Langsung ke konten utama

Makalah Hadis Tentang Ikhlas Beramal

IKHLAS BERAMAL

Disusun Oleh :

Fitriah                                :170101040229
Maulana Azizah                :170101040991





KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “Ikhlas Beramalini selesai dikumpulkan. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Makalah ini dimaksudkan sebagai pedoman awal mahasiswa. Sebagai pedoman awal tentu saja makalah ini jauh dari cukup untuk menguasai Penjelasan dan Mufrodat dari Setiap Hadits. Karena itu, diperlukan literature atau sumber lain untuk melengkapi makalah ini.
Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam makalah ini memiliki keterbatasan dan ketidaksempurnaan. Karena itu, kritik dan saran akan menjadi sumbangan penting dalam perbaikaan dan revisi makalah ini kedepan.













DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang..........................................................................................................
B.     Rumusan Masalah.....................................................................................................
C.    Tujuan Penulisan.......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A.    Hadits Niat atau Motivasi Beramal..........................................................................
a.       Penjelasan Hadits Niat atau Motivasi Beramal.....................................................
b.      Mufrodat Hadits Niat atau Motivasi Beramal......................................................
B.       Hadits Riya Merupakan Syirik Kecil.......................................................................
a.       Penjelasan Hadits Riya Merupakan Syirik Kecil...................................................
c.       Mufrodat Hadits Riya Merupakan Syirik Kecil....................................................

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan...............................................................................................................
B.     Saran.........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................








BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang

Sesungguhnya pembahasan tentang ikhlas adalah pembahasan yang sangat penting yang berkaitan dengan agama Islam yang hanif (lurus) ini, hal dikarenakan tauhid adalah inti dan poros dari agama dan Allah tidaklah menerima kecuali yang murni diserahkan untukNya sebagaimana firman Allah, “Hanyalah bagi Allah agama yang murni”. (QS. Az-Zumar : 3).

Maka perkara apa saja yang merupakan perkara agama Allah jika hanya diserahkan kepada Allah maka Allah akan menerimanya, adapun jika diserahkan kepada Allah dan juga diserahkan kepada selain Allah (siapapun juga ia) maka Allah tidak akan menerimanya, karena Allah tidak menerima amalan yang diserikatkan, Dia hanyalah meneriman amalan agama yang kholis (murni) untukNya. Allah akan menolak dan mengembalikan amalan tersebut kepada pelakunya bahkan Allah memerintahkannya untuk mengambil pahala (ganjaran) amalannya tersebut kepada yang dia syarikatkan, hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya:

Allah berfirman “Aku adalah yang paling tidak butuh kepada syarikat, maka barangsiapa yang beramal suatu amalan untuku lantas ia mensyerikatkan amalannya tersebut (juga) kepada selainku maka Aku berlepas diri darinya dan ia untuk yang dia syarikatkan” (HR. Ibnu Majah 2/1405 no. 4202, dan ia adalah hadits yang shahih, sebagaimana perkataan Syaikh Abdul Malik Ar-Romadhoni, adapun lafal Imam Muslim (4/2289 no 2985) adalah, “aku tinggalkan dia dan ksyirikannya”).

Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, Lafal ‘amalan’ disini adalah nakiroh dalam konteks kalimat syart maka memberi faedah keumuman sehingga mencakup seluruh jenis amalan kebaikan baik amalan badan, amalan harta. Maupun amalan yang mengandung amalan
 badan dan amalan harta (seperti haji dan jihad)”. (At-Tamhid hal. 401).

Sungguh benar sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya riya itu samar sehingga terkadang menimpa seseorang padahal ia menyangka bahwa ia telah melakukan yang sebaik-baiknya. Dikisahkan bahwasanya ada seseorang yang selalu sholat berjama’ah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga sholat di saf yang kedua, ia pun merasa malu kepada jama’ah yang lain yang melihatnya sholat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini senangnya hatinya, tenangnya hatinya tatkala sholat di shaf yang pertama adalah karena pandangan manusia. (Tazkiyatun Nufus hal 15).

