Langsung ke konten utama

Makalah Utang Piutang


( Utang Piutang )

Di Susun Oleh :

Fitriah
170101040229


KATA PENGANTAR
Description: images
Puji syukur kehadirat Allah SWT  atas segala  limpahan rahmat, inayah, taufik, dan  ilham-Nya sehingga kami dapat  menyelesaikan  penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Makalah  ini disusun dalam rangka untuk melaksanakan tugas dari dosen pada mata kuliah Materi Fikih Muamalah. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada dosen pengampu mata kuliah.
Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan sehingga penyusun dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah  ini penyusun akui masih banyak  kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan isi makalah ini kami sambut dengan senang hati.
.
Banjarmasin,   Januari 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................        i
Daftar isi..................................................................................................        ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................        1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................        1
C.     Tujuan .........................................................................................        1
BAB II PEMBAHSAN
A.    Pengertian jual beli......................................................................        2
B.     Dasar-dasar hukum jual beli........................................................        3
C.     Rukun dan syarat jual beli...........................................................        4
D.    Macam-macam jual beli...............................................................        6
E.     Pengertian Qardh........................................................................        8
F.      Landasan hukum Qardh..............................................................        8
G.    Rukun dan syarat Qardh.............................................................        9
H.    Waktu dan tempat pengebaliannya Qardh..................................        10
I.       Pengertian riba.............................................................................        10
J.       Hukumnya...................................................................................        11
K.    Hikmah diharamkannya..............................................................        12
L.     Macam-macam riba.....................................................................        13
M.   Illat pengharamannya..................................................................        13
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan .................................................................................        14
B.     Saran............................................................................................        15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................        15



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belalang Masalah
Jual Beli merupakan muamalah antara sesama manusia yang mempunyai rukun dan syarat-syarat tertentu. Begitu juga halnya dengan Utang Piutang (Qardh) memiliki rukun dan syarat-syarat tertentu. Dalam hal muamalah ini, agar menjadi sah maka tentulah harus mengetahui segala rukun dan syarat-syaratnya. Diantara hal yang harus dijauhi dalam muamalah yaitu riba. Riba sudah jelas hukumnya haram dan  sangat lah berbahaya karena dapat menimbulkan pemusuhan antara pribadi dan mengkikis habis semangat kerjasama/saling menolong sesama manusia.

B.     Rumusan Masalah
a)      Pengertian jual beli
b)      Landasan atau dasar hukum jual beli
c)      Rukun dan syarat jual beli
d)     Macam-macam jual beli
e)      Penegtian Qardh
f)       Landasan hukum Qardh
g)      Rukun dan syarat Qardh
h)      Waktu dan tempat pengembalian Qardh
i)        Pengertian Riba
j)        Hukum Riba
k)      Hikmah pengharamannya
l)        Macam-macam riba
m)    Illat pengharamannya

C.    Tujuan Penulisan
a)      Dapat memahami konsep dalam jual beli
b)      Dapat memahami konsep dalam Qardh
c)      Menghindari riba dalam muamalah






BAB II
PEMBAHASAN
(Jual Beli)
A.    pengertian jual beli
Jual beli dalam istilah ahli fiqih disebut dengan al-ba‟i yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. lafal al-ba‟i  dalam   bahasa   arab   terkadang   digunakan   untuk   pengertian lawannya, yaitu   kata asy-syira‟ (beli). Kata al-ba‟i (jual) dan al-syira‟ (beli) dipergunakan biasanya dalam pengertian yang sama. Dan kata ini masing-masing mempunyai makna dua, yang satu dengan yang lainnya bertolak  belakang.[1]  Secara  terminologi,  para  fuqaha  menyampaikan difinisi yang berbeda-beda antara lain, sebagai berikut:
1.      Pemberian harta karena menerima harga dengan ikrar penyerahan dan jawab penerima (ijab qabul) dengan cara yang diizinkan.

2.      Pertukaran harta dengan harta dengan dilandasi saling rela, atau pemindahan kepemilikan dengan penukaran dalam bentuk yang diizinkan.

