Langsung ke konten utama

Makalah Fikih Muamalah “’ARIYAH’


 MAKALAH FIQIH MUAMALAH
“’ARIYAH’

NAMA
Ø  Ella Anggraini
Ø  Khairunnisa Khairani

KATA PENGANTAR

     Alhamdulillahhirobbil’alamin berkat rahmatnya dan karunianya yang tak terhingga dilimpahkannya kepada kita semua sehingga karena itu juga kami dapat menyelesaikan tugas makala untuk mata kuliah Fiqih Muamalah “’ARIYAH”. Tak lupa sholawat serta salam semoga Allah SWT senantisa melimpahkannya dan mencurahkannya pada baginda nabi muhammad SAW, beserta keluargnya, para sahabatnya, dan kita semua selaku umatnya semoga mendapatkan syafaat diyaumul akhir nanti.
    Kami menyadari dan meminta maaf dalam maklah yang kami susun dengan sedemikian rupa belum sempurna seperti yang ada didalam benak dan harapan anda semua karena “Tak Ada Gading Yang Tak Retak” kami hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Kami berharap makala ini bisa bermanfaat bagi kita semua baik kami selaku penyusun maupun pembaca.


                                                                                       Penyusun

                                                                                    Tanjung Pura, 28 Desember 2015




BAB I
PENDAHULUAN
      A. Latar Belakang
Harta adalah komponen pokok dalam kehidupan manusia, yamng mana harta merupakan unsur dharuri yang memang tidak bisa ditinggalkan dengan begitu saja. Dengan harta manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan sekunder ataupun primer dalam hidupnya. Dalam rantai untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, terjadilah suatu hubungan yang horizontal antar manusia yakni Muamalah, karena pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna, dan saling membutuhkan, karena menusia juga memiliki hasrat untuk mencukupi kebutuhan, yang tidak ada habisnya, kecuali dengan tumbuhnya rasa syukur dan ikhlas yang luar biasa kepada Tuhan, secara pasti hal ini pula perlu mengenalkan adanya Tuhan yang memberi nikmat dan rizki kepada manusia sehingga dapat merasakan kebahagiaan dalam dirinya.
Manusia merupakan makhluk social yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, dengan dibutuhkannya orang lain untuk mencukupinya maka dalam dunia bisnis Islam biasa dikenal dengan kegiatan Muamalah, salah satunya yakni yang membahas tentang harta dalam konteksnya harta hadir sebagai obyek transaksi , sehingga harta pun dapat dijadikan sebagai obyek transaksi jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam (ariyah),dan sebagainya. Jika diihat pula dalam katakteristik dasarnya harta juga dijadikan sebagai obyek kepemilikan, kecuali terdapat factor yang menghalanginya. 
     B.      LATAR BELAKANG
a.      Apa yang dimaksud dengan Ariyah?
b.      Apa Landasan Hukum Ariyah?
c.       Apasaja Rukun dan Syarat Ariyah?
d.      Bagaimana Hukum Ketetapan Ariyah?
e.      Ihwal Ariyah, Tanggungan atau Amanat?
f.       Apa Saja Yang Bisa Menggugurkan Ariyah?

