Filsafat
Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd
`
Di susun Oleh :
Maulana
Azizah 170101040991
Raudhatul
Bahiyah 170101040315
Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, sang pencipta alam semesta,
manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan
rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Filsafat Ibn Sina,
Al-Ghazali dan Ibn Rusyd” yang sederhana ini dapat
terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.
Maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi
salah satu dari sekian kewajiban mata kuliah Pengantar Filsafat serta
merupakan bentuk langsung tanggung jawab kelompok pada tugas yang diberikan.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan dimana kami pun sadar bahwasanya kami hanyalah seorang manusia yang tidak luput
dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza
Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa kami nanti
dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan kami
dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan
manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh
mahasiswa-mahasiswi UIN Antasari
Banjarmasin. Amien ya Rabbal ‘alamin.
Banjarmasin, 20 Maret 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...........…............................................................................….....2
DAFTAR
ISI.........................................................................…............................…….3
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah......................................................................................….4
B. Rumusan Masalah..........................................................................................……..4
C. Tujuan
Pembahasan.......................................................................................……..4
BAB II. PEMBAHASAN
A. Ibn Sina...............................................................................................……………...5
B. Al-Ghazali………………………………………………………………………...19
C. Ibn
Rusyd.............................................................................................……………32
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................................………...38
B. Saran..............................................................................................................……..40
DAFTAR
PUSTAKA..............................................................................................…41
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah
mencatat bahwa perkembangan pemikiran dan akal sangatlah cepat, hal ini dapat
di lihat dari banyaknya filosof-filosof yang bermunculan dan mampu memberikan
kontribusi positif lewat karya-karyanya yang mempuni dan banyak dijadikan
referensi bagi perkembangan dan kemajuan pemikiran manusia saat ini.
Dalam perkembangannya
tidaklah sedikit para filosof terutama filosof muslim yang menjadi icon
perubahan dari zaman ke zamannya.
Berfilsafat adalah bagian dari peradaban manusia. Semua peradaban yang
pernah timbul didunia pasti memiliki filsafat masing-masing. Kenyataan ini juga
sekaligus membantah pandangan bahwa yang berfilsafat hanya orang barat
saja,khususnya orang yunani. Diantara filsafat yang pernah berkembang,selain
filsafat yunani adalah filsafat Persia,cina,India,dan tentu saja filsafat
islam.
Ketika filsafat
Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang
disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi,
Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang
tidak bisa dihindarkan, karena dari merekalah kita dapat mengenal
filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam
dikembangkan.
Dalam makalah ini,
penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Dalam Hal
ini akan dibahas tentang filsafat Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Rusyd yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, dan pemikirannya.
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd?
2. Apa saja karya-karya yang dihasilkan oleh Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Ibn
Rusyd?
3. Apa saja pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh Ibnu Sina, Al-Ghazali
dan Ibn Rusyd?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Untuk mengetahui sejarah singkat tentang Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Ibn
Rusyd.
2. Untuk mengetahui Karya-karya Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd.
3. Untuk mengetahui pemikiran filsafat yang di kemukakan oleh Ibnu
Sina, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ibnu Sina
1. Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al-Husein ibn Abdullah ibnal-Hassan ibnAli ibn
Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara)
pada 370 H (8-980 M). Ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke
Bukhara pada masa raja Nuh ibn Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa
di Kharmaitsan, satu wilayah dari kota Bukhara. Di kota ini, ayahnya menikahi
Sattarah dan mendapat tiga orang anak, Ali, Husein (ibn Sina), dan Muhammad.
Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10
tahun telah mampu menghafal al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab, dan ia juga
hafal kitab Metafisika karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali,
kendatipun ia belum memahaminya sampai mempunyai ulasan Al-Farabi.[1] Pada
usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra Arab, fikih,
ilmu hitung, ilmu ukur,dan filsafat. Bahkan, ilmu kedokteran dipelajari
sendiri. Di antara guru-gurunya hanya Abu ‘abdullah al-Natili (dalam bidang
logika) dan Isma’il (seorang zahid) yang dikenal namanya. Pada usia 18 tahun ia
telah berprofesi di berbagai bidang, guru, penyair, filsuf, pengarang, dan
seorang dokter termasyhur sehingga diundang untuk mengobati sultan Samanid di
Bukhara, Nuh ibn Mansyur. Keberhasilannya tersebut merupakan perintis hubungan
baiknya dengan Sultan, sehingga ia diberi kesempatan untuk menelaah buku-buku
yang tersimpan di perpustakaan Sultan. Dengan daya ingatnya yang luar biasa,
Ibnu Sina dapat menghapal sebagian besar isi buku-buku tersebut. Hal itu
menjadi modalnya untuk menulis buku pertamanya tentang psikologi menurut metode
Aristoteles, dan dipersembahkan untuk Sultan Nuh ibn Manshur. Buku itu
berjudul Hadiyah
al-Ra’is ila al-Amir (Hadiah Ibn Sina kepada Amir).
Pada akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Ishfahan dan
meninggal di Hamadzan pada 428 H (1037 M) dalam usia 57 tahun.[2] Diberitakan,
penyakit perut (maag) yang membawa kematiannya sebagai dampak dari kerja
kerasnya untuk urusan negara dan ilmu pengetahuan. Pada waktu siang ia bekerja,
malam ia membaca dan menulis hingga larut malam. Bulan-bulan terakhir
kehidupannya, ia berpakaian putih, menyedekahkan hartanya kepada fakir-miskin,
dan mengisi waktunya dengan beribadah kepada Allah.
Kalau Istana Khalifah Al-Mu’tashim Billah diperindah oleh Al-Kindi dan
karya-karyanya, dan istana Saifud-Daulah dihiasi oleh Al-Farabi beserta hasil
pemikirannya; maka daulat Bani Buweih di Persia yakni pada akhir abad ke-4 dan
awal abad ke-5 Hijriah, mengenal Ibn Sina dengan nama julukan
As-Syaikh. Ketika itu Sultan Mahmud Al-Ghaznawi ingin menarik Ibn Sina ke
istananya di Afghanistan, tetapi Ibn Sina menolak dan lebih suka tetap tinggal
di Persia. Akan tetapi kemudian ia meninggalkan Bukhara dan pergi menuju istana
Sultan ‘Ali bin Al-‘Abbas di Khawarizm (Turkistan). Disana ia bertemu dengan
banyak ulama dan kaum cendikiawan. Antara lain Abu Raihan Al-Biruni, Abu Sahl
Al-Masihi dan Abu-Khair Al-Khammar.Ketika itu Al-Biruni, Abu Sahl Al-Masihi dan
Abu Khair Al-Khammar. Ketika itu Al-Biruni telah menempati kedudukan Abu
Ma’syar dalam ilmu falak (astronomi), Abu-Khair Al-Khammar telah menjadi orang ketiga
dalam ilmu kedokteran sesudah Hippocrate dan Galenus. Sedangkan Ibn Sina dan
Abu Al Sahl Al-Masihi merupakan dua sejoli dalam ilmu hikmah (filsafat) sesudah
Aristoteles, menyinggung perihal mereka, Al-‘Idzami Al’Arudhi mengatakan dalam
bukunya Jihar Maqalah (Ucapan
Terus-terang) sebagai berikut: “Kelompok itu tidak membutuhkan soal-soal
keduniaan di dalam istana. Satu sama lain asyik berdialog dan merasa senang
dengan tukar menukar karya tulis , Sultan Mahmud Al-Ghaznawi berkirim surat
minta supaya mereka bersedia tinggal di istananya sebagai kehormatan dan untuk
mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan yang mereka miliki, Akan tetapi Ibn
Sina menolak, lantas lari ke Jurjan (teletak di sebelah tenggara Laut Kaspia)
dan tinggal di istana Amir (pangeran) Qabus.”