3.      Akad  yang  tegak  atas  dasar  penukaran  harta  dengan  harta,  maka jadilah penukaran hak milik secara tepat.

Sayyid sabiq mendefinisikan jual beli adalah:

مبادلة مال بمال على  سبيل التراضى او نقل ملك بعوض على الوجه المأذون فيه
Artinya :
 Jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling  merelakan.  Atau,memindahkan  milik  dengan ganti atas cara yang di izikan padanya.

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti dari jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima  benda  dan  pihak  lain  yang  menerimanya  sesuai  dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara  dan disepakati.


B.     Dasar-dasar Hukum Jual Beli
Jual beli merupakan akad yang dibolehkan berdasarkan Alquran, sunnah  dan  ijma‟  para  ulama.  Dilihat  dari  aspek  hukum,  jual  beli hukumnya mubah kecuali jual beli yang dilarang oleh syara.

a)      Adapun dasar hukum dari Al-Quran ialah:

šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ  
275. Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

b)      Dasar hukum dari sunnah, ialah:

عن رفاعة ابن رافع ان النبي صلى الله عليه وسلم سـؤل اي الكسب اطيب ؟ قال عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِه وَكل بَيْعٍ مبْرُوْر  )رواه البزار(

Artinya:
Dari Rifaah ibnu Rafi‟ bahwa Nabi Muhammad saw ditanya usaha apakah yang paling baik? Nabi menjawab usaha sesorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (jujur) .(diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan dishahihkan oleh Al-Hakim).

c)      Dasar hukm dari Ijma, yaitu:
Para ulama telah sepakat mengenai kebolehan akad jual beli. Ijmaini memberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja. Sehingga dengan disyariatkannya jual beli tersebut merupakan salah satu cara untuk merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena padadasarnya, manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dan bantuan orang lain.

C.    Rukun dan Syarat-syarat Jual Beli

1.      Rukun Jual Beli
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara‟. Dalam menentukan rukun jual beli, terdapat perbedaan pendapat Ulama Hanafiah dengan Jumhur Ulama.
Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan kabul (ungkapan menjual dari penjual).  Menurut  mereka,  yang  menjadi  rukun  dalam  jual  beli  itu hanyalah kerelaan (ridha)kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli.
Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan kabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang (ta‟athi).46
Sementara menurut Malikiyah, rukun jual bali ada tiga, yaitu:
1.      Akid (penjual dan pembeli),
2.      Maqud „alaih (harga dan objek),
3.      Sighat (ijab qabul).47
Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:
1.      Ada orang yang berakad atau al-mutaaqidain (penjual dan pembeli).
2.      Ada shighat (lafal ijab dan kabul).
3.      Ada barang yang dibeli.
4.      Ada nilai tukar pengganti barang.

Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang yang dikemukakan Jumhur Ulama di atas sebagai berikut: 48
a)      Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat:
1.      Berakal dan mumayiz (dapat membedakan yang baik dan buruk). Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan orang gila, hukumnya tidak sah.
2.      Yang  melakukan  akad  itu  adalah  orang  yang  berbeda.  Artinya, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.

b)      Syarat-syarat yang terkait dalam Ijab qabul
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat Ijab dan Kabul adalah sebagai berikut:
1.      Satu sama lainnya berhubungan disatu tempat tanpa ada pemisah yang merusak.
2.      Ada kesepakatan ijab dengan qabul pada barang yang saling mereka rela berupa barang yang dijua dan harga barang.
3.      Ungkapan harus menunjukan masa lalu atau masa sekarang bukan yang masa akan datang.

c)      Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan (Maqud alaih)
Syarat-syarat      yang      terkait     dengan     barang      yang diperjualbelikan sebagai berikut:

1.      Suci  atau  mungkin  untuk  disucikan,  maka  tidak  sah  penjualan benda-benda najis seperti anjing, babi, dan yang lainnya. Menurut
riwayat lain dari Nabi dinyatakan kecuali anjing untuk  berburu” boleh dipeerjual belikan.
2.      Barang  itu  ada,  atau  tidak  ada  di  tempat,  tetapi  pihak  penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
3.      Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu, bangkai,  khamar,  dan  darah  tidak  sah  menjadi  objek  jual  beli, karena dalam pandangan syara benda-benda seperti ini tidak bermanfaat bagi muslim.
4.      Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh diperjualbelikan, seperti memperjualbelikan ikan di laut atau emas dalam tanah, karena ikan dan emas ini belum dimiliki penjual.
5.      Boleh  diserahkan  saat  akad  berlangsung  atau  pada  waktu  yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.
6.      Tidak  dibatasi  waktunya,  seperti  perkataan  saya  jual  motor  ini kepada Tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah, sebab jual beli adalah salah satu sebab pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan syara‟.