BAB II
PEMBAHASAN 
     A.   Definisi Ariyah
Ariyah menurut bahasa, yang berasal dari bahasa Arab  (الْعَارِيَةُ ) diambil dari kata (عار) yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat ariyah berasal dari kata (التعاور) yang artinya sama dengan (التناول او التناوب) artinya saling tukar menukar,yakni dalam tradisi pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah yang memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar zatnyatetap bisa dikembalikan kepada pemiliknya, sedangkan dalam definisi oleh para Ulama’ sebagai berikut :
a.      Menurut Syarkhasy dan ulama Malikiyah
            “pemilikan atas manfaat suatu benda tanpa pengganti”
b.      Menurut ulama syafi’iyah dan Hanbaliah
            “pembolehan untuk mengambil manfaat tanpa mengganti”
   Perbedaan pengertian tersebut menimbulkan  adanya perbedaan dalam akibat hukum selanjutnya,pendapat pertama memberikan makna kepemilikan kepada peminjam,sehingga membolehkan untuk meminjamkan lagi terhadap orang lain atau pihak ketiga tanpa melalui pemilik benda,sedangkan pengertian yang kedua menunjukkan arti kebolehan dalam mengambil manfaat saja,sehingga peminjam dilarang meminjamkan terhadap orang lain.
Akad dalam ariyah berbeda dengan hibah, karena dalam Ariyah hanya untuk diambil manfaatnya tanpa mengambil zatnya. Tetapi dalam Hibah dapat diambil keduanya, baik dari zat dan juga manfaatnya.
Dalam undang-undang Perdata dikatakan hak kebendaan (zekelijkrect) adalah hak mutlak atas suatu benda tersebut, yang mana hak tersebut memberikan kekuasaan langsung pada pemiliknya
Dalam ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 dijumpai ketentuan yang berbunyi sebagai berikut : “ pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
    B.      Landasan Hukum Syara’
Dalam kegiatan Pinjam-meminjam atau ariyah dianjurkan atau boleh (mandub). Dalam praktik  Ariyah pun mendapatkan pengakuan dari syariah.
Al Qur’an
Dasar hukum ariyah adalah anjuran agama supaya manusia hidup tolong-menolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan. Pada surat al-maidah ayat kedua allah berfirman :
Yang Artinya :
“ Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
Dalam surat al-Nisa’ ayat 58 Allah berfirman :
Yang Artinya:
“sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menunaikan amanah kepada yang berhak menerimannya.”
Bila Seseorang tidak mengembalikan waktu peminjamannya atau menunda waktu pengembaliannya, berarti ia berbuat khianat. Serta berbuat maksiat kepada pihak yang sudah menolongnya. Perbuatan seperti ini jelas bukan merupakan suatu tindakan terpuji, sebab selain ia tidak berterima kasih kepada orang yang menolongnya, pihak peminjam itu sudah menzalimi pihak yang sudah membantunya. Ini berarti bahwa ia telah melanggar amanah dan melakukan suatu yang dilarang agama.
Sebab perbuatan yang seperti itu, bertentangan dengan ajaran Allah yang mewajibkan seseorang yang menunaikan amanah seta dilarang berbuat khianat.
       Al-Hadits
Keterangan hadits Rasulullah SAW mengenai pinjam meminjam antara lain :
عَن اَبِي مَسعُودٍ اَنَ النَّبِي ص ل : قَالَ مَامِن مُسلِمٍ يُقْرِضُ مُسلِمًا قَرضًا مَرَّتَينِ اِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَامَرَّةً
Artinya :
” dari sahabat ibnu mas’ud bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: tidak ada seorang muslim yang meminjami muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya seperti shodaqoh.”
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
اَلْعَارِيَةُ مُؤَدَّاةٌ وَالزَّعِيمُ غَارِمٌ وَالدَّينُ مَقضِيٌ
Artinya: “Pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar dan hutang itu wajib dibayar.”
            Dalam hadist Rasulullah:
Dari Sofwan bin Ummayah berkata, sesungguhnya Nabi SAW. Telah meminjam beberapa baju perang pada Sofwan pada waktu perang di Hunain. Sofwan bertanya kepada Rasulullah, Sofwan bertanya, “paksaankah ya Muhammad?”, jawab Rasulullah, “ bukan tapi pinjaman yang dijamin”. Kemudian baju itu hilang sebagian , maka Rasulullah mengemukakan akan digantinya, Sofwan berkata, “saya sekarang telah mendapat kepuasan dalam Islam”. (HR. Ahmad dan An Nasai)
C.   Rukun Dan Syarat Ariyah
1.        Rukun Ariyah
Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah. Menurut Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz shigot akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
Secara umum, jumhur ulama’ fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu : mu’ir (peminjam), musta’ir(yang meminjamkan), mu’ar(yang dipinjamkan), sighot, yakni sesuatu yang menunjukan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
2.        Syarat ariyah
Ulama Fuqoha mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:
a.    Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama’ lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh dan juga bangkrut.
b.    Pemegang barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, digunakan sesuai manfaatnya, tetapi tidak dimiliki zatnya, hukumnya pun dalam syara’ seperti halnya dalam hibah.
c.    Barang (musta’ar) dapat dimanfaatlan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan akad tidak sah.
                 Para Ulama telah menetapkan ariyah diperbolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjam sebidang lahan tanah, pakaian, hewan ternak. Dalam musta’ar tidak diperbolehkan meminjamkan barang yang satu kali guna atau mudah habis zatnya, misalnya makanan.
                 Diharamkan meminjam senjata dan kuda kepada musuh, juga diharamkan meminjamkan  Al Qur’an dan yang berkaitan dengan Al Qur’an kepada orang kafir. Serta dilarang pula untuk meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang ihram.
·         Shighat
Menyangkut lafal, hendaklah ada pernyataan tentang pinjam meminjam tersebut. Namun demikan, sebagian ahli berpendapat bahwa perjanjian pinjam meminjam tersebut sah walaupun tidak dengan lafal. Tetapi untuk kekuatan dan kejelasan akad haruslah menggunakan lafal yang jelas dalm pinjam meminjam.