Dalam autobiografi Ibn Sina memulainya dengan mengatakan : “Ayahku seorang
penduduk Balakh. Ia pindah ke Bukhara pada zaman pangeran Nuh bin Manshur”. Ia
menulis autobiografinya dengan baik dan disempurnakan kemudian oleh muridnya,
Al-Jurjani, Singkat kata pada usia 10 tahun ia telah menyelesaikan pelajaran
Al-Qur’an, sastra dan bahasa Arab. Kemudian ia belajar ilmu Fiqh pada seorang
guru bernama Isma’il yang terkenal sebagai orang yang hidup zuhud (menjauhi kesenangan
duniawi). Di samping itu ia juga belajar matematika dan ilmu ukur pada ‘Ali
Abu’ Abdullah An-Natili. Setelah itu ia belajar sendiri dengan membaca berbagai
buku, termasuk buku-buku Syarh hingga
menguasai ilmu semantik. Tidak ketinggalan pula ia mempelajari buku Ocledus
mengenai ilmu ukur (geometri) dan buku-buku lain tentang ilmu kedokteran, Dalam
usia delapan belas tahun ia telah selesai mempelajari semua ilmu tersebut.
Ketika pindah ke Bukhara ia dipanggil oleh sultan Nuh bin Manshur untuk
mengobati penyakitnya, dan ternyata ia berhasil menyembuhkannya. Kejadian ini
merupakan awal-mula hubungannya kesempatan kepadanya memeriksa ribuan buku yang
tersimpan di dalam perpustakaannya Dengan kekuatan daya-ingatnya yang luar
biasa ia dapat menguasai isi sebagian besar buku-buku tersebut. Kemudian ia
menulis bukunya yang pertama untuk pangeran Nuh, perihal psikologi menurut
metode Aristoteles. Buku tersebut diberi judul Hidayyatur-Ra’is Ilal-Amir (Hadiah Ibn Sina kepada Amir). Buku
tersebut berisi pembahasan tentang kekuatan-kekuatan psikologis. Buku yang lain
tentang psikologi di tulisnya dalam bentuk risalah kecil. Banyak sekali
buku-buku karyanya yang memadukan ilmu filsafat dengan ilmu kedokteran. Tentang
filsafat ia menulis buku Kitabusy-Syifa (Buku
Penyembuhan) dan mengenai kedokteran ia menulis buku Al-Qanun. Buku Asy- Syifa membagi ilmu menjadi empat golongan,
yaitu: ilmu semantik,ilmu alam, ilmu pasti dan ilmu ketuhanan yang kemudian
diringkas dalam sebuah buku berjudul An-Najat (Keselamatan).
Buku ini terkenal dan masih beredar hingga dewasa ini.
Buku Qanun Ibn Sina terbagi dalam lima jilid, Masing-masing berisi
soal-soal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, seperti pengetahuan tentang
fungsi bagian-bagian tubuh, pembedahan dan pengebotan. Buku ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan sampai abad ke-17 Masehi masih
merupakan buku pegangan bagi berbagai unversitas di Eropa. Di samping buku
tersebut, telah diterjemahkan pula sebagian besar dari buku Asy-Syifa lewat
buku itu filsafat Ibn Sina menembus ke negeri-negeri Eropa, sampai Thomas
Aquinas sendiri terpengaruh olehnya.
2. Karyanya
Pada usia 20 tahun ia telah menghasilkan karya-karyanya cemerlang,dan tidak
heran kalau ia menghasilkan 267 karangan. Kesuburan hasil karya ini disebabkan
karena beberapa faktor. Kualitas karya dan keterlibatannya dalam praktik
kedokteran, mengajar, dan politik, semuanya menunjukkan tingkat kemampuan yang
luar biasa.[3]
Beberapa
Karangan- karangan ibnu Sina:
1. Asy-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting yang
terbesar dari Ibnu Sina, dan terdiri empat bagian, yaitu, logika, fisika,
matematika, dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah
yang tersebar diberbagai perpustakan di Barat dan Timur. Bagian ketuhanan
dan fisika pernah dicetak dengan cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956
M lembaga ke ilmuan Cekoslovakia di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian
fisika yang khusus mengenai ilmu jiwa, dengan terjemahnya ke dalam bahasa
Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch bagian logika diterbitkan di Kairo pada
tahun 1954 M, dengan nama Al-burhan, di bawah asuhan Dr. Abdurrahman
Badawi. Adapun kata Al–syfa, latinnya Sanatio (penyembuhan), ensiklopedi yang
terdidi dari 18 jilid mengenai fisika, matematika, dan metafisika, kitab ini di
tulis pada waktu menjadi menteri Syams al-daulah dan selesai masa Ala’u al-
Daulah di Isfahan.
2. Al-Najat, latinnya Salus (penyelamat), keringkasan dari al-syifa,
dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku al-qonun dalam ilmu
kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir
3. Al-Isyarah wa al-Tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika
dan hikmah. Buku ini adalah buku yang terakhir dan yang paling baik, dan
pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892, dan sebagiannya di terjemahkan ke
dalam bahasa Prancis, kemudian diterbitkan lagi di kairo pada tahun 1947 di
bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia.
4. AL-Hikmat al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang,
karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada
memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai
tasawuf, tetapi menurut Carlos Nallino, berisi filsafat timur sebagai imbangan
dari filsafat barat.
5. Al-Qanun Fi al-Thibb atau Canon Of Medicine, menurut penyebutan
orang-orang barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahsa latin dan
pernah menjadi buku standar untuk Universitas-universitas Eropa sampai akhir
abad ketujuh belas Masehi, dan di india tahun1323 H. risalah-risalah lain yang
banyak jumlahnya dalam lapangan filsafat,etika, logika, dan psikologi.
3. Filsafat Ibn Sina
a. Metafisika
Berkaitan dengan metafisika, Ibn Sina juga membicarakan sifat wujudiah
sebagai yang terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain,
walaupun esensi (quiddity) sendiri. Esensi, dalam paham Ibn Sina terdapat dalam
akal, sedangkan wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi
yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak
besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari esensi.tidak
mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibn Sina telah terlebih dahulu mengajukan
filsafat wujudiah atau existentialism dari filsuf-filsuf lain.
Kalau dikombinasikan, esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut:
1. Esensi tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut
oleh Ibn Sina yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).
Contoh, adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
2. Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai
wujud. Yang serupa ini disebut sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin
pula tidak berwujud (contingent being). Contoh, alam ini yang pada
mulanya tidak ada, kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3. Esensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi
tidak bisa dipisahkan dari wujud; esensi dan wujud adalah sama dan satu. Disini
esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana
halnya dengan esensi dalam kategori kedua, tetapi esensi mesti dan wajib
mempunyai wujud selama-lamannya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud (Necessary
being) yaitu Tuhan. Wajib al-Wujud inilah yang mewujudkan mumkin
al-wujud. Hubungan antara Wajib al-Wujud dengan mumkin al-wujud
bersifat emanasionistis.
Dengan demikian, Tuhan adalah unik dala arti, Dia adalah Kemaujudan yang
Mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan keberadaan Tuhan.
Kemaujudan yang Mesti itu harus satu. Nyatanya,walaupun di dalam Kemaujudan ini
tak boleh terdapan kelipatan sifat-sifat-Nya, tetapi Tuhan memiliki
esensi lain, tak ada atribut-atribut lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan mesti
ada. Ini dinyatakan oleh Ibn Sina dengan mengatakan bahwa esensi Tuhan identik
dengan keberadaan-Nya yang mesti itu. Karena Tuhan tidak beresensi, maka Dia
mutlak sederhana dan tak dapat didefinisikan.
b. Jiwa
Menurut Ibn Sina, munculnya jiwa atau nyawa (vital principle) sebagai “daya
dijasmani” berawal
dari persenyawaan elemen-elemen primer kehidupan di bawah pengaruh benda-benda
langit. Yang pertama kali muncul adalah jiwa nabati, diikuti oleh jiwa hewani,
dan diakhiri oleh jiwa manusiawi. Jiwa nabati didefinisikannya sebagai dasar
pertumbuhan dan reproduksi; jiwa hewani sebagai dasar gerak (kehendak) dan
penangkapan terhadap rangsangan-rangsangan partikular dan jiwa manusiawi
sebagai dasar pertimbangan dan pemahaman terhadap hal-hal yang universal.
