MAKALAH
FIQIH MUAMALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah
Yang dibina oleh Nashihul Ibad Elhas, S.H.I, M.S.I.
Disusun oleh:
1.
Zulvaniyah (E20151032)
2.
Fajar Syahroni (E20151037)
3.
Ilmi Farajun Rikza (E20151043)
KATA PENGANTAR
Puji
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
Rahmat dan Hidayah-Nya semata, kami dapat menyelesaikan Makalah dengan judul: ”Ar-Rahn”.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
para keluarga, sahabat-sahabat dan pengikut-pengikutnya sampai hari
penghabisan.
Atas partisipasi dan saran dari
kelompok 7 dan teman-teman maka disusunlah makalah ini, semoga dengan
tersusunnya makalah ini dapat berguna bagi kami semua dalam memenuhi tugas dari
mata kuliah Fiqih Muamalah dan semoga segala yang tertuang dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi
para pembaca dalam rangka membangun khasanah keilmuan. Makalah ini disajikan khusus
dengan tujuan untuk memberi arahan dan tuntunan agar yang membaca bisa menciptakan
hal-hal yang lebih bermakna.
Ucapan
terima kasih juga peneliti sampaikan kepada:
1.
Dosen
Pembimbing mata kuliah Fiqih Muamalah.
2.
Semua pihak
yang telah membantu demi terbentuknya makalah.
Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan dan belum sempurna. Untuk itu kami
berharap akan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada para pembaca guna
perbaikan langkah-langkah selanjutnya.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT
kita kembalikan semua, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata.
Jember, 17 Maret 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL.................................................................................................. i
KATA
PENGANTAR.................................................................................................. ii
DAFTAR
ISI............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. ....... 1
1.1.
Latar
belakang……………………………………………………....…
1
1.2.
Rumusan masalah……………………………………………………… 1
1.3.
Tujuan………………………………………………………………….. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Dasar Hukum Ar-Rahn (Gadai)………………… 2
B.
Rukun dan Syarat- Syarat Gadai………………………………….. 3
C.
Pengambilan Manfaat Barang Gadai……………………………… 3
D. Risiko Kerusakan Marhun………………………………………….. 3
E.
Penyelesaian Gadai………………………………………………….. 4
BAB
II PENUTUP........................................................................................ … 5
1.4 Kesimpulan ........................................................................................... … 5
1.5 Kritik dan saran…………………………………………………………. 5
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………… 6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah
dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga
mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang pasti butuh berinteraksi
dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong
diantara mereka.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak
bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya di zaman
khiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang
berharga dalam meminjamkan hartanya.
Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk
mencari uang dan salah satunya dengan cara rahn (gadai). Para ulama berpendapat
bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan
rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut
sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa
mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan mencoba
sedikit menjelaskan apa itu gadai dan bagaimana hukumnya.
1.2.
Rumusan masalah
a. Bagaimana pengertian Rahn (gadai) dan dasar
hukumnya?
b. Bagaimana rukun dan syarat-syarat gadai?
c. Bagaimana pengambilan manfaat barang gadai?
d. Bagaimana risiko kerusakan marhun?
1.3.
Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian Rahn (gadai)
b. Untuk mengetahui rukun dan syarat-syarat
gadai
c. Untuk mengetahui pengambilan manfaat barang
gadai
d. Untuk mengetahui risiko kerusakan marhun
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Dasar Hukum Ar-Rahn (Gadai)
Menurut bahasa, ( al-rahn ) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu
penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung
atau terjerat.
Adapun
secara termologi para ulama fiqh mendefisinikan secara berikut :
1.
Menurut Sayyid Sabiq, ar-rahn adalah menjadikan barang berharga
menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang.
2.
Menurut Muhammad rawwas Qal’ahji penyusun buku Ensiklopedia Fiqih
Umar bin Khattab r.a, berpendapat bahwa ar-rahn adalah menguatkan utang dengan
jaminan utang.
3.
Menurut Masjfiq Zuhdi ar-rahn adalah perjanjian atau akad pinjam
meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
4.
Menurut Nasrun Haroen, ar-rahn adalah menjadikan suatu (barang)
sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran
hak (piutang), baik keseluruhannya ataupun sebagian.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa ar-rahn adalah menjadikan barang berharga sebagai jaminan utang.
Dengan begitu jaminan tersebut berkaitan erat dengan utang piutang dan timbul
dari padanya. Sebenarnya pemberiaan utang itu merupakan suatu tindakan
kebajikan untuk menolong orang yang sedang dalam keadaan terpaksa dan tidak
mempunyai uang dalam keadaan kontan. Namun untuk ketenangan hati, pemberi utang
memberikan suatu jaminan, bahwa utang itu akan dibayar oleh orang yang
berutang. Untuk maksud itu pemilih uang boleh meminta jaminan dalam bentuk
barang berharga.
Hukum meminta jaminan itu adalah mubah
berdasarkan petunjuk Allah dalam Al-qur’an sebagai berikut:
“Apabila kamu dalam perjalanan
dan tidak ada orang yang menuliskan utang, maka hendaklah dengan rungguhan yang
diterima ketika itu”
(Al-Baqarah: 283)
Para ulama sepakat bahwa ar-rahn dibolehkan tetapi tidak
diwajibkan, sebab gadai bersifat jaminan saja jika kedua belah pihak tidak saling
memercayai. Firman Allah Farihaanun Maqbuudhuh pada ayat di atas adalah irsyad
(anjuran baik) saja kepada orang yang beriman, sebab pada lanjutan ayat
tersebut dinyatakan “akan tetapi jika sebagian kamu memercayai sebagian yang
lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (untungnya)”. (QS.
