebab (pembunuhan secara tidak langsung).[10] Akan tetapi secara garis besar mereka hanya mengatakan, pelaku pembunuhan dengan sebab (secara tidak langsung) tetap dihukum qishas sama seperti jika pembunuhan itu dilakukan secara langsung, karena kedua bentuk pembunuhan ini adalah serupa.

Menurut jumhur, hukuman qishas tetap dikenakan terhadap pelaku pembunuhan dengan sebab hissy seperti tindakan memaksa seseorang untuk melakukan pembunuhan, atau dengan sebab syar’i seperti para saksi yang memberikan kesaksian palsu dalam kasus pembunuhan hingga menyebabkan ada orang ynag tidak bersalah dihukum qishas, juga dalam beberapa kasus pembunuhan dengan sebab ‘urfi seperti menyuguhkan makanan yang telah diberi  racun keapada anak kecil atau orang gila.

Ulama Malikiah dan Hanabilah mengatakan, pelakunya dikenai hukuman qishas. Sedangkan ulama Syafii’iyah berdasarkan pendapat yang paling raajih mengatakan, pelaku tidak dikenai hukuman qishah, akan tetapi hanya dikenai sanksi hukum berupa membayar diyat (diyat pembunuhan mirip sengaja).
d.      Syarat Wali Korban yang dibunuh
            Untuk wali korban yang dibunuh sebagai pemilik hak qishas, ulama Hanafiyah mensyaratkan, ia harus diketahui identitasnya dan jelas siapa orangnya. Apabila wali korban tidak diketahui siapa orangnya, tidak wajib qishas karena maksud dan tujuan dari penetapan qishas adalah untuk memenuhi hak wali korban. Sementara pemenuhan hak bagi orang yang tidak diketahui identitasnya dan siapa orangnya tentunya tidak bisa dilakukan, karena memang tidak diketahui siapa pemilik hak tersebut. Namun para imam yang lain tidak sependapat dengan ulama Hanafiyah dalam penetapan syarat ini.[11]

C.       Perkara-Perkara yang Mehalangi Qishas

Dari pembahsan seputar syarat qishas di atas, bisa diambil suatu pemahaman bahwa ada sejumlah kasus pembunuhan yang di dalamnya tidak bisa di berlakukan hukuman qishas. Jumlahnya ada enam kasus yang mungkin untuk dimasukkan ke dalam cakupan konsef syubhat yang menjadi dasar alasan ditolaknya penjatuhan hukuman hadd termasuk di antaranya adalah hukuman qishas. Keenam kasus tersebut adalah seperti berikut :

1.      Kasus pembunuhan orang tua (ayah, ibu, kakek, nenek dan seterusnya ke atas) terhadap anak, cucu, cicit dan seterusnya ke bawah. Hanya saja, ulama Malikiah mengecualikan satu hal, yaitu apabila orang tua tersebut memang benar-benar terbukti secara nyata bahwa ia memang benar-benar sengaja dan memang memiliki maksud untuk membunuh si anak. Adapun ikatan suami-istri tidak bisa menjadi penghalang penjatuhan hukuman qishas berdasarkan kesepakatan keempat madhzab yang ada (seorang suami tetap dihukum qishas karena membunuh istrinya, atau sebaliknya) berbeda dengan pendapat az-Zuhri dan al-Laits Sa’d.

2.      Kasus pembunuhan dengan korban yang tidak sepadan dan tidak sebanding tingkatannya dengan pelaku dallam hal keislaman dan kemerdekaan menurut jumhur fuquha selain ulama Hanafiah. Adapun orang kafir, maka mereka di qishas karena membunuh sesama orang kafir tanpa pengecualian, karen itu, orang kafir dzimmi dihukum qishas karena membubuh orang kafir dzimmi, majusi, harbi, atau musta’man.
3.      Status hanya terlibat secara tidak langsung, yaitu menyepakati dan menyetujui untuk membunuh seseorang tetapi tidak langsung menyaksikan aksi pembunuhan yang dilakukan, atau ikut mengagitasi atau memberikan bantuan dalam suatu aksi pembunuhan, namun tidak ikut secara langsung dalam aksi pembunuhan tersebut. Dalam demikian pihak yang tidak ikut secara lanngsung dalam pembunuha tersebut tidak dikenai qishas tetapi hanya dikenai hukuman ta’zir menurut jumhur fuquha.

Hal ini berbeda dengan pendapat ulama Malikiah yang mengatakan, bahwa orang yang ikut hadir dan menyaksikan atau membantu namun tidak ikut secara langsung dalam pembunuhan yang dilakukan seperti ia hanya mengawasi, atau hanya ikut menjaga pintu atau mengamankan jalan, maka ia tetap ikut dikenai hukuaman qishas.

Adapun dalam kasus pembunuhan yang melibatkan sejumlah orang secara langsung, maka mereka semua dikenai hukuman qishas berdasarkan kesepakatan fuqaha.
4.      Pembunuhan dengan sebab (pembunuhan secara tidak langsung) menurut ulama Hnafiyah, berbeda dengan pendapat selain mereka.
5.      Wali korban yang dibunuh tidak diketahui identitasnya dan siapa orang menurut ulama Hanafiyah, berbeda dengan pendapat selain mereka.

6.      Pembunuhan yang dilakukan di kawasan daarul harb menurut ulama Hanafiyah, berbeda dengan pendapat selain mereka.[12]
Menurut ulama Hanafiyah, hukuman qishas tidak dijatuhkan terhadap seorang yang membunuh orang Islam di Kawasan daarul harb, karena imam tidak memiliki kewenangan dan kekuasaan atas kawasan daarul harb, baik apakah korban tersebut adalah orang yang dirinya masuk Islam dikawasan daarul harb dan belum berhijrah ke daarul Islam, maupun orang islam yang sebenarnya dari penduduk daarul Islam akan tetapi ia sedang masuk ke kawasan daarul harb dengan jaminan keamanan atau ijin seperti seorang pedagang seperti orang islam.