d)     Syarat-syarat nilai tukar (Harga Barang)
Para  ulama  fiqh  mengemukakan  syarat-syarat  al-tsaman
sebagai berikut:
1.      Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2.      Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian  (berutang) maka waktu pembayarannya harus jelas.
3.      Apabila  jual  beli  itu  dilakukan  dengan  saling  mempertukarkan barang (al-muqayadhah) maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara‟, seperti babi dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara‟.

D.    Macam-macam jual beli
Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek) jual beli terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
a)      Dengan lisan. Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akadyang dilakukan kebanyakan orang, bagi orang bisu dilakukan denganisyarat   karena   isyarat   merupakan   pembawaan alami dalam menampakkan kehendak. Hal yang dipandang dalam akad adalahkehendak dan pengertian bukan peryataan.
b)      Penyampaian  akad  jual  beli  melalui  utusan,  perantara,  tulisan atausurat-menyurat sama halnya dengan ijab kabul dengan ucapanmisalnya melalui via pos dan giro. Jual-beli ini dilakukan antarapenjual dan pembeli tidak berhadapan dalam satu majelis akad, tetapimelalui pos dan giro, jual beli ini diperbolehkan oleh syara‟.
c)      Jual  beli  dengan  perbuatan  (saling  memberikan)  atau  dikenal denganistilah muathah yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa  ijabkabul,  adanya  perbuatan  memberi  dan  menerima  dari para   pihak   yangtelah   saling   memahami   perbuatan   perikatan

tersebut dan segala akibat hukumnya seperti seseorang mengambil rokok yang sudah ada bandrol harganya dan kemudian diberikan kepada penjual uang pembayarannya.

Adapun mengenai bentuk-bentuk jual beli yang dilarang dalam Islam antara lain adalah hadis nabi yang diriwayatkan dari anas, yaitu:

عن انس رضي الله عنه قال :نهى رسول الله عليه وسلم عن المحاقلة و المخاضرة و الملامسة و المنابذة و المزابنة.
Artinya :
Dari Anas r.a berkata: Rasulullah saw, telah melarang jual beli muhaqalah, mukhadharah, mulamasah, munabadzah, dan muzabanah.

Penjelasan    jual    beli    dalam    hadist    tesebut    adalah, sebagai berikut:
a.       Jual beli Muhaqalah, yaitu jual beli tanaman, biji-bijian dengan borongan dan tidak diketahui jumlah (banyaknya).
b.      Jual beli Mukhadharah, yaitu jual beli kurma hijau yang belum kelihatan mutunya, atau biasa disebut dengan ijon.
c.       Jual beli Mulamasah (sentuhan),  yaitu penjual  atau pembeli menyentuh kain atau baju salah satunya, barang atau baju yang disentuh harus dibeli meski tanpa mengetahui kondisi aslinya.
d.      Jual beli Munabadzah, yaitu kedua belah pihak saling mencela barang yang ada pada pihak lain, hal tersebut dijadikan dasar dalam jual beli, meski tidak saling ridha.
e.       Jual  beli  Muzabanah,  yaitu  jual  beli  kurma  yang  masih  di pohonnya dengan kurma kering dengan takaran.


(Qardh)

A.    Pengertian Qardh
Qardh secara etimoloigi berasal dari kata قرض يقرض قرضاً yang artinya memutuskan atau meminjamkan. Al-Qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar. Adapun qardh  secara terminologi adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.
Sayyid Sabiq memberikan definisi sebagai berikut:
القرض هو المال الذي يعطيه المقرض للمقترض ليردّ مثله إليه عند قدرته عليه

Artinya:
“Qardh adalah harta yang diberikan oleh pember hutang (muqridh) kepada penerima hutang (muqtaridh) untukkemudian dikembalikan kepadanya seperti yang diterimanya, ketika iya mampu membayarnya.”