Berkata Abu ‘Abdillah Al-Anthoki, “Fudhail bin ‘Iyadh bertemu dengan Sufyan Ats-Tsauri lalu mereka berdua saling mengingat (Allah) maka luluhlah hati Sufyan atau ia menangis. Kemudian Sufyan berkata kepada Fudhail, “Wahai Abu ‘Ali sesungguhnya aku sangat berharap majelis (pertemuan) kita ini rahmat dan berkah bagi kita”, lalu Fudhail berkata kepadanya, “Namun aku, wahai Abu Abdillah, takut jangan sampai majelis kita ini adalah suatu mejelis yang mencelakakan kita “, Sufyan berkata, “Kenapa wahai Abu Ali?”, Fudhail berkata, “Bukankah engkau telah memilih perkataanmu yang terbaik lalu engkau menyampaikannya kepadaku, dan akupun telah memilih perkataanku yang terbaik lalu aku sampaikan kepadamu, berarti engkau telah berhias untuk aku dan aku pun telah berhias untukmu”, lalu Sufyan pun menangis dengan lebih keras daripada tangisannya yang pertama dan berkata, “Engkau telah menghidupkan aku semoga Allah menghidupkanmu”. (Tarikh Ad-Dimasyq).

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Tafsir dari Hadits Niat atau Motivasi Beramal?
2.      Bagaimana Tafsir dari Hadits Riya Merupakan Sirik Kecil?
3.      Apa Saja Mufrodat dari Hadits Tersebut?

C.       Tujuan Penulisan
Agar mahasiswa tahu tentang hadits-hadits yang berkenaan dan niyat, keikhlasan dan bahaya riya dalam sebuah amal. Agar para mahasiswa dapat memahami tentang betapa pentingnya arti sebuah niat dalam aspek kehidupan. Agar mahasiswa dapat memahami tentang urgensi keikhlasan dalam sebuah amal dan dapat memotivasi diri agar beramal dengan ikhlas.  Agar mahasiswa dapat mengetahui apa saja hal-hal yang dapat dilakukan agar menjadikan amalannya ikhlas dan menghindar dari sifat riya’.








BAB II
PEMBAHASAN

Hadits-Hadits Tentang Ikhlas Dalam Amal
A.      Niat atau Motivasi Beramal

وَعَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بنِ الخَطَّابِ بنِ عَبْدِ العُزَّى بنِ ريَاحِ بنِ عَبَّدِ اللهِ بنِ قُرْطِ بنِ رَزَاحِ بنِ عَدِيِّ بنِ كَعْبِ بنِ لُؤَيِّ بنِ غَالِبٍ القُرْشِيِّ العَدَوِيِّ بنِ غَالِبٍ القُرْشِيِّ العَدَوِيِّ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَال: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ – صَل اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ – يَقُوْلُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِا لنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَانَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا ، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكَحُهَا ، فَهِجْرَتُهٌ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه.

Dari Amirul Mu’minin Abu Hafs ‘Umar bin al-Khaththab bin Nufayl bin ‘Abdul ‘Uzza bin Riyah bin Abdillah bin Qurth bin Razah bin ‘Adiy bin Ka’b bin Lu’ayy bin Ghalib al-Qurasyiyy al-‘Adawiyy ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrah karena urusan dunia yang ingin ia dapatkan, atau karena perempuan yang ia ingin nikahi, maka hijrahnya itu karena apa yang ia inginkan.”(Muttaqun ‘Alayh)