Ibn Sina lantas memberikan definisi umum tentang jiwa menggunakan kata-kata
Aristoteles sebagai “kesempurnaan pertama dari benda organik yang alami”.[4] Sebagai
daya-cerap terhadap hal-hal yang partikular dan bergerak sesuai dengan
kehendak, ia disebut jiwa hewani; sebagai daya unutk mencerap hal-hal universal
dan bertindak atas dasar pertimbangan dan pilihan, ia disebut jiwa manusiawi;
dan sebagai daya untuk melahirkan, bertumbuh-kembang, dan mereproduksi
sejenisnya, ia disebut jiwa nabati.
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibn Sina ialah falsafahnya tentang
jiwa.[5] Di
dalam masalah kejiwaan, Ibn Sina termasuk penganut faham dualisme (sanawiyah).
Bagi Ibn Sina, substansi itu berlainan sama sekali dari materi tubuh, meskipun
ia berasal dari pokok yang sama yakni Akal Fa’al, tetapi ia mempunyai
perbedaan-perbedaan yang prinsipil.
Ada tiga dalil pembuktian yang dikemukakan oleh Ibn Sina tentang substansi
jiwa tersebut.
a) Saat manusia merenungkan dirinya, pada waktu itu secara sadar ia
mengenal bahwa dirinya “ada” selama hidupnya.
b) Bila seseorang menghadapi suatu persoalan secara serius, ia akan
menumpahkan segenap perhatiannya pada persoalan tersebut. Pada waktu itu, ia
merasa dirinya bebas dari raga sehingga ia berani berkata saya akan berbuat
begini begitu tanpa merasa terikat dengan raga.
c) Manusia mampu menghimpun secara sadar akan
aktivitas-aktivitas fisik organisme yang dilakukannnya tanpa kesulitan.
Pengenalan terhadap aktivitas-aktivitas fisik menjadi bukti bahwa niwa berbeda
dari fisik.
Untuk membuktikan
adanya jiwa, Ibn Sina mengajukan beberapa argumen, yakni:
1) Argumen psikofisik
2) Argumen “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
3) Argumen kontinuitas, dan
4) Argumen manusia terbang di udara
Untuk membuktikan argumen pertama,Ibn Sina mengatakan bahwa gerak dapat
dibedakan kepada gerak terpaksa, yaitu gerak yang didorong oleh unsur luar, dan
gerak tidak terpaksa. Gerakan tidak terpaksa ada yang terjadi sesuai dengan
hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
Untuk membuktikan unsur argumen yang kedua, Ibn Sina membedakan aku dan
jiwa. Aku dalam pandangan Ibn Sina bukanlah fenomena fisik, tetapi jiwa dan
kekuatannya. Dan untuk membuktikan bahwa jiwa itu tidak putus adalah dengan
daya ingat manusia tentang masa-masa yang telah lewat, baik metuapak tingkah
laku maupun hal ihwal di sekitarnya. Adapun pembuktian keempat, Ibn Sina
mengatakan bahwa wujud dirinya tidak timbul dari indera melainkan dari sumber
yang berbeda sama sekali dengan badan, yaitu jiwa.
Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah
bulan, memancar dari akal 10. Sebagai aristoteles, Ibn Sina membagi jiwa dalam
tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya: makan, tumbuh, dan berkembang biak.
2. Jiwa binatang dengan
daya-daya:
l Gerak
l Menangkap.
3. Jiwa manusia dengan dua daya:
l Praktis yang hubungannya
adalah dengan badan.
l Teoritis yang hubungannya
adalah dengan hal-hal yang abstrak.
Sifat seorang manusia bergantung pada jiwa manusia dari ketiga macam jiwa
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa
tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat
menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas
dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat pada kesempurnaan.
Apabila jiwa telah mencapai kesempurnaannya, maka badan tidak
diperlukan lagi bahkan menjadi penghalang mewujudkan kesempurnaan. Sejalan
dengan terpisahnya antara badan denagn jiwa tersebut, maka jiwa manusia tidak
mesti hancur dengan hancurnya badan. Tetapi jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa
binatang yang terdapat dalam diri manusia, karena hanya mempunyai fungsi-fungsi
yang bersifat fisik akan mati dengan matinya badan dan tak akan di hidupkan
kembali di akhirat. Balasannya u tuk kedua jiwa ini pun dicukupkan di dunia saja.
Berbeda dengan jiwa manusia yang bertujuan pada hal-hal yang abstrak akan
dihidupkan kelak di akhirat.
Untuk membedakan hakikat jiwa dan jasad, Ibn Sina mendefinisikan jiwa
dengan jauhar rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan
substansi rohani, tidak tersusun atas materi-materi sebagimana jasad. Kesatuan
antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa hancurnya jiwa
(roh).
Menurut Ibn Sina, selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya
juga saling memengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa,
adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa
tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya. Jika tidak
demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad
ditempati beberapa jiwa.
c. Kenabian
Tahapan mistis ialah apabila jiwa sudah ketak berhinggaan, menjalin
hubungan dengan Intelek Aktif sehingga tak lagi perlu menjalani proses
silogistik untuk bisa menangkap hal-hal universal, tetapi cukup dengan intuisi.
Ibn Sina mengibaratkan tahap ini sebagai tahap “profesi” atau tahap
berfungsinya “nalar suci”.
Tak pelak, ini metupakan puncak kemampuan intelek manusia, yang hanya ada
pada para filosof dan Nabi. Berkat kemampuan ini, seorang Nabi dapat mengetahui
segala sesuatu secara intuitif, mempersepsi aneka bentuk dan representasi
audiovisual, mencandrakan masa depan dan mempengaruhi peristiwa fisik secara
ajaib (miraculously).[6] Bagi
Ibn Sina, nalar suci termaksud tak lain dari sebentuk intelek habitual, yang
mengerucut pada intelek capaian. Sifat yang mencolok dari psikologi Ibn Sina
adalah tatanan hierarkisnya, yang di dalamnya kemampuan yang rendah selau patu
pada kemampuan yang lebih tinggi. Maka dari itu, pancaindra selalu patuh pada
kemampuan batin, dan kemampuan batin selalu patuh pada kemampuan rasional.
Pendapat Ibn Sina tentang Nabi bertitik tolak dari tingkatan akal. Akal
materil sebagai yang terendah adakalanya di anugerahkan Tuhan kepada manusia
akal materil yang besar lagi kuat, oleh Ibn Sina dinamakan intuisis. Daya yang
ada pada akal materi serupa ini begitu besarnya sehingga tanpa melalui latihan,
denagn mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat
menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai sifat suci.
Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, yaitu bentuk akal
yang ada pada Nabi-nabi.
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibn Sina memebagi manusia
ke dalam empat kelompok:
1) Mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang
sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia,
2) Mereka yang memiliki kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak
yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang
tajam, mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang
peristiwa-peristiwa masa kini dan masa akan datang dan berkemampuan untuk
menimbulkan gejala-gejala aneh di atas dunia,
3) Mereka yang memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai
daya imajinatif,
4) Terakhir, adalah orang-orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam
ketajaman daya praktis mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai seorang nabi,
yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian
kuat sehingga ia harus mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan
juga seluruh materi pada umumnya. Nabi juga harus mampu melontarkan suatu
sistem sosial-politik. Fungsi imajinasi kenabian yang berupa lambang dan hidup
ini ditekankan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina, namun oleh Ibn Sina hal itu lebih
rinci lagi, bahwa sifat dasar imajinasi untuk melambangkan dan menghidupkan
pemikiran-pemikiran kita, keinginan-keinginan kita, dan bahkan
keterbatasan-keterbatasan psikologi kita. Contoh kecilnya, jika kita lapar,
imajinasi kita menyuguhkan di hadapan kita imaji-imaji yang hidup tentang
makan.
Pelambangan dan pemberian sugesti ini, apabila ini berlaku pada jiwa dan
akal nabi, menimbulkan imaji-imaji yang sedemikian kuat dan hidup sehingga
apapun yang dipikirkan dan dirasakn oleh jiwa nabi, ia benar-benar mendengar
dan melihatnya. Itulah sebabnya ia “melihat” malaikat, dan “mendengar”
suaranya. Wahyu-wahyu yang terkandung di dalam kitab-kitab suci keagamaan sebagian
besar berupa perintah dan keharusan kiasan, sehingga perlu ditafsirkan untuk
mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi, mendasar, dan spiritual. Dengan
demikian, wahtu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia beramal
dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham
belaka.
d. Tasawuf
Mengenai tasawuf, menurut Ibn Sina tidak dimulai dengan Zuhud, beribah dan
meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang sufi sebelumnya.