Al-Baqarah: 283)
B.
Rukun dan Syarat- Syarat Gadai
Para
ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun ar-rahn. Menurut Jumhur Ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu:
1.
Orang yang berakad (ar-rahn dan al-murtahin)
2.
Sighat (lafadz ijab dan qabul)
3.
Utang (al-marhun bih)
4.
Harta yang dijadikan jaminan (al-marhun)
Adapun
syarat-syarat ar-rahn para ulama fiqh menyusunnya sesuai dengan rukun ar-rahn itu
sendiri. Dengan demikian syarat-syarat ar-rahn adalah sebagai berikut:
1.
Syarat yang terkait dengan orang berakad (ar-rahn dan al-murtahin)
adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut jumhur ulama
adalah orang yang telah baligh dan berakal.
2.
Syarat yang terkait dengan sighat, ulama Hanafiyah berpendapat
dalam akad itu ar-rahn tidak boleh dikaitkan pleh syarat tertentu.
3.
Syarat yang berkaitan dengan utang (al-marhun bih) : (a) merupakan
hak yang wajib dikembalikan kepada yang memberi utang, (b) utang itu boleh
dilunasi dengan jaminan, dan (c) utang itu jelas dan tertentu.
4.
Syarat yang berkaitan dengan barang yang dijadikan jaminan
(al-marhun), menurut ulama fiqh syarat-syaratnya adalah sebagai berikut: (a)
barang jaminan boleh dijualdan nilainya seimbang dengan utang, (b) berharga dan
boleh dimanfaatkan, (c) jelas dan tertentu, (d) milih sah orang yang berutang,
(e) tidak terkait dengan hak orang lain, (f) merupakan harta utuh dan, (g)
boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
C.
Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Pemanfaatan
barang gadai oleh ar-rahn :
Diantara
para ulama terdapat dua pendapat, Jumhur Ulama selain Syafi’iyah melarang
ar-rahin untuk memanfaatkan barang gadi tau jaminan, sedangkan ulama
Syafi’iyah
membolehkannya sejauh tidak memudaratkan al-murtahim.
Jumhur
ulama selain Hanabilah berpendapat bahwa al-murtahim tidak boleh memanfaatkan
barang gadai. Kecuali bila al-rahin tidak mau membiayai barang gadai tersebut.
Dalam hal ini al-murtahin boleh memanfaatkan barang gadai jika berupa kendaraan
atau hewan seperti dibolehkan untuk mengendarainya atau mengambil susunya
sekedar pengganti pembiayaan.
D.
Risiko
Kerusakan Marhun
Bila marhun hilang di bawah
penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak
atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan, misalnya
murtahin bermain-main dengan api lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang
tak dikunci lalu barang-barang itu hilang dicuri orang. Pokoknya murtahin
diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, ketika ada
cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.
Menurut Hanafi, murtahin yang
memegang marhun menanggung risiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila
marhun itu rusak atau hilang, baik karena kelalaian (disia-siakan) maupun tidak.
Demikian pendapat Ahmad Azhar Basyir. Perbedaan dua pendapat tersebut ialah
menurut Hanafi murtahin harus menanggung risiko kerusakan atau kehilangan
marhun yang dipegangnya, baik marhun hilang karena disia-siakan maupun dengan
sendirinya. Sedangkan menurut Syafi’iyah murtahin menanggung risiko kehilangan
atau kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan
murtahin.
E. Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada
pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan
ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya
hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai
pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah
ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang
rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin.
Sebaliknya, ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah
ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang
akibatnya akan merugikan pihak rahin.
Apabila syarat seperti di atas
diadakan dalam akad gadai, akad gadai itu sah tetapi syarat-syaratnya batal dan
tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan
rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya
boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku
pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar
piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari
jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga
penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran
kekurangannya.
BAB III
PENUTUP
1.4.
Kesimpulan
Ar-rahn adalah
menjadikan barang berharga sebagai jaminan utang. Menurut
Jumhur Ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu orang yang berakad (ar-rahn dan
al-murtahin), sighat (lafadz ijab dan qabul), utang (al-marhun bih), harta yang
dijadikan jaminan (al-marhun). Diantara para ulama terdapat dua pendapat,
Jumhur Ulama selain Syafi’iyah melarang ar-rahin untuk memanfaatkan barang gadi
tau jaminan, sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkannya sejauh tidak
memudaratkan al-murtahim. Murtahin
diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, ketika ada
cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin. Untuk
menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan
syarat-syarat.
1.5.
Kritik dan saran
Tak ada
gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Maka dari
itu dalam pembuatan makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen
pembimbing dan teman-teman bila ada kesalahan, agar makalah ini bisa bermanfaat
bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i,
Rachmat.2004. Fiqih Muamalah,Bandung:
CV Pustaka Setia.
Suhendi,
Hendi.2013. Fiqih Muamalah,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Komentar
Posting Komentar