Ø  Tafsir Hadits
Rasulullah saw mengeluarkan hadis di atas (asbab al-wurud)- nya ialah untuk menjawab pertanyaan salah seorang sahabat berkenaan dengan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah yang diikuti oleh sebagian besar pejabat. Dalam hijrah itu ada seorang laki-laki yang juga turut hijrah.  Akan tetapi, niatnya bukan untuk kepentingan perjuagan Islam, melainkan untuk hendak menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais. Wanita itu rupanya sudah bertekad untuk turrut hijrah, sedangkan laki-laki tersebut pada mulanya memilih tinggal di Makkah. Ummu Qais hanya bersedia dikawini di tempat tujuan hijrahnya Rasullah yakni Madinah , sehingga laki-laki itu pun turut hijrah ke Madinah. Ketika peristiwa itu ditanyakan kepada Rasulullah saw, apakah hijrah dengann motif itu diterima atau tidak, Rasulullah menjawab secara umum seperti yang telah disebutkan pada hadis di atas.
Niat berperan penting dalam ajaran Islam, khusunya dalam perbuatan yang berdasarkan perintah syara’ atau menurut sebagian Ulama merupakan sebuah perbuatan yang mengandung harapan untuk mendapat pahala dari Allah SWT. Niat akan menentukan nilai, kualitas, serta hasilnya, yakni pahala yang akan diperolehnya.
Orang yang berhijrah dengan niat ingin mendapatan keuntungan dunia atau ingin mengawini seorang wanita, ia tidak akan medapatkan pahala dari Allah SWT. Sebaliknya, jika seseorang hijrah karena ingin  mendapatkan ridha dari Allah SWT, maka ia akan mendapatkannya, bahkan keuntungan duniapun akan diraihnya. Sebenarnya, hijrah yang dimaksud pada hadis diatas adalah berhijrah dari Makkah ke Madinah, karena pada saat itu penduduk Makkah tidak merespon lagi dakwah Nabi, bahkan mereka ingin mencelakakan Nabi dan Umat slam.  Akan tetapi, setelah Islam jaya, hijrah tersebut lebih tepat diartikan sebagai perpindahan dari kemungkaran atau kebatilan kepada yang hak. Namun  demikian, niat tetap saja sangat berperan dalam menentukan berpahala atau tidaknya setiap hijrah, dalam berbagai bentuknya.
Para Ulama telah sepakat,  bahwa niat itu sangat penting dalam menentukan sahnya suatu ibadah. Niat termasuk rukun pertama dalam setiap melakukan ibadah. Tidaklah sah suatu ibadah, seperti shalat, puasa, zakat maupun haji dan lain-lain, jika dilakukan tanpa niat atau dengan niat yang salah.
Setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan, jika niatnya baik (ikhlas) maka yang dia terima adalah kebaikan dari Allah dan jika niatnya tidak baik, maka dia tidak akan menerima kebaikan dari Allah.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
وَاِنمَا لِكُلِ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya:
“Dan tiap-tiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan”.
Suatu perbuatan yang secara lahiriahnya baik, tetapi niatnya tidak baik maka dia tidak akan mendapatkan kebaikan. Dan perbuatan dosa, walaupun niatnya baik, tetap mendapatkan hukuman. Jadi, ganjaran dan pahala dari Allah itu hanya dapat diperoleh oleh orang-orang yang berbuat kebajikan karena Allah dan Rasul-Nya semata-mata. Perbuatan-perbuatan kebajikan tidak dipandang baik oleh Allah, kalau tidak disertai dengan niat yang ikhlas.  Dan  niat yang ikhlas itu adalah ketetapan hati mencari keridhaan Allah dalam melakukan segala kebajikan.
Zu an-Nun al-Mishri menjelaskan bahwa ada tiga tanda-tanda ikhlas, yaitu:  
“Tanda ikhlas ada tiga: pujian dan cercaan dari manusia sama saja baginya, melupakan amal yang telah dilakukannya, dan hanya mengharapkan ganjaran amalnya di akhirat”.


Ø  Mufrodhat Hadits
Kata penguat (ta’qid) dan untuk meringkas
:
أِنَّمَا
Seseorang, manusia
:
اِعْرِ ىءٍ
Meninggalkan suatu tempat  menuju ke tempat lain
:
اَلْهِجْرَةُ
Mendapatkan, mencapai
:
يُصِيْبُ


...مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ مَعِي فِيْهِ غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ...
“... Barngsiapa melakukan suatu amal perbutan yang dengannya disekutukan dengan-Ku sesuatu yang selain-ku, maka kutingglkan dia dengan kesyirikannya.” (Diriwayatkan Muslim)