Ia memulai tasawufnya dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan
hati dan pancaran akal, lalu akan akan menerima ma’rifah dari Akal fa’al.
Dengan kebersihan hati ini dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah
dari Akal Fa’al. Dalam pemahaman Ibn Sina bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda
lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi
perbedaannya terletak kepada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan Akal
Fa’al.[7]
Mengenai bersatunya Tuhan dengan manusia atau bertempatnya Tuhan di hati manusia
tidak diterima oleh Ibn Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada
Tuhannya, tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat
bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali perhubungan antara manusia
dengan Tuhan saja. Karena manusia mendapat sebahagiaan pancaran dari
perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini tidak langsung keluar dari Allah,
tetapi melalui Akal fa’al.
4. Pengaruh filsafat Ibnu Sina:
Banyak sekali
pengaruh yang ditimbulkan oleh pemikiran Ibn Sina, diantaranya:
Pertama, beliau menentang pemikiran kaum sufi ortodoks dengan tidak
meninggalkan keduniaan sehingga melahirkan kaum sufi modern.
Kedua, hasil karya beliau dijadikan standar kurikulum di universitas Eropa.
Ketiga, dalam bidang pendidikan, Mahmud Yinus mengatakan bahwa Ibn Sina
mengajukan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru, yakni tenang,
tidak bermuka masam, tidak berolok-olok di hadapan murid dan sopan santun.[8]
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filsuf sebelumnya,
semisal Ak-Kindi dan Al-Farabi, Ibn Sina berhasil menyusun sistem filsafat
islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan terbesar yang dilakukan oleh
Ibn Sina adalah menjawab berbagai persoalan fislafat yang tak terjawab
sebelumnya. Pengaruh pemikiran filsafat Ibn Sina, seperti karya pemikiran dan
telaahnya di bidang kedokteran, tidak hanya tertuju pada dunia islam, tetapi
merambah ke dataran Eropa. Filsafat metafisika Ibn Sina adalah ringkasan dari
tema-tema filsuf yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir
Barat.
Pengaruh dan kontribusi Ibn Sina tampak dalam sejarah filsafat abad
pertengahan yang menganggapnya sebagai yang unik dan memperoleh pengahargaan
yang semakin tinggi hingga masa modern. Keunikan Ibn Sina ini dibuktikan dengan
kempuannya memengaruhi agama-agama lain di abad pertengahan selain dunia Islam
sendiri, seperti fenomena perumusan kembali teologi Katolik Roma yang dilakukan
oleh Albert Yang Agung, terutama oleh Thomas Aquinas yang secara mendasar
terpengaruh oleh Ibn Sina.[9]
B.
Al-Ghazali
1. Biografi
Nama lengkap
al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Ahmad al-Ghazali,
bergelar “Hujjat al-Islam”. Lahir
pada tahun 450 H/1058 M[10] di
Ghazaleh, sebuah kota kecil yang terletak di dekat Thus (Wilayah Khurasan),
Iran. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 1056, 1050, 1059
M. Nama al-Ghazali ini berasal dari al-ghazzal, yang artinya tukang pintal
benang, karena pekerjaan ayah Ghazali adalah pemintal benang wol[11] sedangkan
ghazali juga diambil dari kata ghazalah, yaitu sebuah nama kampung kelahiran
al-Ghazali sehingga nama al-Ghazali dinisbatkan oleh orang kepada pekerjaan
ayahnya atau dinisbatkan kepada tempat kelahirannya.[12]
Pada usia 54
tahun bertepatan dengan tahun 505 H/1111 M al-Ghazali meninggal dunia, ayahnya
adalah seorang yang baik, meninggal dunia waktu al-Ghazali masih kecil tetapi
sebelum wafat dia telah menitipkan al-Ghazali kepada seorang teman sufi-nya
dengan demikian, al-Ghazali pada usia kanak-kanak telah mendapatkan pendidikan
agama secara “privat” dari seorang sufi teman ayahnya. Diperkirakan al-Ghazali
hidup dalam suasana kesederhanaan sufi tersebut sampai usia 15 tahun (450-465
H).
Orang tua
al-Ghazali terutama ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai
pemintal benang tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti
terlihat pada simpatiknya kepada ulama dan ia selalu mengharapkan agar anaknya
kelak menjadi ulama yang selalu memberi nasihat kepada umat.
Namun amat
disayangkan ajalnya tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk menyaksikan
keberhasilan anaknya sesuai dengan do’anya. Namun sekali lagi diungkapkan bahwa
beruntungnya sebelum meninggal ia sempat menitipkan al-Ghazali bersama
saudaranya, Ahmad kepada seorang sufi, sahabatnya untuk dibimbing dan dibina
dengan baik.
Sejak kecil
al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan karenanya
tidak heran jika sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah guru
kota kelahirannya. Salah satu guru juga ulama besar Thus pada waktu itu adalah
ahmad ibn Muhammad al-Radzikani. Setelah usia remaja dia pergi ke kota Nisyafur
salah satu kota pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia islam pada waktu
itu. Dia kemudian menjadi murid Imam al-Haramain (Iman 2 kota haram : Makkah dan
Madinah) selaku Guru besar di Universitas al-Nizhamiyah-Nisyafur. Imam ini
sangat menonjol kemahirannya dalam dunia ilmu kalam al-As’ary bahkan ia
pengikut setia aliran ini. Di universitas inilah al-Ghazali memperoleh ilmu
pengetahuan seperti ilmu Fiqh, ilmu kalam, Retorika, Logika, Filsafat, Tasawuf,
dan Ilmu-ilmu alam.
Setelah Imam
Haramain al-Jawaini meninggal dunia pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali pindah
dan berkunjung ke Mu’askar[13] disana
dia berkenalan dengan Nihzam al-Muluk, perdana menteri saljuk. Nihzam al-Muluk
ini merupakan pendiri Univerisitas Nizhamiyah kemudian Nizham memberikan
kehormatan kepada al-Ghazali untuk mengadakan pertemuan diskusi dengan
orang-orang terkemuka sehingga ia menetap di kota tersebut selama 6 tahun.
Nizham al-Muluk tertarik dengan pemikirannya, kemudian memintanya untuk dapat
mempertahankan dan memperkokoh akidah ahli sunnah dan terus memberikan bahtahan
terhadap ajaran-ajaran Bathiniyah, Ismailiyah, Golongan Filsafat, dll.
Pada usia 25
tahun sekitar 484 H/1091 M, al-Ghazali diangkat menjadi guru di Universitas
Nizhamiyah-Baghdad, pengangkatan ini juga didasarkan atas reputasi ilmiahnya
yang begitu hebat, kemudian ia juga mengajar di Syam dan Naisaburi.
Sungguhpun namanya sudah cukup populer dan jumlah mahasiswanya semakin
bertambah. Pengalaman hidup al-Ghazali di Universitas Nizhamiyyah ini
dijelaskan dalam bukunya al-Munqiz
min al-Dhalal, selama mengajar di tempat itu ia (al-Ghazali) menekuni dan
mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al-Farabi, Ibnu Sina,
Ibn Maskawih dan ikhwan al-Shafa’. Penguasaannya terhadap filsafat terbukti
dalam sebuah karyanya seperti al-Maqoshid
al-Falsafah dan Tahafut
al-Falasifah.
Dalam kurun
waktu 4 tahun lamanya ia memangku jabatan tersebut, bergelimang dengan ilmu pengetahuan
dan kemewahan duniawi, kemudian pada masa ini pula al-Ghazali al-Ghazali banyak
menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Namun pada periode ini juga sekitar
tahun 448 H/1095 M ia menderita krisis rohani sebagai akibat sikap
kesangsiannya (al-Syak), yang oleh orang barat di kenal dengan skepticisme[14],
yaitu krisis yang menyangsikan terhadap semua makrifah, baik yang bersifat
empiris maupun rasional.