B.     Landasan Hukum Al-Qaradh
Dasar disyariatkannya Qaradh (hutang piutang) adalah Al-Qur’an, Hadis, dan Ijma’;
1.      Dasar dari Al-Qur’an adalah firman Allah swt:
`¨B #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟ÒãŠsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouŽÏWŸ2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)tƒ äÝ+Áö6tƒur ÏmøŠs9Î)ur šcqãèy_öè? ÇËÍÎÈ     
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al Baqarah : 245).

2.      Dasar dari As-Sunnah:

عن ابن مسعود ان النبي صلى الله عليه و سلم قال: ما من مسلم يقرض مسلماُ مرتين إلا كان كصدقة مرةً )رواه ابن ماجه و ابن حبان(
Artinya:
Dari ibnu mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, Tidak ada seorang muslim yang memberikan pinjaman kepada seorang muslim dua klai pinjaman kecuali adalah seperti sedekah sekali. (H.R. Ibn Majah dan Ibn Hibban)

3.      Ijma’:
Kaum muslimin sepakat bahwa qaradh dibolehkan dalam Islam. Hukum Qaradh dianjurkan (mandub) bagi Muqridh dan mubah bagi muqtaridh, berdasarkan hadis diatas.

C.    Rukun dan syarat  Al-Qardh
Rukun Qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu: (1) Shighat, (2) ‘Aaqidan (dua pihak yang melakukan transaksi), dan (3) Harta yang dihutangkan. Adapun penjelasan rukun-rukun tersebut beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.

1.      Shighat
Yang dimaksud Shighat adalah Ijab dan Qabul. Tidak ada perbedaan dikalangan Fuqaha’ bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang menunjukan maknanya, seperti kata, “aku memberimu hutang” atau “aku memberimu hutang”. Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukan kerelaan, sepeeti “aku berhutang” atau “aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.
2.      ‘Aaqidan
Yang dimaksud dengan ‘Aaqidan (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.
a.       Syarat-syarat pemberi hutang
Fuqaha’ sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang ialah termasuk ahli tabarru’ (orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, balig, berakal sehat, dan pandai ( rasyid,dapat membedakan yang baik dan yang buruk).
b.      Syarat bagi penghutang
1)      Syafi’iyah mensyaratkan penghutang termasuk kategore orang yang mempunyai ahliyah al-mua’malah (kelayakan meakukan transaksi) bukan ahlyah at-tabrru (kelayakakan memberi derma).
2)      Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena hutang tudak ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya, tidak sah memberi hutang kepada masjid, sekolah, atau ribath ( berjaga diperbatasan musuh) karena semua ini tidak memiliki potensi untuk menanggung.
3.      Harta yang dihutang
Rukun yang ketiga ini memilki beberapa syarat berikut.
a.       Harta yang dihutangkan harus berupa harta ynag ada padanannya, maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang mengakbatkan perbedaan nilai, seperti uang, barang barang yang dapat ditakar, ditimbang, ditahan, dan dihitung.
b.      Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah menghutangkan manfaat (jasa) ini pendapat dikalangan mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah. berbeda dikalangan syafi’iyyah dan malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan harta yang dihutangkan berupa benda sehingga boleh saja menghutangkan manfaat (jasa) yang dapat dijelaskan dengan sifat.
c.       Harta yang dihutangkan harus diketahui, baik kadar maupun sifatnya. Syarat ini tidak dipertentangkan oleh Fuqaha’ karena demikian penghutang dapat membayar hutangnya dengan harta semisal (yang sama).

D.    Waktu dan tempat pengembalian Al-Qardh
1.      Waktu pengembalian Qardh
Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta pengganti adalah kapan saja terserah kehendak sipemberi pinjaman, setelah peminjam menerima pinjamannya. Karena qardh merupakan akad yang tidak mengenal batas waktu. Sedanngkan menurut malikiyah, waktu pengembalian itu adalah ketika sampai pada batas waktu pembayaran yang sudah ditentukan dari awal, karena mereka berpendapat bahwa qardh bisa dibatasi.
2.      Tempat pengembalian Al-Qardh
Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian barang pinjaman hendaknya ditempat dimana akad qaradh itu dilaksanakan. Dan boleh juga ditempat mana saja. Apabila tidak membutuhkan biaya kenderaan, bekal dan terdapat jaminan keselamatan. Apabila semua itu diperlukan, maka bukan sebuah keharusan bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya.