            Ungkapan ‘amalan (عَمَلاً)  ‘amal perbuatan , adalah kata dalam bentuk nakirah sebagai syarth sehingga menjadi umum yang mencakup semua macam amal perbuatan, baik berupa shalat, puasa, haji, jihad, atau lainnya.
            Ungkapan taraktuhu wa syirkahu (تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ) maka kutinggalkan dia dengan kesyirikannya’, yakni aku tidak akan memberikan pahala untuknya atas amal perbuatan yang telah ia lakukan dengan kesyirikan di dalamnya.
            Kesyirikan ini kadang-kadang mencapai derajat kufur. Sehingga Allah Ta’ala meninggalkan semua amal perbuatannya tanpa pahala sama sekali dari-Nya. Karena kesyirikan menggurkan semua amal perbuatan jika ia mati dalam kondisi demikian itu.
            Yang dimaksud dengan wa syirkahu (وشركه) dengan kesyirikannya, yaitu amal perbuatan yang dilakukan dengan kesyirikan di dalamya. Bukanlah yang dimaksud itu sekutu-Nya. Karena sekutu yang disebutkan kepada Allah itu kadang-kadang tidak ditinggalkan oleh Nya. Sebagaimana orang yang menyekutukan seorang Nabi atau seorang wali. Sesungguhnya Allah tidak meninggalkan Nabi atau wali tersebut.[1]
            Adapun tujuan yang terpenting diwajibkan niat, antara lain adalah untuk membedakan perbuatan ibadah dengan perbuatan biasa, dan untuk membedakan tingkatan ibadah dengan ibadah lainnya.[2]
Dari hadits ini dapat ditarik beberapa faidah:
1.      Penjelasan ketidakbutuhan Allah Ta’ala, hal itu karena firman-Nya.
2.      Pejelasan berkenaan dengan keagungan hak Allah yang tidak boleh bagi seseorang pun menyekutukan sesuatu dengan Allah dalam hak-Nya.
3.      Batalnya amal perbuatan yang dibarengin dengan riya’.
4.      Bahwasanya sifat setiap amal perbuatan itu tidak ada batas baginya, karena semua itu berkaitan dengan perbuatan Allah. Sedangkan Allah masih saja dan selalu berbuat.

B.       Menjauhi Riya’ yang Merupakan Syirik kecil

حَدَّثَنَا يُوْنُسُ ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ ،عَنْ يَزِيْدَ يَعْنِي ابْنَ الهَادِ ، عَمْرٍو ، عَنْ مُحْمُوْدِ بْنِ لَبِيْدٍ ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَل اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ قَالَ: إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشَّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُوْلَ اللهِذ؟ قَالَ: الرَّيَاءُ ، يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ: اذْهَبُوْا إِلَى الَّذِيْنَ كُنْتُمْ تُرَاءُوْنَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً (رَوَاهُ أَحْمَدُ)

Yunus menceritakan kepada kami, Layts menceritakan kepada kami, dari Yazid, yaitu Ibnu al-Had , dari ‘Amr, dari Mahmud bin Labid, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terhadap kalian adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya: apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Riya. Allah azza wa Jalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat ketika manusia dibalas sesuai amal mereka: pergilah kepada orang-orang yang kalian ingin melihat amal kalian (riya) pada waktu di dunia dulu, maka perhatikanlah, apakah kalain mendapat balasan kebaikan dari mereka? (H.R. Ahmad)

Ø  Tafsir Hadits
Riya adalah memaksudkan amalan yang dilakukan seseorang guna mendapatkan keridhoan manusia, baik berupa pujian, ketenaran, atau sesuatu yang diinginkannya selain Allah SWT. Dr. Sayid Muhammad Nuh, menggambarkan adanya tiga sebab yang memotori timbulnya riya: Pertama karena ingin mendapatkan pujian dan nama baik di masyarakat. Kedua, kekhawatiran mendapat celaan manusia, dan ketiga, menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain (tamak). Ketiga hal ini didasari dari hadits, yang diriwayatkan Imam Bukhari:

عَنْ أَبِيْ مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ أَعْرَابِيًّا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهٌ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، الرَّجُلُ يُقَاتِلُ حَمِيَّةً، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةَ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.
                                                                                                                                                     