Di dalam
hatinya kesangsian mulai muncul hal ini dapat terlihat dari berbagai
pertanyaan yang ia keluarkan inikah ilmu pengetahua yang sebenarnya? Inikah
kehidupan yang dikasihi Allah? Ini kah cara hidup yang diridhoi tuhan? Dengan
mereguk madu dunia sampai dasar gelasnya, berbagai pertanyaan timbul dari hati
sanubarinya, kesyak-an terhadap daya serap indera dan olahan akal betul-betul
yang kerap kali menyelimuti dirinya.
sehingga
pada akhirnya ia memutuskan untuk menyingkir dari kursi kebesaran ilmiyahnya di
Baghdad dan mulai merangkak menuju mekah, kemudian ke Damaskus dan tinggal
disana sambil mengisolir diri untuk beribadah dan kontemplatif.
Dalam
perjalanannya hidupnya al-Ghazali ia kembali ke kota kelahirannya, Thus ia
masih tetap berkhalwat, keadaan inilah ia mampu menjadikan momentum untuk
kembali menulis karyanya yang terbesar yakni Ikhya ‘ulum al-Din (the
Revial of the Religius science-Menghidupkan
kembali ilmu-ilmu agama).
Kendati ada
desakan dari penguasa saljuk kala itu, al-Ghazali diminta mengajar di
Universitas Nizamiyah di Naisabur, tetapi hanya berlangsung selama 2 tahun
kemudian kembali lagi ke Thus untuk mendirikan Madrasah bagi para Fuqoha sampai
ia menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan mengajar dan beribadah sehingga
dipanggil oleh yang Kuasa untuk kembali kehadirat-Nya pada tanggal 14 Jumadil
Akhir tahun 505 H/1111 M dalam usia 55 tahun, namun masalah waktu al-Ghazali
meninggal juga ada yang mengatakan beliau meninggal pada usia 54 tahun.[15]
2. Karya-Karya Al-Ghazali
Al-Ghazali dikenal sebagai
sosok intelektual multidimensi dengan penguasaan ilmu multidisplin. Hampir
semua aspek keagamaan dikajinya secara mendalam. Aktfitasnya bergumul dengan
ilmu pengetahuan berlangsung tidak pernah surut hingga ajal menjemputnya. Dalam
ranah keilmuan Islam, sebuah bukti pengakuan atas kapasitas keilmuan dan
tingkat penerimaan para ulama terhadapnya.
3. Filsafat
Untuk
mengkaji korelasi al-Ghazali dengan filsafat, dimulai dari jawaban atas suatu
pertanyaan yang paling mendasar dan paling sering dimunculkan, yaitu apakah
benar al-Ghazali dapat dikategorikan dalam barisan para filosof? Bukankah
al-Ghazali seorang teolog?
Al-Ghazali
adalah tokoh fenomenal sekaligus memiliki keunikan tersendiri di banding
filosof lain. Hal itu dibuktikan al-Ghazali sebagai sosok yang mendalami
filsafat sekaligus mengkritiknya. Filsafat pada dasarnya adalah proses pencarian
kebenaran, adapun kebenaran yang dicari al-Ghazali adalah suatu kebenaran
sejati, yaitu kebenaran yang diyakini betul-betul merupakan kebenaran.
Corak
pemikiran al-Ghazali pada mulanya adalah sama dengan para filosof yang lainnya,
ia memandang pengetahuan itu adalah hal-hal yang bisa ditangkap oleh panca
indera, namun dia berpendapat pula bahwa panca indera juga memiliki kekurangan,
karena ketidakpercayaan pada indera kemudian ia meletakan kepercayaan pada
akal, tetapi akal juga tidak bisa dipercaya karena dia melihat bahwa
aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata
menghasilkan pemandangan bertentang yang juga sulit diselesaikan oleh akal.
Sebelum
melakukan interupsi atas semangat filsafat, al-Ghazali membuat klasifikasi para
filosof yang dirumuskan dalam tiga Golongan yakni :
1.Filosof
Materialis (Dahriyyun)
Mereka adalah para Fisosof yang menyangkal adanya tuhan.
Sementara itu, Kosmos ini ada dengan sendirinya seperti Empedokles (490-430 SM)
dan Demokritus (460-360 SM). Menurut al-Ghazali, golongan ini menyangkal
keberadaan pencipta dan pengatur alam. Golongan ini menganggap bahwa ala mini
sudah ada dengan sendirinya sejak azali.
2. Filosof
Naturalis (Thabi’iyyun)
Mereka adalah para filosof yang melaksanakan berbagai
penelitian di ala mini melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup
banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban yang memaksa mereka untuk mengakui
adanya maha pencipta di alam ini. Walaupun begitu, mereka tetap mengingkari
Allah dan Rasul-Nya dan hari berbangkit, mereka tidak mengenal pahala dan dosa
sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
3. Filosof
Ketuhanan/theis (Ilahiyun)
Para filosof
ini dipandang lebih moderat karena menggunakan sistematika pemikiran yang lebih
mapan ketimbang kalangan-kalangan yang sebelumnya. Al-Ghazali memasukan
nama-nama Filsofof Yunani Klasik seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles.
Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya yaitu materialis dan
naturalis, namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sisa-sisa
kekafiran dan keheredoksian, oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir.
Tidak hanya sampai itu, Al-Ghazali memberikan klaim yang sama pada para filosof
yang mengikuti dan merujuk pada filsafat mereka, termasuk para filosof muslim.
meski demikian, al-Ghazali tidak serta merta menganggap semua tema pemikiran
filsafat itu sesat dan bisa menyebabkan kekufuran.
Kitab
Maqasid al-Falasifah (Pemikiran kaum filosof), dalam buku ini ia menjelaskan
pemikiran-pemikiran Filsafat dan ditujukan untuk mengkritik dan menghancurkan
filsafat. Krtikan itu yang mempelopori lahirnya buku Tahafut al-Falasifah
(Kerancuan pemikiran-Pemikiran filosof).[16]
Fenomena ini
yang menyulut sebagian para pemikir dengan memberikan justifikasi bahwa
al-Ghazali bukanlah seorang filosof, karena al-Ghazali tidak mengarang buku
filsafat dan hanya menyerang filsafat bahkan al-Ghazali meyakini bahwa
kebenaran yang mampu menjawab keraguan-raguannya adalah tasawuf bukan ilmu
kalam dan filsafat.
Dalam hemat
penulis ketika ada penilaian bahwa al-Ghazali bukan filosof berdasarkan
argumentasi di atas, kesimpulannya tidaklah sesederhana itu karena ketika
al-Ghazali mendalami pemikiran para filosof dan melakukan koreksi terhadap
filsafat, sesungguhnya secara tidak sadar ia sedang berfilsafat.
Dengan
demikian filsafat dalam pandangan al-Ghazali bukanlah sesuatu yang haram,
adanya pandangan dari sekelompok orang bahwa al-Ghazali mengharamkan filsafat
berdasarkan pada bentuk penyerangan al-Ghazali terhadap filsafat, padahal
al-Ghazali tidak menyerang filsafat secara keseluruhan.
Menurut
al-Ghazali, lapangan Filsafat hanya ada Enam : Matematika, Logika, Fisika,
Metafisika, Politik dan Etika. Hubungan antara tiap disiplin dengan agama tidak
selamanya berbentuk sama, ada tema kajian yang tidak bertentangan dengan agama
dan ada pula yang berlawanan dengan agama. Al-Ghazali telah menyatakan bahwa
agama tidak melarang manusia dan tidak juga memerintahkan manusia untuk
mempelajari matematika.
Al-ghazali
memberikan dua catatan keberatannya terhadap matematika, pertama kebenaran yang
matematis bukan merupakan kebenaran filsafat yang seutuhnya. Kedua, kebodohan
umat islam telah membuat kajian matematika dianggap bisa menguatkan agama.
Seperti juga
dalam logika, al-Ghazali mendiskreditkan pemikiran metafisika para filosof
karena menurutnya, para filosof hanya menghasilkan pemikiran yang salah, para
filosof tidak melakukan ketelitian yang baik dalam persoalan ketuhanan
dalam persoalan inilah al-Ghazali menolak filsafat dan menyusun sanggahan-sanggahan
yang bersarat ideologis dalam karya yang dianggap luar biasa oleh para
pengikutnya “Tahafut al-Falasifah”.