Sementara itu, menurut kedua rekan Imam Hanafiah (Muhammad dan Abu Yusuf), pelaku tetap dikenai ancaman hukuman qishas karena membunuh orang islam yang sedang berada di daarul harb karena untuk berdagang atau karena menjadi tawanan, karena mereka berdua tetap sebagai penduduk daarul Islam, sementara kondisi ketertawanan adalah kondisi yang bersifat baru dan insindentil.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanafiyah, apabila korban yang dibunuh adalah si pedagang tersebut, pelaku wajib membayar diyatnya. Sedangkan jiwa yang dibunuhnya adalah si tawanan, ia tidak terkena kewajiban membayar diyatnya. Sementara itu, selain ulama Hanafiyah berpendapat dalam semua kasus ini, pelaku tetap terkena ancaman hukuman qishas sebagaimana yang sudah dijelaskan dibagian terdahulu.



D.      Seberapa Jauh Tingkat Keharusan Hukuman Qishas

Ulama Hanafiyah, Ulama Malikiyah, Ulama Syafi’iyah brrdsarkan zahir madhzab mereka yang raajih menurut mereka, dan sebuah versi riwayat dari imam Ahmad menyatakan, tindak pembunuhan sengaja ancaman hukumannya yang pasti dan tertentu adalah hanya qishas semata, berdasarkan ayat, “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Al-Baqarah: 178) ayat ini memberikan pengertian bahwa hukuman yang pasti dan tertentu untuk kasus pembunuhan sengaja hanyalah qishas saja. Juga berdasarkan hadits, “Barangsiapa membunuh secara sengaja, ancaman hukumannya adalah qishas.”[13]
Berdasarkan pendapat ini, Ulama Hanafiyah, Ulama Malikiah dan Ulama Syafi’iyah berdasarkan pendapat madzhab menyatakan, seandainya wali korban memberi maaf secara mutlak tanpa menyebutkan bahwa ia meminta diyat sebagai gantinya, pelaku tidak wajib membayar diyat, akan tetapi ia boleh memberi diyat atas kemauan dan keinginan sendiri sebagai imbalan pemaafan yang telah diberikan kepadanya.

Wali korban memberikan maaf secara Cuma-Cuma atau menuntut qishas, yakni apabila ia memang ingin mengambil pembalasan, maka yang bisa ia lakukan hanya dengan qishah bukan diyat. Wali korban boleh memberikan maaaf dengan meminta ganti berupa diyat atau lebih banyak dari diyat atau lebih sedikit dengan persetujuan pelaku, dan ketika itu, maka berarti diyat tersebut adalah sebagai ganti qishas. Seandainya wali korban berjumlah lebih dari satu orang, lalu ada salah satu diantara yang telah keburu mengqishas pelaku sebelum para wali yang lain mengutarakan pendapat dan keinginan mereka, maka hak qishas para wali yang lain itu telah gugur dan mereka juga tidak bisa menuntut diyat. Status diyat yang dianggap sebagai ganti qishas berkonsekwensi bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman sekaligus gantinya sebagi balasan untuk satu tindakan kejahatan.[14]
Sementara itu, ulama Hanabilah berdasarkan versi riwayat yang lain dari Imam Ahmad dan ini adalah versi riwayat yang raajih menurut mereka, dan sebuah versi pendapat ulama Syafi’iyah menyatakan, bahwa qishas bukanlah hukuman yang wajib ‘ain dan tertentu untuk kasus pembunuhan sengaja, akan tetapi ancaman hukuman yang wajib untuk pembunuhan sengaja adalah salah satu dari dua hal, yaitu qishas atau diyat.[15]
Adapun hadits, “Barangsiapa membunuh secara sengaja, maka hukumnya adalah qishas,” maka maksudnya adalah wajibnya qishas. Pembunuhan berbeda-berbeda dengan kasus-kasus pengrusakan lainnya, karena pengganti untuk sesuatu yang dirusakan selain jiwa adalah tidak memandang apakah ada maksud dan kesengajaan ataukah tidak, berbeda halnya dengan kasus pengrusakan jiwa (pembunuhan).
Ulama Hanabilah menambahkan sejumlah dalil dan argumentasi lain. Di antaranya adalah perkataan Abdullah Ibnu Abbas r.a,
“Hukum yang berlaku bagi Bani Israel waktu itu hanya ada hukuman qishas saja dan tidak berlaku diyat. Lalu Allah berfirman ditujukan kepada umat ini, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang ynag dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,” pemaafan maksudnya adalah menerima diyat untuk pembunuhan disengaja,” maka hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dimaafkan) membayar (diyat) kepada memberi maaf dengan cara yang baik pula,” maksud mengikuti dengan cara yang baik, yaitu penuntutnya mengikuti dengan cara yang baik dan pihak yang dituntut membayarkan tuntutan diyat itu kepada si penuntut dengan cara yang baik pula, yang demikian itu merupakan suatu keringanan dar Tuhan kalian dan suatu Rahmat, yakni keringanan dan rahmat dari apa yang diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian.” (Al-Baqarah: 178).[16]
Juga hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a dalam bentuk riwayat marfu:

من قتل له فتيل فهو بخير النظر ين إما أن يو دى أو يقاد
“Barangsiapa mempunyai (keluarga) yang dibunuh, maka ia boleh memilih salah satu di antara dua pilihan, boleh ia menuntut diyat, atau menuntut hukuman qishas,”[17]
Al-Qadhi Abu Ya’la mengatakan, ia boleh melakukan hal itu, karena posisi hukuman qishas adalah yang tertinggi, sehingga ia boleh berpindah ke hukuman yang lebih rendah, sehungga dengan begitu, hal itu statusnya adalah sebagai ganti qishas. Namun ada kemungkinan, hal itu tidak bisa ia lakukan, karena dengan dirinya memilih qishas, berarti ia telah menggurkan diyat, sehingga ia tidak bisa kembali lagi kepada diyat yang telah gugur itu.[18]