C.      Ketetapan Hukum Akad Ariyah
a.      Dasar Hukum Ariyah
Dari suatu kebiasaan, ariyah dapat diartikan dalam dua macam:
1.      Secara Hakikat
Pinjam-meminjam atau Ariyah adalah suatu kegiatan muamalah yang mengambil manfaat dari suatu barang tanpa memiliki zatnya. Menurut ulama’ Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau peminjaman memiliki sesuatu yang semaksa dengan manfaat menurut kebiasaan.
Sedangkan Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ariyah adalah suatu kebolehan untuk mengambil manfaat dari benda.  Dari penjelasan kedua berbeda maksud dan tujuan dari keduanya. Utnuk pendapat yang pertama, dalam ariyah boleh hukumnya memaksimalkan manfaat dari musta’ar (barang yang dipinjam, dan juga dapat dipinjamkan kepada orang lain, akan tetapi untuk pendapat yang kedua hanya dapat menggunakan manfaat dari musta’ar tanpa dipinjamkan kepada orang lain.
Dalam Dalam hadist Rasulullah:
Dari Sofwan bin Ummayah berkata, sesungguhnya Nabi SAW. Telah meminjam beberapa baju perang pada Sofwan pada waktu perang di Hunain. Sofwan bertanya kepada Rasulullah, Sofwan bertanya, “paksaankah ya Muhammad?”, jawab Rasulullah, “ bukan tapi pinjaman yang dijamin”. Kemudian baju itu hilang sebagian , maka Rasulullah mengemukakan akan digantinya, Sofwan berkata, “saya sekarang telah mendapat kepuasan dalam Islam”. (HR. Ahmad dan An Nasai)
Yang arti penjelasan dari hadist ini adanya unsur kerelaan antara Mustair dan Muir atas musta’ar, sehingga ada keridhaan jika barang yang di pinjam mengalami suatu kecacatan.
Dari golongan pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak memiliki hak kepemilikan sebagaimana dengan gadai barang. Menurut golongan kedua, peminjam hanya berhak memanfaatkannya saja, dan tidak bisa untuk memiliki bendanya. Adapun menurut golongan pertama gadai adalah akad yang lazim atau resmi akan tetapi ariyah adalah akad tabarru’ ( tolong menolong).

2.      Secara Majazi
Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam antara benda-benda yang takaran, timbangan, hitungan dan lain-lain. Misalnya telur, uang, dan segala sesuatu yang bisa dihitung. Dalam hal tersebut dalam pengembaliannnya harus serupa dan senilai dengan benda yang dipinjam. Dengan demikian dapat disebut dengan ariyah secara majazi , sebab tidak dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya.

b.      Hak Menggunakan Barang Pinjaman (Musta’ar)
Jumhur  Ulama’ selain Hanafiyah berpendapat, bahwa musta’ar dapat mengambil manfaat barang sesuai dengan izin dari pemberi pinjaman (muir).  Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah muir meminjamkan secara terikat atau secara mutlak.
1.      Ariyah Mutlak
Yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan untuk orang lain, atau tidak dijelaskan penggunaannya.

2.      Ariyah Muqayyad
Adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya, mustair harus sebisa mungkin untuk menjaga batasan tersebut.batasan tersebut melingkupi,
a). batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam
b). pembatasan waktu dan tempat
c). pembatasan ukuran berat dan jenis


D.     Ihwal Ariyah, Tanggungan, dan Amanat
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa barang pinjaman iu merupakam amanat bagi peminjam, baik dipakai maupun tidak. Dengan demikian, dia tidak menaggung barang tersebut jika terjadi kerusakan, seperti itu juga dalam sewa menyewa atau barang titipan, kecuali kerusakan tersebut akibat disengaja atau kelalaian. Hal ini karena tanggunagn tidak dibebankan kepada mereka yang bukan pelaku. Selain itu peminjapun dikategorikan sebagai orang yangmenjaga milik orang.
Dalam kalangan Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa peminjam harus menanggung barang yang tidak ada adanya, yakni yang dapat disembunyikan, seperti baju. Muir tidak perlu menanggung sesuatu yang tidak dapat disembunyikan seperti hewan atau barang yang jelasdalam hal kerusakannya.
Sedangkan dari para kalangan Syafi’iyah, peminjam menaggung  harga barang bila terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai izin yang diberikan pemilik walaupun tanpa disengaja. Yhadist tersebut sesuai hadist tentang sofwan yang telah dibahas sebelumnya. Adapun barang tersebut digunakan sesuai dengan izin pemilik, peminjam tidak menanggungnya  ketika terjadi kerusakan.
Sedangkan ulama hanabilahberpendapat bahwa peminjam menanggung kerusakan barang pinjamannya secara mutlak, baik sengaja maupun tidak. Golongan ini mendasarkan pendapat mereka pada hadis  dari Shafwan bin umayyah.
Ulama hanabilah pun mendasarkan pendapat dengan Hadist Rasulullah SAW:

Tangan (yang mengambil) adalah bertanggung jawab atas apa yang diambilnya sehingga dipenuhi.” ( HR Ahmad )

            Barang pinjaman adalah harta orang lain yang diambil manfaatnya. Ulama hambaliyah menyatakan, jika barang-barang dipinjam adalah benda-benda wakaf, seperti kitab-kitab ilmiah, dan suatu saat rusak, maka yang meminjamnya tidak menanggung kerusakannya dikarenakan barang tersebut untuk maslahat.

Ariyah dapat dikatakan berubah dari Amanah ke tanggungan, yang menurut ulama Hanafiyah, penyebab perubahan ariyah dari amanah ketanggungan karena diantara keduannya ada beberapa persamaan, seperti penyebab perubahan tersebut pada penitipan barang yaitu dengan sebab-sebab:

a.      Menghilangkan barang
b.      Tidak menjaganya ketika menggunakan barang
c.       Menggunakan barang pinjaman tidak sesuai dengan persyaratan
d.      Menyalahi tata cara penjagaan yang seharusnya
Sedangkan untuk biaya  pengembalian barang pinjaman itu ditanggung oleh peminjam, sebab pengembaliannya barang merupakan kewajiban peminjam yang telah mengambil manfaatnya.

E.      Gugurnya Ariyah
Gugurnya atau hilangnya akad ariyah ada beberapa hal, yakni:
a.      Meninggal dunia di salah satu pihak, atau keduanya.
Jika salah satu dari mustair atau muir yang meninggal dunia maka putus sudah, atau hilang sudah aakad ariyahnyam secara pasti pihak pemilik ataupun peminjam dapat segera mengembalikan.
b.      Gila dari salah satu pihak
Dalam syariat Islam orang fila tidak dapat dihukumi apapun, karena gila pun data dikatakan kehilangan akal sadarnya. Sehingga dalam berakad pun tidak dapat diterima.
c.       Adanya permasalahan dalam pengembalian
Terkadang dalam pengembalian barang pinjaman sering terjadinya cacat, atauwaktu pengembalian yang melebihi batas waktu yang ditentukan. Sehingga sering sekali timbul suatu sengketa dari pihak mustair dan muir, jika hal tersebut terjadi maka yang di tangguhkan adalah sumpah dari kedua pihak.






BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
 Ariyah menurut bahasa, yang berasal dari bahasa Arab  (الْعَارِيَةُ ) diambil dari kata (عار) yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat ariyah berasal dari kata (التعاور) yang artinya sama dengan (التناول او التناوب) artinya saling tukar menukar,yakni dalam tradisi pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah yang memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar zatnyatetap bisa dikembalikan kepada pemiliknya, sedangkan dalam definisi oleh para Ulama’ sebagai berikut :
Menurut Syarkhasy dan ulama Malikiyah
            “pemilikan atas manfaat suatu benda tanpa pengganti”
Menurut ulama syafi’iyah dan Hanbaliah
            “pembolehan untuk mengambil manfaat tanpa mengganti”
Dasar hukum ariyah adalah anjuran agama supaya manusia hidup tolong-menolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan. Pada surat al-maidah ayat kedua allah berfirman :
Yang Artinya :
“ Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.






DAFTAR PUSTAKA

    Rashd.Sulaiman,(1994), Fiqh Islam,Bandung:Sinar Baru Algesindo

    Rahman. Afzalur,(1996),Dok.Ekonomi Islam:Yogyakarta:Dhana Bakti

SoedewiMasychoenSofwan.Sri,(1924),HukumPerdata:Hukum Kebendaan,Yogyakarta:Liberty Yogya

     Haroen. Nasrun, (2000), Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama

     Syafei.Rahmat,(2001),Fiqih Muamalah, Bandung:Pustaka Setia

      Djuwaini. Dimyauddin (2008), Pengantar Fiqh Muamalah, bandung: Pustaka setia










Komentar