“Dari Abu Musa al-Asyari ra, mengatakan bahwa seorang Badui bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW, seseorang berperang karena kekesatriaaan, seseorang berperang supaya posisinya dilihat oleh orang, dan seseorang berperang karena ingin mendapatkan pujian? Rasulullah SAW menjawab “Barang siapa yang berperang karena ingin menegakkan kalimatullah, maka dia fi sabilillah.” (HR. Bukhari)
ولايشرك بعبادة ربه أحدا
“... Dan janganlah ia mempersatukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi: 110)
Ungkapan wa laa yusyrik (ولايشرك) dan janganlah ia mempersekutukan. Laa (لا) adalah huruf untuk menunjukkan larangan (an-nahyu). Yang dimaksud dengan an-nahyu di sini adalah al-irsyad memberi petunjuk.
Ungkapan bi’ibadati rabbihi ahadan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya’. Mengkhususkan ibadah karena ibadah adalah murni hak Allah. Oleh sebab itu, pula Allah tidak menyebutkan ia yusyirik bi’ibadatilah janganlah mempersekutukan dalam beribadah kepada Allah.[3]
Ciri-Ciri Riya’
1.      Tidak akan melakukan perbuatan baik apabila tidak dilihat orang.
2.      Amal atau perbuatn baik yang telah ia lakukan sering diungkti-ungkit atau disebut-sebut.
3.      Beramal atau beribadah sekejar ikut-ikutan,itupun dilakukan apabila ia berada ditengah-tengah orang ramai.
4.       Amal (perbuatan baiknya) selalu ingin diingat,diperhatikan ingin mendapat pujian dan ingin didengar orang lain.
5.      Terlihat tekun dan bertambah motifasinya dalam beribadah apabila mendapat pujian dan sanjungan,sebaliknya semangatnya akan menurun bahkan meyerah apabila dicela orang.

Macam-macam Riya’

Ketahuilah wahai kaum Muslimin hamba hamba Allah ! Riya’ mengalir pada diri setiap manusia (keturunan Adam) melalui aliran darah. Tujuannya untuk mengusik dan membuyarkan semua amal perbuatan mereka. Riya’ ini sangat banyak macamnya. Antara lain :


1.      Riya’ Badani (Fisik)
Para ahli agama (ahlu ad diin) biasanya menampakkan badan yang kurus dan pucat, agar mereka dilihat oleh manusia bahwa merena adalah hamba yang rajin beribadah. Dan memberikan asumsi umum bahwa mereka telah disibukkan oleh urusan akhirat.Para ahli dunia (ahlu ad dunya) melakukan riya’ dengan menampakkan tubuh yang gemuk dan sehat, warna kulit yang bersih, ketegapan berdiri, wajah yang ceria, kebersihan badan dan memperindah perkataan, untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka adalah orang yang pintar (fasih) dalam bertutur kata.

Mereka ini adalah orang yang dikatakan Allah seperti dalam FirmanNya :
“Dan Apabila kamu melihat mereka, tubuh tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan mereka. Mereka adalah seakan akan kayu yang tersandar. Mereka mengira tiap tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka, mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka, semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran).” (Al Munafiqun :4)

2.      Riya’ dalam berpakaian
Para penganut agama, mereka memakai pakaian sufi yang terkesan sangat kumal untuk menunjukkan kezuhudan mereka. Sebagian mereka juga memakai satu jenis pakaian khusus agar orang menyebutnya sebagai ulama. Ketika ia memakai pakaian tersebut orang pun menganggapnya sebagai ulama.
Adapun para ahlu dunia, riya’ mereka ditunjukkan dengan pakaian yang indah, kendaraan yang bagus dan rumah rumah mewah.

3.      Riya’ dalam Perkataan
Para ahli agama, riya’ mereka terlihat pada hafalan hadist dan atsar, karena ingin bergaul dan berdiskusi dengan para ulama dan mengibuli orang orang bodoh, sehingga mereka merasa bahwa merekalah orang yang lebih tinggi kedudukannya di mata manusia.
Merendahkan dan mengeraskan suara ketika membaca Al Qur’an untuk menunjukkan ketakutan atau kekhawatiran dan kegelisahan dan lain sebagainya, juga merupakan bagian dari riya’. Wallahu a’lam
Para ahli dunia, riya’ mereka terlihat dengan menghafal bait bait syair, kata mutiara, mendalami tata bahasa dan sastra dalam percakapan dan terus menerus terlibat dalam pembicaraan.



4.      Riya’ dalam Amal Perbuatan
Para ahli agama melakukan riya’ seperti orang shalat yang memperpanjang waktu berdiri, memperpanjang ruku’ dan sujud, memperlihatkan ke khusu’an dan ketundukan, dan memperindah shalatnya kalau mengetahui bahwa ada orang yang sedang memperhatikannya.
Adapun ahli dunia melakukan riya’ dengan sikap arogansi, kesombongan, mendekatkan langkah, memperindah pakaian untuk mendapatkan kehormatan yang mereka dambakan.