E.       Pemilik Hak Terhadap Qishas
            Pemilik hak terhadap qishas atau wali darah (wali korban yang dibunuh) menurur ulama Hanafiah, ulama Hanabilah dan menurut pendapat yang shahih menurut ulama Syafi’iyah adalah, setiap ahli waris korban yang mewarisi hartanya, baik apakah ia adalah ahli waris yang masuk ke dalam kategori dzawul furuudh (yang memiliki bagian secara tertentu) maupun ahli waris ‘ashabah, yakni semua ahli waris baik laki-laki, perempuan, suami dan istri.

            Sementara itu, ulama Malikiyah mengatakan, pihak memilik hak qishas adalah kerabat ashabah laki-laki, yakni semua ahli ashabah bin nafsi dengan memprioritaskan yang paling dekat lalu yang dibwahnya begitu seterusnya kecuali kake dan saudara laki-laki, maka mereka berada pada tingkatan yang sama dalam hal hak qishas dan pemberian maaf. Oleh karena itu, anak perempuan, saudara perempuan, suami atau istri tidak bisa ikut campur dalam masalah qishas.
            Menurut ulama Malikiah, seorang perempuan terkadang bisa menjadi pihak pemilik hak qishas dengan tiga syarat,
1.         Ia adalah orang yang mendapatkan bagian warisan dari harta korban, seperti aak perempuan atau saudara perempuan.
2.         Tidak ahli waris ‘ashabah yang menyamainya dalam hal tingkatan dan kekuatan kekerabatnya sekaligus, yaitu jika memang tidak ditemukan sama sekali ahli waris ‘ashabah yang menyamainya dalam hal tingkatan dan kekuatan kekerabatnya sekaligus, atau ada tapi tingkatannya lebih rendah darinya, seperti paman dan anak perempuan atau saudara perempuan.
3.         Seandainya diasumsikan ia adalah laki-laki, maka ia menajdi ahli waris ‘ashabah.[19]

            Apabila ahli berbilang (lebuh dari satu), apakah hak qishas masing-masing dari mereka adalah dalam bentuk hak yang berdiri sendiri ataukah dalam bentuk hak yang bersifat komunal (hak bersama, syarikah) dalam hal ini terdapat dua versi pendapat:
            Pendapat pertama, yaitu milik Imam Abu Hanafiah dan Imam Malik, mengatakan bahwa hak qishas tertetapkan bagi setiap ahli waris secara tersendiri dan utuh, karena qishas adalah hak mereka sejak awal dan asli (buka didapatkan dari tangan orang lain) dengan kematian korban, sebab maksud dan tujuan qishas adalah mengambil pembalasan dan mengobati kemarahan hati, sementara hal ini tidak dibutuhkan oleh orang yang sudah mati.

            Pendapat kedua, milik ulama Syafi;iyah, ulama Hanabilah berdasarkan zahir pendapat madzhab Hanbali, dan kedua rekan Imam Abu Hanafiyah (Muhammad dan Abu Yusuf), mengatakan bahwa hak qishas tertetapkan untuk masing-masing dari mereka dalam bentuk hak bersama.[20]


F.        Kewenangan Untuk Menuntut Pemenuhan Hak Qishas
1.      Apabila pihak yang memiki hak qishas hanya satu orang, maka ada kalanya ia sudah dewasa atau masih anak-anak.
a.       Apabila ia adalah orang yang sudah dewasa, ia bisa menuntut pemenuhan hak qishas, berdasarkan ayat,

“Barangsiapa dibunuh secara zalim, sesungguhnya kami telah memberikan kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampui batasnya dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Al-Isra: 33)
b.      Apabila ia adalah masih anak-anak atau orang gila, maka ada dua versi pendapat di kalangan para pemuka ulama Hanafiyah mengenai apakah harus menunggu hingga si anak baligh atau hingga si gila itu sembuh. Versi pendapat pertama mengatakan ditunggu hingga si anak baligh atau si gila itu sembuh. Sedangkan versi kedua mengatakan tidak perlu menunggu, akan tetpai tuntutan pemenuhan hak qishas itu diwakili oleh hakim.[21]
      Ulama Malikiyah mengatakan, tidak perlu menunggu, akan tetapi kewenangan yang ada diberikan kepada wali atau washyi (orang yang ditunjuk untuk mengasuh dan mengelola harta anak yatim atau orang gila).
      Sementara itu, Ulama Syafi’iyah dan Ulama Hanabilah mngatakan, harus menunggu hingga si anak baligh atau hingga si gila sembuh.

2.      Apabila pihak yang memiliki hak qishas adalah berbilang (lebih dari satu orang) maka ada kalanya mereka semua adalah orang-orang yang sudah dewasa, atau ada kalanya ada dianatara mereka yang masih anak-anak.[22]
a.       Apabila mereka semuanya adalah orang-orang yang sudah dewasa dan mereka semua ada di tempat, masing-masing dari mereka memilki kewenangan dan kekuasaan untuk menuntut pemenuhan hak qishas.

      Akan tetapi, Ulama Hanafiyah mensyaratkan bahwa pada saat pengambilan pemenuhan hak qishas, mereka semua harus hadir, tidak boleh ada diantara mereka yang masih belum hadir, karena ada kemungkinan pihak yang belum hadir itu memberikan maaf.