(RIBA)

Pengertian  Riba:
            Riba menurut pengertian bahasa berarti Az Ziadah (tambahan). Yang dimaksudkan di sini ialah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit ataupun banyak.
Dalam kaitan ini Allah berfirman:
bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ  
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”(Q.S.: 2ayat 279)

Hukumnya
            Riba diharamkan oleh seluruh agama samawi, dianggap membahayakan oleh agama Yahudi, Nasrani dan Islam.
Al Qur’an menyinggung masalah riba di berbagai tempat, tersusun secara kronologis berdasarkan urutan waktu.
·         Pada periode Makkah turun firman Allah yang berbunyi:
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃̍è? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ 
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa Zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah , maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan pahalanya”. (Q.S.:30 ayat 39)
·         Dan pada periode Madinah, turun ayat yang mengharamkan riba secara jelas-jelasan , yaitu firman Allah:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu dikasihi”. (Q.S.:3 ayat 130)
            Riba termasuk kabair (dosa besar).
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari abu Hurairah, bahwa Nabi saw., bersabda:
اجتنبوا السبع الموبقات,قالوا: وما هن يا رسول الله؟ الشرك بالله,و السحر, و قتل النفس التي حرّم الله الا بالحق, أكل الربا, أكل مال اليتيم, و التولّي يوم الزحف, وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات.
Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan”. Orang-orang bertanya:”Apakah gerangannya wahai Rasul saw?” Beliau menjawab:”Syirik kepada Allah, Sihir, membunuh jiwa orang diharamkan Allah kecuali dengan baik, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri waktu datang serangan musuh dan menuduh wanita mu’min yang suci tetapi lalai”.
            Allah melaknat semua pihak yang turut serta dalam akad riba; Dia melaknat orang yang hutang yang mengambilnya, dan orang yang menghutangkannya, penulis yang mencatatnya dan saksi-saksinya. Seperti diriwayatkan oleh Al Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud dan At Tirmizi yang menshahihkannya dari jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah saw, bersabda:
لعن الله آكل الّربا و مؤكّله و شاهدَيه و كاتبه
Artinya :
Allah melaknat pemakan riba, yang memberi makannya, saksi-saksinya dan penulisnya.”

Hikmah Pengharaman Riba
            Riba diharamkan oleh semua agama samawi. Adapun sebab diharamkannya karena berbahaya besar:
1.      Ia dapat menimbulkan pemusuhan antara pribadi dan mengkikis habis semangat kerjasama/saling menolong sesama manusia. Padahal semua agama terutama Islam amat menyeru kepada saling tolong-menolong, pengutamaan dan membenci orang yang mengutamakan kepentingan sendiri dan ego, serta orang yang mengeksploitir kerja keras orang lain.
2.      Menimbulkan tumbuhnya mental kelas pemboros yang tidak bekerja, juga dapat menimbulkan adanya penimbunan harta tanpa kerja keras sehingga tak ubahnya dengan pohon benalu (parasit) yang tumbuh di atas jerih orang lain. Sebagaimana diketahui, Islam menghargai kerja dan menghormati orang yang suka bekerja yang menjadikan kerja sebagai sarana mata pencaharian, karena kerja dapat menuntun orang kepada kemahiran dan mengangkat semangat mental pribadi.
3.      Riba sebagai salah satu cara menjajah. Karena itu orang berkata: Penjajahan berjalan di belakang pedagang dan pendeta. Dan kita telah mengenal riba dengan segala dampak negatifnya di dalam menjajah harta.
4.      Setelah semua ini, Islam menyeru agar manusia suka mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya itu membutuhkan harta.
Macam-macam Riba
Riba ada dua macam:
a)      Riba Nasi’ah
            Yaitu pertambahan bersyarat yang diperoleh orang yang menghutangkan dari orang yang berhutang lantaran penangguhan. Jenis ini, diharamkan. Dengan berlandaskan kepada Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ para Imam.
b)      Riba Fadhal
            Yaitu jenis jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan barang pangan dengan tambahan. Janis riba ini diharamkan karena penyebab/pembawa kepada riba nasi’ah.