A. Filsafat
Ketuhanan
Al-ghazali
memandang hal metafisika (ketuhanan), dengan memberikan reaksi keras terhadap
neo-Pletonisme Islam, menurutnya banyak kesalahan para filosof, karena mereka
tidak teliti dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu, al-Ghazali
mengecam secara langsung dua tokoh Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibnu
Sina) dan secara tidak langsung terhadap Aristoteles, guru mereka. Menurut
Al-Ghazali dalam bukunya tahafut al-Fasasifah para pemikir bebas tersebut ingin
meninggalkan keyakinan-keyakinan islam dan mengabaikan dasar-dasar pemujaan
ritual, dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna bagi pencapaian
intelektual mereka.
Konsep
ketuhanan menurut al-Ghazali terdiri dari tiga masalah pokok, yakni :
a. Masalah
Wujud
Dalam
menetapkan wujud tuhan ini al-Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam al-Asyari,
beliau menggunakan dalil wujud tuhan itu atas dua bentuk yaitu dalil aqli dan
dalil aqli, penggunaan dalil naqli yakni melalui perenungan terhadap ayat-ayat
al-Qur’an sambil memperhatikan alam semesta sebagai ciptaaan tuhan, dimana
dengan perenungan ayat dan fenomena alam yang serba teratur manusia akan sampai
mengakui wujud tuhan.
Al-Ghazali
dalam membuktikan wujud tuhan melalui dalil aqli, al-Ghazali mempertentangkan
wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah adalah Qadim sedangkan wujud
makhluk adalah hadis. Wujud yang hadis (baharu) menghendaki sebab gerak yang
mendahului nya sebagai penggerak yang meng-adakannya. Sebab musabab ini tidak
akan berakhir sebelum sampai kepada yang Qadim yang tidak dicipta dan
digerakan. Sedangkan wujud Allah SWT jika ia hadis, tentu akan menghendaki
sebab musabab seperti itu juga, yang sudah pasti tak aka nada pangkal pokok
geraknya. Hal demikian, adalah suatu hal yang mustahil dan tak akan
menghasilkan apa-apa.
b. Masalah Dzat dan Sifat
Dalam membahas tentang dzat tuhan, al-Ghazali membatasi diri dengan
mengemukakan hadits Nabi SAW yang melarang manusia memikirkan dzat Allah SWT,
dari itu beliau menegaskan, bahwa akal manusia tidak akan sampai mencapai dzat
itu, cukup bagi manusia hanya mengetahui sifat af’alnya saja. Sedangkan dalam membahas tentang sifat Tuhan, Al-Ghazali
cenderung untuk mengikuti para mutakalimin dari madzhab al-Asyari. Beliau
menetapkan adanya sifat dzat yang diistlahkan dengan sifat salbiyah, yakni
sifat yagng menafikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesempurnaan zat Allah
SWT. Sifat salbiyah ini ada lima macam yakni, Qidam (tidak bepermulaan), Baqa (Kekal),Mukhalafathu
lil hawaditsi (berlainan dengan baharu), Qiyamuhu binafsihi(berdiri sendiri) dan Wahdaniyyah (Esa).
c. Masalah Af’al
Dalam Masalah ini al-Ghazali berpendapat bahwa perbuatan Allah SWT tidak
terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi Allah SWT juga menciptakan
perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari
kehendak Allah SWT, manusia hanya diberikan kekuasaan dalam lingkungan kehendak
tuhan, jadi perbuatan dan ikhtar manusia adalah terbatas dan tidak akan
melampaui garis-garis Qadar, dalam menguraikan tentang af’al ini al-Ghazali
mengembalikan permasalahan kepada firman Allah SWT QS. al-Fathir ayat 8.
B. Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali dikenal sebagai orang yang haus akan segala ilmu pengetahuan, ia
berusaha sekeras mungkin agar dapat
mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu sehingga ia
bersikap kritis dan kadang ia tidak percaya terhadap adanya kebenaran semua
(0xioma atau sangat mendasar) namun pada kedua pengetahuan ini pun ia akhirnya
tidak percaya (Skeptis).[17]
Keyakinan al-ghazali bahwa tasawuflah yang dapat menghilangkan rasa syak
yang lama menggangu dirinya juga dalam tasawuflah ia memperoleh keyakinan yang
dicari-carinya, itulah yang membuat al-Ghazali memperoleh keyakinan kembali,
ada kata yang sangat indah sekali yakni :
“Cahaya itu adalah kunci dari
kebanyakan pengetahuan dan siapa yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir)
bergantung pada argument-argument, sebenarnya talah mempersempit Rahmat tuhan
yang demikian luas, adapun cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan
tuhan kedalam hati sanubari seseorang”.
Sampai kepada garis kesimpulan bahwa satu-satunya yang menimbulkan
keyakinan akan kebenaran bagi al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh
secara langsung dari tuhan dengan tasawuf, dan Rupaya dengan adanya gagasan
dari al-Ghazali dalam dunia tasawuflah, tasawuf seolah bangun kembali
dari tidurnya juga menjadi kajian yang menarik dan banyak digandrungi oleh
orang-orang.
C. Filsafat
Etika/Akhlak Al-Ghazali
Al-Ghazali
dalam menta’rifkan/mengenalkan/ mendekatkan akhak dengan uraian berikut : Akhlak adalah sifat yang tertanam di dalam
jiwa dimana timbul perbuatan-perbuatan dan tindak –tanduk dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan, jadi akhlak adalah
milik jiwa yang menjadi sifat seseorang manusia, yang dengan sifat itu secara
gampang ia dapat berbuat.
Adapun dalam
mendefiniskan etika atau akhlak, Al-Ghazali memiliki banyak kesamaan dengan
ibnu maskawih yaitu suatu keadaaan jiwa yang mantap yang direfleksikan dalam
bentuk perbuatan-perbuatan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan,
kesamaan Ibnu Maskawih dengan al-Ghazali dan Tusi juga tampak dalam pembicaraan
tentang upaya jiwa, kekuatan dan sifat-sifatnya karena jiwalah sebagai sumber
kebaikan, kebahagiaan dan sebaliknya.
Filsafat
etika al-Ghazali dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam bukunya Ihya
‘Ulumudin, dengan kata lain, filsafat etika al-Ghazali adalah teori tasawufnya,
tujua pokok dari etika al-Ghazali terdapat pada semboyan tasawuf yang terkenal
: al-Takhalluq bi-Akhlaqihii ‘ala
thaqatil Basyariyah, maksudnya adalah agar manusia sejauh
kesanggupannya meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih,
penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, Sabar,
Jujur, Taqwa, Zuhud, Ikhlas, beragama dan sebagainya.
Menurut
al-Ghazali watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang dan yang
memperburuk itu adalah lingkungan dan pendidikan, kebaikan-kebaikan dan
keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak.
Tentang
klasifikasi jiwa manusia pun al-Ghazali membaginya kedalam tiga daya : yaitu
Daya Bernafsu (al-Nafs al-Bahimiyah), dan Berani (al-Nafs al-Sabuiyaah) dan
daya berfikir (al-Nafs al-Natiqoh), daya bernafsu dan berani berasal dari ruh
tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran.
4. Pengaruh
Pemikiran-Pemikiran al-Ghazali
Pengaruh
Pemikiran al-Ghazali terhadap perkembangan peradaban Islam sangat berpengaruh
besar karena pemikiran-pemikiran al-Ghazali sesuai dengan ajaran Islam. Banyak
kitab karangan al-Ghazali merupakan upayanya untuk membersihkan hati umat Islam
dari kesesatan sekaligus pembelaan terhadap serangan-serangan pihak luar, baik
Islam maupun Barat (Orientalis), karena Jasanya dalam mengomentari dan
melakukan pembelaan terhadap berbagai serangan-serangan , ia diberikan
gelar “Hujjatul Islam”, tentu
saja gelar tersebut bukan sembarang gelar dan tidak ada seorang pun yang
diberikan gelar sebelumnya, gelar tersebut diberikan kepada a-Ghazali
didasarkan pada pemikiran al-Ghazali yang sangat baik da berpengaruh.