      Sementara itu, ulama Hanabilah dan pendapat yang azhhar menurut ulama Syafi’iyah menyatakan, pihak yang mendahului membunuh pelaku itu tidak dikenai qishas.

b.      Adapun apabila diantara mereka para pemilik hak qishas itu terdapat anak kecil, atau orang yang sedang tidak ada di tempat, atau orang gila, menurut imam Abu Hanafiah dan Imam Malik, tidak perlu menunggu sampai si anak baligh atau samapi si gila sembuh, akan tetapi pengambilan pemenuhan hak qishas itu bisa langsung dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa dan berakal.

      Menurut ulama Hanafiah dan Ulama Malikiah, ayah atau kekek bisa mengambil pemenuhan hak qishas atas nama si anak.

      Ulama Malikiah menambahkan bahwa kewenangan ini juga bisa diberikan kepada washyi (pihak yang ditunjuk untuk mengasuh dan mengelola harta anak yatim) juga.[23]
      Sementara itu, Muhammad, Abu Yusuf, Ulama Syafi’iyah dan Ulama Hanabilah mengatakan, harus menunggu dan mereka yang dewasa atau yang ada di tempat tidak boleh langsung menuntut pemenuhan hak qishas, akan tetapi mereka harus menunggu sampai si anak baligh atau sampai si gila itu sembuh, atau sampai orang yang tidak ada di tempat itu pulang.
G.      Mekanisme Pelaksanaan Eksekusi Qishas
            Dalam hal ini ada dua versi pendapat seperti berikut,

1.      Ulama Hanfiyah dan pendapat yang lebih sahih menurut Ulama Hanabilah menyatakan bahwa eksekusi qishas mati tidak boleh dilakukan kecuali memggunakan pedang, apakah kejahatan pembunuhan yang dilakukan terpidana adalah dengan menggunakan pedang dan lain sebagainya, dengan menggunakan sesuatu itu sendiri memang sebenarnya diharamkan seperti sihir, tegukan minuman keras dan sodomi, dengan menggunakan benda tumpul seperti batu dan tongkat, dengan cara menggunkan cara penenggelaman, pembakaran, dengan cara peruntuhan tembok hingga menimpa korban, penyekapan, pencekikan, pemotongan suatu anggota tubuh korban kemudia menyabet lehernya, maupun dengan menggunkan bentuk-bentuk lehernya, maupun dengan menggunkan bentuk-bentuk kejahatan terhadap korban selain yang disebutkan di atas lalu korbanpun mati, serta telah memenuhi syarat-syarat qishas berdasarkan pendapat masing-masing madzhab sebagaimana yang sudah dijelaskan dibagian terdahulu.[24]
      Akan tetapi, jika wali darah (wali korban yang berhak menuntut pemenuhan qishas) membunuh pelaku dengan melemparkannya ke dalam sumur, atau membunuhnya dengan menggunkan batu, atau dengan bentuk pembunuhan yang lain, maka ia dikenai hukuman ta’zir dan ia sudah dianggap telah mendapatkan pemenuhan haknya untuk mengqishas. Mereka melandaskan pendapat ini pada hadits,

لا قو د إلا با لسيف
“Tidak ada pelaksanaan eksekusi qawad (qishas) kecuali dengan menggunakan pedang.” [25]
2.      Ulama Malikiyah dan Ulama Syafi’iyah mengatakan, terpidana hukuman qishas dieksekusi dengan cara yang sama dengan cara pembunuhan yang ia lakukan terhadap korban, baik itu dengan cara menggunakan benda tumpul seperti batu, dengan cara melempar korban dari tempat ketinggian, pembunuhan dengan cara mencekik, dengan cara menyekap dan tidak memberi makan dan minum, peneggelaman, pembakaran dan yang lainnya. Ulama Malikiyah dan Ulama Syafi’iyah melandaskan pendapat mereka di atas pada sejumlah dalil dari Al-Qur’an, sunnah dan dalil nalar.

Adapun dalil dari Al-Qur’an, diantaranya adalah ayat,

“Jika kamu memberikan balasan, blaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (an-Nahl: 194)
“Oleh sebab itu, barangsiapa yang menganiaya kamu, balsalah ia dengan balasan yang sama denagn penganiayaan yang ia lakukan terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah bserta orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 194)“Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (asy-Syuuraa: 40)

Sedangkan dalil dari sunah diantaranya adalah hadits,
من حر ق حر قنا ه و من غر ق غر قنا ه
“Barangsiapa yang membakar, kami akan membakarnya dan barang siapa menenggelamkan maka kami akan menenggelamkannya.”
      Pelaksanaan eksekusi qishas yang dilakukan langsung oleh wali korban sendirimenggunakan pedang dan lain sebagainya terkadang menggunakan jasa algojo spesialis apabila pihak yang berhak terhadap qishas tidak bersedia untuk melakukannya sendiri, atau terkadang dilakukan sendiri oleh wali darah (ahli waris korban yang berhak terhadap qishas).[26]      Berdasarkan hal ini, apabila wali darah ingin melakukan sendiri pelaksanaan eksekusi terhadap pidana, maka diisyaratkan dua hal:1.      Hal itu atas seizin imam. Jika tidak, ia dikenakanai hukuman ta’zir.
2.      Qishah yang dilakukan adalah qishas mati (kasusnya adalah pembunuhan), bukan qishas untuk kasus kejahatan berupa pencederaan dan pemotongan anggota tubuh.
            Eksekusi qishas (hukuman mati) dengan menggunakan alat selain pedang, karena itu, secara syara’ tidak ada larangan untuk menggunakan alat atau cara lain yang lebih cepat dari pedang, lebih bisa meminimalisir rasa sakit dan lebih jauh dari kesan penyiksaan (mutslah), seperti mifshalah yang termasuk bentuk senjata tajam, kursi litrik yang bisa cepat membuat terpidana pingan, dengan cara hukum gantung karena tidak ada darah yang teralirkan dan dimaksudkan untuk menghentikan kerja fungsi jantung, atau hukuman mati dengan menggunakan gas beracun tertentu yang mirip dengan obat bius.[27]