            Hadist menyebut pengharaman untuk enam jenis barang dalam kaitannya dengan riba; yaitu: Emas, Perak, Gandum, Jewawut, Kurma dan Garam.
Dari Abu Sa’id, berkata:Rasulullah saw bersabda:

الذهب بالذهب و الفضة بالفضة و البر بالبر و الملح بالملح مثلاً بمثل يداً بيدٍ, فمن زاد و استزاد فقد اربى الآخذ و المعطى سوآٴ
Artinya :
Emas dengan Emas, Perak dengan Perak, Gandum dengan Gandum dan Garam dengan Garam sama-sama dari tangan ke tangan, maka barangsiapa menambahkan atau minta tambahkan maka sungguh dia melakukan riba, orang yang mengambil dan memberi itu sama.” (Riwayat Al-Bukhari dan Ahmad)

Illat Pengharamannya
            Enam jenis batang ini secara khusus disebut oleh Hadist karena tergolong kebutuhan pokok yang dibutuhkan manusia, tidak bisa tidak. Emas dan Perak, merupakan bahan pokok uang untuk mendisiplin standar muamalah dan pertukaran, keduanya sebagai standar harga dalam menentukan harga barang.
Adapun yang lainnya yang empat; itu sebagai semua bahan pangan terpokok yang menjadi uang kehidupan (penunjang kehidupan). Jika terjadi riba pada jenis barang-barang ini menimbulkan kepatalan dan kericuhan dalam mu’amalah manusia. Karena itulah syari’at mencegahnya sebagai rahmat kepada manusia dan untuk melindungi kemaslahatan mereka.
            Nampak di sini, bahwa illat pengharaman emas dan perak karena melihat kedudukannya sebagai harga. Sedang untuk jenis-jenis lainnya karena sebagai barang pangan.
Jika pendapat illat yang sama pada uang lain, selain emas dan perak, maka kedudukan hukumnya sama. Ia tidak boleh dijual kecuali dengan satu lawan satu, dari tangan ke tangan.
            Demikian pula jika terdapat illat ini pada jenis makanan lain selain garam, kurma, dan garam, maka tidak boleh dijual kecuali satu lawan satu, dari tangan ke tangan.
Imam Muslim meriwayatkan dari Mu’ammar Abdullah dari Nabi saw; Bahwasanya ia mencegah menjual barang pangan kecuali satu sama satu (sama-sama). Semua jenis barang yang kedudukannya sama dengan jenis yang enam ini dikiaskan kepadanya dan hukumnya sama.
            Jika pertukaran sesuai(dengan barang tersebuit di atas, rel) dalam jenis dan illat, maka diharamkan tafadhul (melebihkan) dan diharamkan pula menasi’ahlan (menunda pembayaran).

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Jual beli dalam istilah ahli fiqih disebut dengan al-ba‟i yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Sayyid sabiq mendefinisikan jual beli adalah:

مبادلة مال بمال سبيل التراضى او نقل ملك بعوض على الوجه المأذون فيه
Artinya :
 Jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling  merelakan.  Atau,memindahkan  milik  dengan ganti atas cara yang di izikan padanya.


Qardh secara etimoloigi berasal dari kata قرض يقرض قرضاً yang artinya memutuskan atau meminjamkan. Al-Qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar. Adapun qardh  secara terminologi adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.
Riba menurut pengertian bahasa berarti Az Ziadah (tambahan). Yang dimaksudkan di sini ialah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit ataupun banyak.


B.     Saran
Jikalau dalam penulisan makalah kami ini ada kesalahan, baik yang disengaja atau tidak, kami mohon ampun dan sudi kiranya untuk membenarkan yang salah dalam  makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (terj), Alih Bahasa Kamaluddin A. Marzuki, Jilid. XII, Bandung: Al-Maarif

Sayyid Sabiq, Ringkasan Fikih Sunnah, Depok: Senja Media Utama, 2017

Saifulloh Al Aziz, Fikih Islam Lengkap, Surabaya: Terbit Terang

Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid, Jilid V, Darul al-Kutub al-„Alamiyah,  Beirut, t.th

Abdul  Aziz  Muhammad Azzam, Fiqh  Muamalat (Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam), Jakarta: Hamzah, 2010




[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (terj), Alih Bahasa Kamaluddin A. Marzuki, Jilid. XII, (Bandung: Al-Maarif), hlm. 47.

Komentar