Al-Ghazali
sampai saat ini barang kali tidak berlebihan apabila dikatakan sebagai pemikir
besar dalam Islam, beliau telah memberikan pengaruh besar dan memberikan wajah
baru dalam Islam. Dalam menafsirkan Filosofis yang dilakukan oleh Filosof Islam
sebelumnya tidak memberikan pemikiran yang berpusat pada Islam, melainkan
mereka banyak tertuju pada masalah-masalah klasik yang terdapat dalam pemikiran
Yunani. Demikian pula, ulama kalam dalam memerangi filsafat, tidak ada seorang
pun yang dikerjakan al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, ia menguji
setiap pemikiran filosof dan menunjukan kelemahannya.
Melalui
karyanya yang luar biasa dan karya terbesarnya yakni kitab Ihya ‘Ulumuddin
banyak para sufi berpegang secara esensial terhadap kitab itu, mereka setelah
mengkajinya banyak menemui kepuasaan sehingga menemukan benteng yang kuat.
Dengan begitu, al-Ghazali telah mencapai hakikat agama yang belum pernah
ditemukan orang-orang sebelumnya dan mengembalikan kepada ajaran agama serta
nilai-nilainya yang utuh, bagi al-Ghazali jalan yang paling dekat kepada Allah
SWT adalah melalui hati, dari sinilah ia juga telah membuka pintu Islam
seluas-luasnya untuk Sunni.
C. Ibn Rusyd
1. Biografi
Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan
pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi
sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd
dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang
mempengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St.
Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan
masalah kedokteran dan masalah hukum.
Diantara para filosof Islam, Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling
dikenal dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad
Ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada
tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali.
Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd
kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia
mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat.
Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja.
Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang
dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim.
Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri
menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang
penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur. Hal itu
mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah kepada ilmu
pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang kemudian semakin
sempurna pada diri ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan kondisi ini ia
dapat mewarisi sepenunya intelektualitas keluarganya dan menguasai berbagai
disiplin ilmu yang ada pada masanya.
Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan perang melawan
Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi
penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada
masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang rendah hati,
ia menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru dalam memberi petunjuk
dan pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan Khalifah segera berakhir,
setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di Cordova dan
buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali yang
berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan
di Yasyanah.Tindakan Khalifah ini
menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan perhitungan politis, dimana
suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif dengan
kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang
tinggi.
Pengalaman pahit dan tragis yang dialami Ibnu Rusyd adalah seperti
pengalaman hidup yang dialami para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu.
Namun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, membaca, menulis dan bermuzakarah
tidak pernah surut. Kecintaan pada ilmu pengetahuan membentuk kepribadiannya
sebagai seorang inklusif, toleran dan suka memberi maaf. Sifat kepribadian ini
menurut al-Aqqad menyebabkan ia (saat menjadi hakim) selalu sulit dalam
menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan kepada para
wakilnya.
Di dunia Barat ia disebut dengan Averrois, menurut Sirajuddin Zar, sebutan
ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat
terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh
orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan
dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd.Dengan
demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi
huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi Averrois.Dari Averrois ini
muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan
diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat
ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya
terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada
tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua (bukan
al-Farabi), setelah guru pertama Sang Filsuf atau Aristoteles.
Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri,
dalam penjelasan al-Ahwani, pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang
mencerminkan pandangan dan pahamnya sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan
setelah memberikan uraian dan komentas terhadap filsafat Aristoteles. Ulasan dan
Kesimpulan-kesimpulan tersebut terkadang lebih panjang dari terjemahannya
terhadap pemikiran Aristoteles sendiri.
Hidup terkucil demikian tidaklah lama (1 tahun) dialami Ibnu Rusyd, karena
Khalifah segera mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Tidak
lama menikmati semua itu, Ibnu Rusyd wafat pada 1198 M/ 595 H di Marakesh dan
usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan
Hijrah.
2. Karya Ibn Rusyd
Ibnu Rusyd terkenal sebagai seorang filosuf yang menentang Al Ghazali.
Bukunya yang khusus menentang filsafat Al Ghazali, Tahafutut-tahafut ,
adalah reaksi dari buku Al Ghazali, Tahafutu falasifah. Ibnu Rusyd banyak
mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa Arab sampai ke tangan kita sekarang
hanya sedikit. Di antara karangan-karangannya yang masih dapat kita temukan
adalah sebagai berikut:
1. Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-ittishal,
berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
2. Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Milat, berisikan
kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
3.
Filsafat Ibn Rusyd
1. Agama dan Filsafat
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa antara agama (Islam) dan falsafat tidak ada
pertentangan. Inti filsafat tidak lain dari berfikir tentang wujud untuk
mengetahui pencipta segala yang ada ini. Ibnu Rusyd mendasarkan argumennya
dengan dalil Al-Qur’an (al-Hasyr: 2 dan al-Isra’: 84), menyuruh manusia
berfikir tentang wujud atau alam yang tampak ini dalam rangka mengetahui Tuhan.
Dengan demikian, sebenarnya Al-Qur’an menyuruh umat manusia berfilsafat, atau
mempelajari filsafat Yunani, bukan dilarang atau diharamkan.[19]
2. Qadimnya Alam
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham qadim-nya alam itu tidak bertentangan
dengan ajaran Al-Qur’an. Bahkan sebaliknya, menurut para teolog yang mengatakan
bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada justru tidak mempunyai dasar dalam
Al-Qur’an. Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Al-Qur’an (Q.S. Hud: 7,
Al-Fushshilat: 11, Al-Anbyaa’: 30) dapat diambil kesimpulan bahwa alam
diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus
membawa pada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau tidak
dijadikan oleh Tuhan. Bagi para
filsuf muslim, alam itu dikatakan qadim, justru karena alam itu diciptakan
Tuhan, yakni diciptakan sejak qidam/azali. Karena diciptakan-Nya
sejak qidam, alam itu menjadi qidam pula. Bagaimanapun, Tuhan dan alam
tidak sama karena Tuhan adalah qadim yang mencipta, sedangkan alam adalah qadim
yang dicipta.[20]
3. Kebangkitan Jasmani
Menurut Al-Ghazali, salah satu unsur yang menyebabkan orang menjadi kafir
adalah karena mengingkari adanya kebangkitan jasmani di akhirat kelak. Dia
mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan)
karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Ibnu Rusyd menyangkal
pendapat Al-Ghazali itu, karena menurut Ibnu Rusyd, keimanan terhadap
kebangkitan jasmani adalah suatu keharusan bagi terwujudnya keutamaan akhlak,
keutamaan teori dan amalan lahir, karena seorang tidak akan memperoleh
kehidupan yang sebenarnya dalam dunia ini kecuali dengan amalan-amalan lahir,
dan untuk kehidupan di dunia dan di akhirat, tidak bisa tercapai kecuali dengan
keutamaan-keutamaan teori. Dengan demikian pengkafiran dalam masalah
kebangkitan jasmani tidak beralasan, karena masalah ini bagi para filosuf
adalah persoalan teori.[21]
Ibnu Rusyd menggambarkan kebangkitan rohani dengan analogi tidur.
Sebagaimana tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, badan
hancur, jiwa tetap hidup dan jiwalah yang akan dibangkitkan.[22]
4. Kerasulan Nabi
Banyak filosuf dan para ulama kalam yang membicarakan masalah kenabian.
Pembuktian kerasulan para ulama kalam menyatakan apabila orang berbicara dan
berkehendak dapat mengutus hamba-hambanya, maka bagi Tuhan juga apabila
berbicara dan beriradah dapat mengutus rasul-Nya. Pembuktian ini adalah melalui
jalan qiyas , namun jalan tersebut hanya bisa membawa kesimpulan yang mungkin
saja. Bagi golongan Asy’ariyah dalam memperkuat qiyas itu adalah bahwa orang
yang mengaku menjadi utusan Tuhan, maka harus menunjukkan benar-benar bahwa ia
diutus Tuhan untuk hamba-hamba-Nya, dan tanda ini dinamakan mu’jizat .
Pembuktian yang seperti itu menurut Ibnu Rusyd hanya bersifat memuaskan
hati, tetapi tidak meyakinkan, namun ia menyadari bahwa pembuktian itu sesuai
dengan kebanyakan orang. Apabila diteliti dengan seksama pembuktian mengandung
berbagai kelemahan. Diantaranya yaitu darimana kita mengetahui bahwa mu’jizat
yang Nampak pada seseorang yang mengaku nabi itu adalah tanda dari Tuhan yang
menunjukkan bahwa ia adalah benar-benar rasul-Nya.