H.      Perkara-Perkara yang Bisa Menggugurkan Hukuman Qishas
            Hukuman qishas menjadi gugur karena salah satu dari empat hal berikut, yaitu pelaku keburu meninggal dunia, adanya pemaafan, adanya kompromi damai (shulh), dan yang keempat adalah pelaku mewarisi hak qishas yang sedianya akan dilaksanakan terhadapnya. Penjelasan lebih lanjut adalah seperti berikut,
1.      Pelaku meninggaal dunia (objek qishas sudah tidak ada)
                        Apabila terpidana hukuman qishas keburu meninggal dunia, atau ia dibunuh seacara aniaya tanpa hak (tanpa alasan yang benar), atau ia dibunuh berdasarkan alasan yang benar karena ia murtad atau karena ia diqishas, maka qishas yang ada menjadi gugur, karena objek qishas adalah jiwa terpidana, sementara jiwanya sudah hilang melayang.

                        Ulama Hanafiah dan Ulama Malikiyah mengatakan bahwa apabila qishas gugur karena si terpidana keburu meninggal dunia, maka tidak ada kewajiban diyat yang diambilkan dari harta peninggalan si terpidana. Apabila si pidana meninggal dunia, gugurlah wajib ‘ain itu. Wali darah tidak bisa mengambil diyat atas kerelaan dan persetujuan dan keinginan si terpidana. Diyat tidak menjadi wajib kecuali atas persetujuan dan keinginan si terpidana.

                        Sementara itu, ulama Hanabilah mengatakan, ketika qishas menjadi gugur karena meninggalnya si terpidana, maka wali darah masih tetap memiliki hak untuk meminta diyat. Karena hukumannya yang wajib untuk kasus pembunuhan sengaja adalah satu dari dua hal, yaitu qishas atau diyat, bukan qishas saja. Sehingga, apabila wali darah memilih untuk mengambil diyat, diyat itu menjadi wajib untuk dibayarkan sekalipun si pidana tidak setuju.


2.      Pemaafan

      Pembicaraan seputar pemberian maaf oleh wali korban terhadap si terpidana hukuman qishas mencakup, pensyariatan memberi maaf, rukunnya, pengertian, dan syarat-syaratnya, serta hukum-hukumnya.[28]   



   
         



II. A. Pengertian Hudud/Had
            Kata Had secara bahasa artinya adalah Al-man’u (mencegah, menghalangi) oleh karena itu seorang bawwaab (penjaga pintu) disebut juga Haddaad, karena bertugas mencegah dan mengahalangi orang-orang masuk. Sanksi adalah hukuman disebut huduud karena hukuman tersebut bisa mencegah dari melakukan tindakan-tindakan yang bisa menyebabkan terkena hukuman tersebut. Huuddud Allah SWT adalah mahaarin Nya (ketentuan-ketentuan Allah SWT yang tidak boleh dilanggar), karena itu adalah hal-hal yang dilarang. Allah SWT berfirman, : “Itulah larangan (Huduud) Allah, maka janganalah kamu mendekatinya.” (Al-Baqarah: 187)
            Huduud Allah SWT juga bisa berrati hukuman Allah SWT yakni aturan dan batasan yang ia tetapkan, sehingga manusia tidak bolehh melanggarnya. Disebut Huduud, karena ia tidak boleh dileawti. Allah SWT berfirman: “ Itulah hukum-hukum (Huduud) Allah, maka janganalah kamu melampuinya (melanggarnya). Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang dzalim.” (Al-Baqarah: 229)
            Hukuman Had secara Syara’ menurut istilah ulama Hanafiyah adalah, hukuman yang bentuk dan polanya telah ditetapkan, ditentukan dan dipatok oleh Syara’ dan wajib dilaksanakn sebagai Hak Allah SWT. Oleh sebab itu, hukuman ta’zir tidak bisa disebut had, karena hukuman ta’zir bentuknya tidak ditetapkan dan ditentukan. Begitu juga, qishas tidak bisa disebut had karena meskipun qishas adalah hukuman yang bentuknya telah ditetapkan dan ditentukan, akan tetapi qishas merupakan hak manusia, bukan hak Allah SWT sehingga di dalam qishas boleh terjadi pemberian maaf dan kesepakatan rekonsiliasi (damai shulh).
            Yang dimaksud hukuman had itu sebagai hak Allah SWT adalah, bahwa hukuman tersebut diberlakukan untuk menjaga dan melindungi kehormatan, nasab, harta benda, akal, dan jiwa dari berbagai bnetuk gangguan dan pelanggaran.

            Sedangkan menurut istilah jumhur fuqoha selain ulama Hanafiyah, suatu bentuk hukuman yang telah ditentukan dan ditetapkan secara syara’ baik itu adalah, sebagai hak Allah SWT ( hak publik ) maupun hak hamba (hak individu)

B.      Macam-macam Hukuman Hadd
Menurut Ulama Hanafiyah menagatakan, hukuman hadd ada lima:1.      Hukuman hadd tindak pencurian.
2.      Hukuman Hadd tindak perzinaan.
3.      Hukuman Hadd menenggak khamr.
4.      Hukuman Hadd mabuk-mabukan.
5.      Hukuman Hadd menuduh orang lain berbuat zina (haddul qadz).
Menurut Fuqaha selain ulama Hanafiyah, hukuman Hadd ada tujuh, berdasarkan pertimbangan bahwa pengertian hadd adalah, suatu bentuk hukuman yang telah ditetapkan dan ditentukan oleh Allah SWT sehingga siapun tidak boleh ada yang melanggarnya.
Sedangkan menurut buku karangan H. Sulaiman Rasjid yang berjudul Fiqih Islam menjelaskan macam-macam Hadd sebagai berikut:1.      Larangan berzina
2.      Larangan meminum minuman keras (memabukan)
3.      Larangan mencuri
C.      Penentuan Bentuk dan Polanya
Hukuman Hadd dan qishas telah ditentukan dan ditetapkan bentuk serta dan polanya oleh syara’, baik bentuk hukumannya maupun jenis dan kategori kejahatnnya. Sehingga seorang hakim tidak memilki kewenangan dan otoritas untuk menentukannya sesuai dengan situasi dan kondisi pelaku kejahatan atau situasi dan kondisi kejahatan yang dilakukan.