5.      Riya’ dengan Para Sahabat dan Kerabat
Para ahli agama melakukan riya’ seperti misalnya orang yang mempersiapkan sebuah kunjungan seorang alim ulama, agar orang orang mengetahui bahwa si alim Fulan telah mengunjungi kediamannya.
Sebagian mereka melakukan riya’ dengan menunjukkan bahwa guru mereka banyak sekali agar ada asumsi dari masyarakat bahwa mereka telah bertemu dengan banyak guru, dan telah diberi ijazah oleh banyak guru.

Ø  Mufrodat Hadits

Paling takut (af’al tafdil)
:
أَحْوَفَ
Aku takut (akan)
:
أَخَافُ
Syirik (menyekutukan Allah)
:
اَلثِّرْكُ
Riya (berbuat sesuatu bukan Karena Allah Tetapi karena ada niat selainnya)
:
اَلِرِّ يَاءُ

 





BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan

Pada intinya, keikhlasan menginginkan bagaimana seorang hamba mampu memberikan porsi ketawazunan dalam amalannya antara yang dzahir dan bathin. Karena yang diinginkan dari ikhlas adalah adanya kesamaan dalam kedua amalan ini, baik yang dzahir (amalan yang terlihat oleh orang lain), maupun yang bathin (yang hanya diketahui sendiri oleh dirinya). Jika amalan dzahirnya melebihi amalan bathinnya, berarti terdapat indikasi keriyaan. Contoh amalan yang dilakukan secara bathin adalah senantiasa hati seseorang “basah” dengan dzikir kepada Allah, dimanapun dan kapanpun dia berada. Demikian juga dalam kesendirian-kesendiriannya, ia justru memperbanyak dzikir dan melakukan aktivitas ibadah, bukan malah merupakan kesempatan untuk berlaku maksiat.

Jika seseorang telah mampu menyeimbangkan antara kedua hal di atas, ini berarti telah terdapat indikasi keikhlasan dalam dirinya. Apalagi jika seseorang yang memiliki amalan bathin, jauh lebih banyak dan lebih besar frekuensinya dari pada amalan dzahirnya, maka ia telah mencapai assidqu fil ikhlas (keikhlasan yang sebenar-benarnya).

B.       Saran
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita hati yang ikhlas. karena betapapun kita melakukan sesuatu hingga bersimbah peluh berkuah keringat, habis tenaga dan terkuras pikiran, kalau tidak ikhlas melakukannya, tidak akan ada nilainya di hadapan Allah. Bertempur melawan musuh, tapi kalau hanya ingin disebut sebagai pahlawan, ia tidak memiliki nilai apapun. Menafkahkan seluruh harta kalau hanya ingin disebut sebagai dermawan, ia pun tidak akan memiliki nilai apapun.

Ikhlas, terletak pada niat hati. Luar biasa sekali pentingnya niat ini, karena niat adalah pengikat amal. Orang-orang yang tidak pernah memperhatikan niat yang ada di dalam hatinya, siap-siaplah untuk membuang waktu, tenaga, dan harta dengan tiada arti. Keikhlasan seseorang benar-benar menjadi amat penting dan akan membuat hidup ini sangat mudah, indah, dan jauh lebih bermakna.

Oleh karena itu, jangan terjebak oleh rekayasa-rekayasa. Allah sama sekali tidak membutuhkan rekayasa apapun dari manusia. Allah Mahatahu segala lintasan hati, Mahatahu segalanya. Makin bening, makin bersih, semuanya semata-mata karena Allah, maka kekuatan Allah yang akan menolong segalanya.

Daftar Pustaka
Al- Utsaimin , Syaih Muhammad. Penerjemah, Rasyid Abud Bawazier. Syarah Kitab Tauhid. PT  Danu Falah. Jakarta:2008
Jala Luddin, Abdurrahman. Lima Kaidah Pokok dalam Fikih Mazhab Syafi’i. PT Bina Ilmu. Surabaya:1986



[1] Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad, Syarah Kitab Tauhid, penerjemah. Asmuni: (Jakarta: PT Darul Falah), Cet.2, hlm. 169
[2] Abdurrahman, Jalaliddin, Lima Kaidah Pokok Dalam fiqih Mazhab Syafi’i: (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset), hlm. 15
[3] Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad, Syarah Kitab Tauhid, penerjemah. Asmuni: (Jakarta: PT Darul Falah), Cet.2, hlm. 170

Komentar