Mu’jizat menurut Ibnu Rusyd ada dua macam, yaitu:
a. Mu’jizat luaran (al karrami ) yakni mu’jizat yang
sesuai dengan sifat yang karena seorang nabi disebut nabi, seperti menyembuhkan
penyakit, membelah lautan dan sebagainya.
b. Mu’jizat yang sesuai (al immasib) dengan sifat kenabian tersebut, yaitu
syariat (peraturan) yang dibawanya untuk kebahagiaan manusia.[23]
5. Pengetahuan Tuhan
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa para filsuf Muslim tidaklah mempersoalkan
apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i (perincian yang terjadi) pada alam
sementara ini atau tidak mengetahuinya. Seperti halnya setiap ulama islam, para filsuf Muslim juga berpandangan
bahwa Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i pada alam ini. Yang mereka
persoalkan adalah bagaimana cara Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i
itu. Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf Muslim berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan
tentang hal-hal demikian karena pengetahuan manusia mengambil bentuk efek
(akibat dari memperhatikan hal-hal juz’i itu), sedangkan pengetahuan Tuhan
merupakan sebab, yakni sebab bagi munculnya hal-hal yang bersifat juz’i itu.
Selain itu, ketidaksamaan tersebut disebabkan oleh pengetahuan Tuhan itu
bersifat qadim , yakni semenjak azali Tuhan mengetahui hal-hal bersifat juz’i
di alam semesta ini, betapa pun kecilnya hal tersebut. Manusia tidak memiliki
pengetahuan sama sekali, tetapi kemudian secara berangsur-angsur, memperoleh
pengetahuan setelah memperhatikan bagian demi bagian alam secara saksama.
Kritik Al-Ghazali tentang apakah Tuhan tahu terhadap hal-hal kecil atau
tidak. Ia memandang bahwa Tuhan Maha Segala Tahu, baik besar ataupun kecil.
Berbeda dengan Ibnu Rusyd, Tuhan hanya tahu yang universal bukan perkara yang
kecil. Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil,
tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan
Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam hal
ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil
tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
A. Ibn Sina
Ibn Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia
Barat adalah seorang
filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagianUzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar
karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan
Diantara karya dari ibnu sina yang terpenting adalah
1) Al – syifa’ latinnya sanatio (penyembuhan)
2) Al-
Najah, latinnya salus (penyelamat),
keringkasan dari as-Syifa’.
3) Al-Isyaroh
wa al-tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan hikmah.
4) Al-Qonun fi
al-tibb
5) Al-Hikmah
al-‘Arudhiyyah
6) Hidayah al-Rais
li al- Amir
7) Risalah fi
al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiyah
8) Al-mantiq
al-Masyriqiyyin (Logika timur)
Ibnu sina juga mengemukakan pemikirannya tentang filsafat,antara lain :
1) Filsafat
Metafisika
2) Filsafat
jiwa
3) Filsafat
kenabian
4) Filsafat
tasawuf
B. Al-Ghazali
Nama lengkap
al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Ahmad al-Ghazali,
bergelar “Hujjat al-Islam”. Lahir
pada tahun 450 H/1058 M di Ghazaleh, sebuah kota kecil yang terletak di
dekat Thus (Wilayah Khurasan), Iran. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau
lahir pada tahun 1056, 1050, 1059 M.
Dalam bukunya Tahafut
al Falasifah Al Ghazali mengatakan bahwa para filusuf telah banyak
mengungkapkan argumentasi yang bertentangan dengan Al Qur’an sehingga dia
menganggap para filusuf telah mgningkari Al Qur’an dan ia mengatakan bahwa
mereka adalah orang-orang kafir.
Adapun hal-hal yang dilanggar oleh para filusuf menurut
Al Ghazali ada 20 persoalan yaitu 16 dalam bidang metafisika dan 4 dibidang
fisika namun dari 20 hal itu 17 hal digolongkan dalam Ahl al Bida’ dan berkenaan dengan 3 hal lainnya para filusuf
dikatakan sebagaii orang kafir.
Dalam bukunya The Incoherence of the philosophers
(Tahafut al-Falasifah), Al-Ghazali membentangkan dua puluh pernyataan yang ia
coba buktikan kesalahannya. Tujuh belas di antaranya menimbulkan bid’ah karena
dianggap menyimpang dari ajaran yang asli, yakni Alquran. Dan, tiga di
antaranya benar-benar membuktikan apa yang ia ka tegorikan sebagai orang yang
tidak beriman, bahkan dengan tuduhan yang lebih berat lagi.
Mengenai pandangan yang keliru dari para filsuf ini,
Al-Ghazali mengungkapkan pendapatnya sebagaimana ia paparkan dalam bukunya yang
berjudul Munqidh min adh-Dhalal bahwa “kekeliruan para filsuf terdapat dalam
ilmu-ilmu metafisik. Karena ternyata mereka tidak dapat memberikan bukti-bukti
yang pasti menurut persyaratan yang mereka perkirakan ada dalam
logika. Karya yang terbesar dari al-Ghazali adalah kitab Ihya al’ulumudin.
C. Ibn Rusyd
Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd dilahirkan di
Cordova, Andalus pada tahun 510 H/1126 M, sekitar 5 tahun wafatnya
Al-Ghazali. Ibnu Rusyd terkenal
sebagai pengulas karya-karya Aristoteles (Comentator ), karena
pikiran-pikirannya mencerminkan usahanya yang keras untuk mengembalikan
pikiran-pikiran Aristoteles kepada kemurniannya. Beliau meninggal pada 10
Desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun menurut
perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijrah.
Karya-karya Ibnu Rusyd
1.
Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa
al-Syari’ah min al-ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
2.
Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id
al-Milat, berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
3.
Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid ,
berisikan uraian-uraian di bidang fiqih.
Pemikiran Ibnu
Rusyd
1. Agama dan filsafat
2. Qadimnya
alam
3. Kebangkitan
jasmani
4. Kerasulan
Nabi
5. Pengetahuan
Tuhan
B. Saran
Makalah yang memuat pembahasan tentang Filsafat Ibn Sina, Al-Ghazali
dan Ibn Rusyd ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Maka kami membutuhkan
kritik dan saran atas kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.
Makalah ini hanyalah sebatas tugas mata kuliah akan tetapi, insya Allah dibalik
semua ini ada manfaat bagi kami khususnya dan umumnya bagi semua pembaca. Oleh
karena itu, apa yang kami kutip dari berbagai literature buku, dan
referensi lain, kemungkinan besar masih belum sempurna apabila ditinjau dari
cara mengambil pemahamannya. Maka litertaur yang lain, sangatlah membantu untuk
peningkatan makalah pada tugas yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan,
2001.
Dedi Supriadi. Pengantar
Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Ahmad Fuad
Al-Ahwani. Filsafat Islam.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Hermawan, A.Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat Islam. Bandung : Cv Insan
Mandiri.
Basri, Hasan dan Zaenal Mufti. 2009. Filsafat Islam. Bandung : Cv Insan
Mandiri.
Sunarya
Yaya. Pengantar Filsafat Islam. Arfino Raya. Jakarta : 2012
Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar
Filsafat Islam . Bandung: Pustaka Setia
[1] Ahmad Fuad al-ahwani, ibn Sina (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt.),
hlm. 20.
[2] De Boer, hlm. 166
[3] Shams Inati, “ Ibnu Sina” dalam Eksiklopedia Tematis Filsafat Islam
(Editor:Sayyed Hosen Naser & Oliver Leaman) (Bandung: Mizan, 2003),hlm.286.
[7] Usman Amin, Syakhsiyyah
wa madzahib al-falsafah, (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, tt.), hlm. 77
[14] Skepticisme, al-Syak, lebih tepat diartikan dengan
sangsi, bukan ragu-ragu. Sangsi adalah sikap mental terhadap suatu
kebenaran/pengetahuan yang belum dapat diketahui kebenarannya. Sangsi mendorong
manusia untuk mengadakan penyelidikan lebih lanjut. Sementara ragu, sikap
mental yang tidak berani mengambil keputusan untuk bertindak. Lihat IR.
Poerdjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 20.
Komentar
Posting Komentar