            Bahkan menurut ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah, seorang hakim harus orang sudah mencapai tingkatan mujtahid.





D.      Pelaksanaa Hukuman Hadd
Hukuman Hadd, dan qishas ketika wali korban tidak menberikan ampunan, maka penguaa wajib melaksanakannya. Di dalamnya tidak boleh ada pengampunan, pembebasan (ibraa’), memintakan ampunan (syafaat) dan pengguguran dengan alasan apapun.


III. A. Pengertian Ta’zir
            Ta'zir dapat bermakna pengangunaan dan pertolongan. Seperti dalam firman Allah.,لتومنوابااللهورسوله وتعزروه وتوقروه"Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya dan meagangungkan-Nya." (Al-Fath[48]:9)
Maksudnya; meanggungkan-Nya dan membela agama-Nya. Ta'zir juga bermakna penghinaan. Dikatakan; azzara fulan fulanan. Artinya ; dia menghina fulan sebagai pelajaran dan tindakan supaya dia jera atas dosa yang diperbuatnya. Ta'zir yang dimaksud dalam syariat adalah; pembinaan atas kesalahan yang tidak ada ketentuan hududnya tidak pula kafarat. Maksudnya; ta'zir merupakan hukuman pembinaan yang ditetapkan hakim atas tindak kejahatan atau kemaksiatan yang tidak ditetapkan hukumannya oleh syariat, atau hukumannya ditetapkan syariat tetapi tidak memenuhi syarat-syarat pelaksanaan seperti berhubungan badan bukan pada kemaluan, mencuri barang yang tidak dikenai hukuman potong tangan, tindak kejahatan yang tidak ad qishashnya, wanita berhubungan badan dengan wanita, dan tuduhan dalam kasus diluar perzinaan.

Hal ini lantaran kemaksiatan tetbagi dalam tiga bagian:1. Kemaksiatan yang terdapat ketentuan hidupnya namun tidak ada kafaratnya. Yaitu hudud yang telah dibahas sebelum ini.2. Kemaksiatan yang terdapat kafaratnya namun tidak ada ketentuan hududnya. Seperti berhubungan badan pada siang bulan Ramadhan dan berhubungan badan pada saat ihram.3. Dan kemaksiatan yang tidak ada kafarat tidak pula hududnya. Seperti kemaksiatan-kemaksiatan yang telah dibahas sebelum ini yang dikenai hukuman ta'zir.
B. Penetapan Hukum Ta'zirYang menjadi landasan hukuman ta'zir adalah hadist yang diriwayatkan Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Baihaki dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kaketnya, bahwasanya Rasullulah saw.menjatuhkan sanksi tahanan terkait kasus tuduhan. Menurut hakim hadist ini shahih. Penahanan ini hanya sebagai penahanan kehati-hatian hingga hakikatnya jelas. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud menyampaikan dari Hani' bin Nayyar bahwasanya dia mendengar Rasullulah saw.bersabda,
"Janganlah kalian mencabuk lebih dari sepuluh cambukan kecuali dalam sanski hukum diantara sanksi-sanksi hukum (hudud) Allah ta'ala."
Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa Umar bin Khathtab ra.pernah menjatuhkan hukuman ta'zir dan pembinaan dengan memotong rambut, mengasingkan, dan cambuk. Sebagaimana dia juga pernah membakar warung para tukang khamar serta kampung tempat penjualan khamar. Dia juga membakar istana Sa'ad bin Abi Waqqash di Kufah lantaran keberadaab istana ini membuatnya tertutup dari rakyat. Dia membuat cambuk untuk memukul orang yang layak mendapatkan cambukan serta membuat bangunan penjara dan mencambuk qanita yang meratapi jenazah hingga rambutnya terlihat. Tiga imam fikih mengatakan, itu wajib. Syafi'i mengatakan, tidak wajib.
C.  Hikmah Penetapan Ta'zir dan Peradaban Antara Ta'zir dengan Hudud
Islam telah menetapakan ta'zir untuk membina orang-orang yang melakukan tindak kemaksiatan dan mereka yang melanggar aturan. Hikmah ta'zir adalah juga hikmah yang terdapat dalam penetapan hudud sebagaimana yang telah dipaparkan sebelum ini dalam bahasan-bahasannya tersendiri. Hanya saja ta'zir berbeda dengan hudud dalam tiga segi:
1.      Hudud berlaku sama di antara manusia, sementara ta'zir berbeda-beda sesuai dengan perbedaan mereka. Jika seseorangan yang mulia melakukan kekeliruan, maka kekeliruan boleh dimaafkan. Jika dia dikenai hukuman atas kekeliruannya, maka selayaknya hukuman yang dijatuhkan kepadanya lebih ringan dari pada hukuman yang dijatuhkan kepadanya lebih ringan dari pada hukuman yang dijatuhkan kepda orang lain yang melakukan seperti kekeliruannya yaitu, orang yang dibahwanya dalam kemuliaan dan kedudukan. Ahamad, Abu Daud, Nasai, dan Baihaki meriwayatkan bahwa Rasullulah saw. bersabda,
"Maklumilah kekeliruan orang-orang terpandang kecuali terkait hudud."Maksudnya, jika orang yang dikenal bukan sebagai orang jahat melakukan kekeliuran, melakukan dosa kecil, atau dia seseorang yang taat dan ini merupakan kesalahannya yang pertama, maka janganlah kalian menghukumnya. Jika harus dikenai hukuman, maka  hendaknya hukumannya diperingan.2.      Bahawsanya hudud tidak boleh diberi syafaat (rekomendasi untuk menggugurkan atau meringankan hukuman) setelah diajukan kepada hakim, sementara ta'zir dibolehkan untuk diberi syafaat.
3.      Orang yang mau lantaran hukuman ta'zir mendapatkan gabti rugi. Umar ra. pernah membuat seorang wanita ketakutan hingga perutnya mengalami ganti rugi. Umar ra. pernah membuat seorang wanita ketakutan hingga perutnya mengalami gangguan dan kemudian keguguran yang mengakibatkan janinnya mati. Lalu Umar ra. menanggung diyat janinnya. Abu Hanafiah dan Malik mengatakan, tidak ada tanggungan kerugian tidak pula sanski apa-apa, karena ta'zir dan hudud dalam hal ini sama.


D.      Bentuk Hukuman Ta'zir
Ta'zir bisa dilakukan dengan perkataan, seperti kecaman, teguran, dan nasihat, serta ta'zir dapat bisa dilakukan dengan perbuatan sesuai dengan tuntutan keaadan. Sebagaimana ta'zir dapat dilakukan dengan cambukan, penahanan, pemborgolan, pengasingan, pengucilan, dan pemecahan. Abu Daud meriwayatkan bahwasanya seorang waria (laki-laki yang menyerupai wanita) dihadapan kepada Rasullulah saw.. Waria ini memberi kutek pada kedua tangan dan kakinya. Mereka berkata, wahai Rasullulah, apakah kami boleh menjatuhi hukuman mati? Rasullulah saw. bersabda,
"Aku melarang pembunuhan terhadap orang-orang yang menunaikan shalat."Ta'zir tidak boleh berupa pemotongan jenggot, penghacuran rumah, perusakan kebun, tanaman, buah, dan pohon, sebagaimana ta'zir juga tidak boleh dengan pemotongan hidup tidak pula pemotongan telinga, bibir, atau ujung jari, karena itu tidak pernah dilakukan oleh seorang sahabat pun.
E.       Ta'zir Melebihi Sepuluh Cambukan
Telah dipaparkan sebelum ini dalam hadist Hani' bin Nayyar mengenai larangan ta'zir melebihi sepuluh cambukan. Kententuan ini didukung oleh Ahmad, Laits, Ishak, dan sejumlah penganut mazhab Syafi'i. Mereka mengatakan, tidak boleh ada tambahan melebihi sepuluh cambukan. Inilah yang ditetapkan dalam syariat. Malik, Syafi'i Zaid bin Ali, dan lainnya berpendapat bahwa tambahan melebihi sepuluh cambukan dibolehkan dalam ta'zir, tetapi tidak boleh mencapai tingkat hudud terendah. Sejumlah kalangan mengatakan, ta'zir terkait tindak kemaksiatan tidak boleh mencapai batas hudud terkait tindak kemaksiatan. Dengan demikian, ta'zir yang diterapkan terkait kemaksiatan melalui pandangan dan penglihatan langsung tidak mencapai sanksi hukum zina tidak pula tindak pencurian yang tidak mencapai ketentuan potong tangan, tidak pula terkait cacian yang tidak tetmasuk dalam tuduhan dengan sanski hukum yang telah ditetapkan. Ada yang bependapat; pihak berwenang perlu melakukan ijtihad dan menetapkan hukuman sesuai dengan kemaslahatan, serta sesuai dengan tingkat kejahatan.

F.        Ta'zir Berupa Hukuman Mati
Ta'zir berupa hukuman mati dibolehkan oleh sebagian ulama, sementara sebagian lainnya melarang. Dalam riwayat Ibny Abidin disebutkan nukilan dari al-Hafizh Ibnu Taimiyyah, "Di antara pokok-pokok mazhab Hanafi adalah bahwa tindakan yang tidak dikenai hukuman mati menurut mereka, seperti pembunuhan dengan benda yang biasanya tidak dapat digunakan untuk membunuh, dan perbuatan keji yang dilakukan seseorang  jika berulang-ulang maka penguasa boleh menjatuhkan hukuman mati terhadap pelakunya. Demikian dia boleh menambah sanksi hukum yang telah ditetapkan jika memandang bahwa itu mengandung kemaslahatan."
G.      Ta'zir Berupa Penyitaan Harta
Ta'zir boleh berupa penyitaan harta. Ini adalah pendapat Abu Yusuf yang juga merupakan pendapat Malik. Penulis Mu'in al-Hukkam mengatakan, siapa yang mengatakan bahwa hukuman materi telah dihapus, maka dia keliru berdasarkan pendapat para ulama terkemuka, baik dari segi penukilan maupun argumentasi, dan tidak mudah menyampaikan klaim adanya penghapusan hukumnya. Orang-orang yang mengklaim adanya penghapusan tidak memiliki dasar berupa berupa Sunnah tidak pula ijma' yang membenarkan klaim mereka, selain bahwa mereka mengatakan, pendapat para penganut mazhab kami adalah tidak boleh! Ibnu Qayyim mengatakan, Rasullulah saw. pernah menjatuhkan hukuman ta'zir berupa peniadaan bagian yang layak diterima lantaran tidak perampasan, dan beliau memberitahukan tentang ta'zir bagi orang yang menolak membayar zakat berupa penyitaan sebagian hartanya. Dalam riwayat yang disampaikan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Nasai, Rasullulah saw. bersabda
"Siapa yang memberikan zakat untuk mendapatkan pahala maka baginya pahalanya. Dan siapa yang menolaknya, maka kamilah yang mengambilnya dan sebagian hartanya, sebagai hak diantara hak-hak Tuhan kita."




H.      Ta'zir adalah Hak Hakim
Ta'zir adalah wewenang hakim, karena dia memiliki otorita secara umum terhadap kaum muslimin. Dalam Subul ad-Salam; tidak ada yang berwenang menjatuhkan hukuman ta'zir selain penguasa (hakim), kecuali lantaran tiga (golongan):
1.      Pertama adalah bapak. Dia boleh menetapkan ta'zir terhadap anaknya yang masih kecil untuk tujuan pendidikan dan pencegahan agar dia jera dari perilaku yang buruk. Tampaknya ibu juga memiliki kewenangan ini saat mengasuh anaknya yang masih kecil seperti menyuruh anaknya yang masih menunaikan shalat dan memukulnya jika dia menantang. Bapak tidak boleh menjatuhkan hukuman ta'zir kepada anaknya yang sudah baliq meskipun anaknya bodoh.

2.      Kedua adalah tuan. Tuan boleh menjatuhkan hukuman ta'zir kepada budaknya terkait hak dirinya dan hak Allah swt. bedasarkan pendapat yang paling shahih.

3.      Ketiga adalah suami. Dia boleh menjatuhkan hukuman ta'zir kepada istrinya dalam kasus pembangkangan istri. Sebagaimana Al-Quran telah menjelaskan hal ini. Apakah suami boleh memukul istrinya lantaran shalat dan semacamnya?
Tampaknya dia boleh melakukan itu jika istrinya tidak mematuhinya hanya dengan teguran, karena itu merupakan pemungkiran terhadap kemungkaran, dan suami termasuk pihak yang dibebani untuk memungkiri dengan tangan, lisan, atau dengan hati. Dan tang dimaksud disini adalah dua yang pertama (tangan dan lisan).
Demikian pula pengajar boleh melakukan tindakan pembinaan terhadap anak-anak didik.
I.         Ganti Rugi dalam Hukuman Ta'zir
Tidak ada ganti rugi yang dibebankan kepada bapak jika melakukan tindakan pembinaan terhadap anaknya, tidak pula suami jika melakukan tindakan pembinaan terhadap istrinya, dan tidak pula hakim jika melakukan tindakan pembinaan terhadap pihak yang dijatuhi hukuman ta'zir, dengan syarat tidak ada seorang pun dari mereka ini yang bertindak secara berlebihan dan melampaui tujuan yang dimaksud. Jika di antara mereka ada yang melakukan tindakan pembinaan yang berlebihan, maka dia adalah orang yang bertindak sewenang-wenang dan harus menanggung kerugian jika ada yang dirugikan lantaran kesewenang-wenangannya.






BAB IPENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hudud, qishas dan Ta’zir adalah cabang dari ilmu fiqih, yang merupakan syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW.
            Berbicara mengenai fiqih, maka kita akan menemukan banyak sekali perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam negungkapkan hasil penelitiannya yang secara fundamental dapat mengubah cara pandang kita terhadap islam. Sehingga sangat penting bagi kita untuk menambah wawasan pengetahuan dalam hal tersebut dengan cara mencari data-data yang akurat (valid) termasuk dengan menyusun makalah ini.
B.     Rumusan Masalah Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan Qishas, Huduud/Had dan Ta’zir? 2. Apa saja pembagian dari qishas, Huduud/Had dan Ta’zir? 3. Bagaimana pelaksanaan hukuman Qishas, Huduud/Had dan Ta’zir? 4. Apa saja yang membatalkan hukuman Qishas, Huduud/Had dan Ta’zir?

Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim…
Puji syukur al-hamdulillah kehadirat Allah Swt., yang menciptakan, mengatur dan menguasai seluruh makhluk di dunia dan akhirat. Semoga kita senantiasa mendapatkan limpahan rahmat dan ridha-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad Saw,beserta keluarganya yang telah membimbing manusia untuk meniti jalan yang lurus menuju kejayaan dan kemuliaan.

Makalah ini kami buat untuk menyelesaikan tugas Fiqih, dengan pembahasan yaitu Qishas, Huduud/Had dan Ta’zir. Maka dari itu dengan makalah ini mahasiswa/I mampu mengetahui pengertian Qishas, Huduud/Had dan Ta’zir dan juga mampu membedakan antara Qishas, Huduud/Had dan Ta’zir.

Daftar PustakaØ   Az-Zuhali Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: DARUL FIQIR,2011. Cet 1
Ø   Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah, penerjemah. Abdur Rahim dan Masrukin/penyunting. Jakarta: Cakrawala Publishing. Cet.1
Ø  Rasjid Sulaiman, Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cet. 80
Ø  Fauzi Rif’at dan Abdul Muththalib. Al Umm.
Ø  Djazuli A. Fiqih Jinayat.






[1] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 589
[2] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, penerjemah. Abdur Rahim dan Masrukin/penyunting: (Jakarta: Cakrawala Publishing),Cet.1, hlm. 390
[3] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, penerjemah. Abdur Rahim dan Masrukin/penyunting: (Jakarta: Cakrawala Publishing),Cet.1, hlm. 418
[4] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, penerjemah. Abdur Rahim dan Masrukin/penyunting: (Jakarta: Cakrawala Publishing),Cet.1, hlm. 422
[5] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 590
[6] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 591`    
[7] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 594
[8] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 597
[9] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 602
[10] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 602

[11] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 603
[12] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 604
[13] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 605
[14] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 606
[15] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 606
[16] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 607
[17] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 607
[18] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 608
[19] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 608
[20] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 608
[21] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 610
[22] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 611
[23] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 612
[24] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 613
[25] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 614
[26] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 615
[27] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 616
[28] Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani: (Jakarta: DARUL FIQIR,2011),Cet.1, hlm. 617







Komentar