Filsafat
Modern, Renaissance, Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme
DISUSUN
OLEH:
NORHALIMAH 170101040955
M. RASYID HIDAYAT 170101040233
ANGGER NURHIDAYATULLAH 170101040994
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Dengan mengucapkan puji dan syukur atas
kehadirat Allah SWT, dan Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad ﷺ sampai akhir hayat. Dalam kesempatan ini akhirnya penyusun
dapat menyelesaikan tugas makalah Pengantar Filsafat yang berjudul “Renaissance,Rasionalisme, Empirisme dan kritisisme”.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangannya, hal ini
dikarenakan keterbatasan waktu, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
penyusun, oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan adanya saran atau kritik
yang sifatnya membangun untuk perbaikan dimasa yang akan datang dan sebagai
motivasi bagi kami untuk lebih baik kedepannya.
Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan tugas ini terutama
kepada dosen pengampu mata kuliah.
Semoga Allah SWT, membalas amal kebaikannya. Jazaakumullah khairon . Aamiin.
Dengan segala pengharapan dan doa semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Barakallahu fiikum,
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Banjarmasin, Maret 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
1.1. Latar belakang........................................................................................
1.2. Rumusan masalah...................................................................................
1.3. Tujuan penulisan.....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................
2.1. Latar Belakang Munculnya Filsafat Modern.........................................
2.2. Macam-macam
Aliran Pemikiran Filsafat Modern dan Tokohnya.........
a.Renaissance..........................................................................................
b.Rasionalisme.........................................................................................
c.Empirisme.............................................................................................
d.Kritisisme ............................................................................................
2.3. Keruntuhan Filsafat Modern..................................................................
BAB III PENUTUP.......................................................................................................
3.1. Simpulan.................................................................................................
3.2. Saran.......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Ditinjau
dari sudut sejarah, filsafat Barat memiliki empat periodisasi.
Periodisasi ini didasarkan atas corak pemikiran yang dominan pada waktu itu. Pertama,
adalah zaman Yunani Kuno, ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah
ditujukannya perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai
ikhtiar guna menemukan asal mula (arche) yang merupakan unsur awal terjadinya
gejala-gejala. Kedua, adalah zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran
filsafat pada zaman ini di sebut teosentris. Ketiga, adalah zaman Abad
Modern, para filosof zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis
filsafat, maka corak filsafat zaman ini lazim disebut antroposentris. Filsafat
Barat modern dengan demikian memiliki corak yang berbeda dengan filsafat Abad
Pertengahan. Keempat, adalah Abad
Kontemporer dengan ciri pokok pemikiran logosentris, artinya teks menjadi tema
sentral diskursus filsafat.
Zaman filsafat modern telah dimulai. Secara historis, zaman modern dimulai
sejak adanya krisis zaman pertengahan selama dua abad (abad ke-14 dan ke-15),
yang ditandai dengan munculnya gerakan Renaissance. Renaissance berarti
kelahiran kembali, yang mengacu kepada gerakan keagamaan dan kemasyarakatan
yang bermula di Italia (pertengahan abad ke-14). Tujuan utamanya adalah
merealisasikan kesempurnaan pandangan hidup Kristiani dengan mengaitkan
filsafat Yunani dengan ajaran agama Kristen. Selain itu, juga dimaksudkan untuk
mempersatukan kembali gereja yang terpecah-pecah..
Renaissance akan banyak memberikan segala aspek realitas. Perhatian yang
sungguh-sungguh atas segala hal yang konkret dalam lingkup alam semesta,
manusia, kehidupan masyarakat, dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat upaya
manusia untuk memberi tempat kepada akal yang mandiri. Akal diberi kepercayaan
yang lebih besar karena adanya suatu keyakinan bahwa akal pasti dapat
menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan juga pemecahannya. Hal ini
dibuktikan adanya perang terbuka terhadap kepercayaan yang dogmatis dan
terhadap orang-orang yang enggan menggunakan akalnya.
Asumsi yang digunakan,
semakin besar kekuasaan akal akan dapat diharapkan lahir “dunia baru” yang
penghuninya (manusia-manusianya) dapat merasa puas atas dasar kepemimpinan akal
yang sehat.
Aliran yang menjadi pendahuluan ajaran filsafat modern ini didasarkan pada
suatu kesadaran atas yang individual dan yang konkret.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana
awal perkembangan masa filsafat modern ?
2. Bagaimana
definisi/ karakteristik filsafat modern dan pemikirannya ?
3. Siapa
saja para tokoh filosof modern dan pemikirannya ?
4. Apa penyebab keruntuhan
filsafat modern ?
1.3
Tujuan penulisan
Dalam
makalah ini ada dua tujuan, yaitu :
- Tujuan khususnya
adalah Sebagai salah satu syarat mengikuti mata kuliah Pengantar Filsafat
yang diampu oleh Bapa Fajrul Ilmi, S.Pd.I, M,Sy
2.
Tujuan umumnya adalah
untuk memberikan penjelasan terhadap pembaca mengenai masa filsafat modern.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1
Latar Belakang Munculnya Filsafat Modern
Filsafat zaman modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang
disebut dengan “Renaissance” dan dimatangkan oleh “gerakan” Aufklaerung di abad
ke-18 itu, didalamnya mengandung dua hal yang sangat penting. Pertama,
semakin berkurangnya kekuasaan Gereja, kedua, semakin bertambahnya
kekuasaan ilmu pengetahuan. Pengaruh dari gerakan Renaissance dan Aufklaerung
itu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan zaman modern berkembang dengan
pesat dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma Gereja. Terbebasnya
manusia barat dari otoritas Gereja dampak semakin dipercepatnya perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan. Sebab pada zaman Renaissance dan Aufklaerung
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan tidak lagi didasarkan pada otoritas
dogma-dogma Gereja, melainkan didasarkan atas kesesuaiannya dengan akal. Sejak
itu kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan
kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya dapat dibuktikan
berdasarkan metode, perkiraan, dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang
dihasilkan tidak bersifat tetap, tetapi dapat berubah dan dikoreksi sepanjang
waktu. Kebenaran merupakan “ a never ending process”, bukan sesuatu
yang berhenti, selesai dalam kebekuan normatif atau dogmatis.
Pada umumnya, para sejarawan sepakat bahwa zaman modern lahir sekitar tahun
1500-an di Eropa. Peralihan zaman ini ditandai dengan semangat anti Abad
Pertengahan yang cenderung mengekang kebebasan berpikir. Sesuai dengan istilah
“modern” yang memiliki arti baru, sekarang, atau saat ini, filsafat modern
merupakan sebuah pemikiran yang menganalis tentang kekinian, sekarang,
subjektivitas, kritik, hal yang baru, kemajuan, dan apa yang harus dilakukan
pada saat ini. Semangat kekinian ini tumbuh sebagai perlawanan terhadap cara
berpikir tradisional Abad Pertengahan yang dianggap sudah tidak relevan.
Filsafat Abad Modern memiliki corak yang berbeda dengan periode filsafat
Abad Pertengahan. Perbedaan itu terletak terutama pada otoritas kekuasaan politik
dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak
dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman modern otoritas
kekuasaan itu terletak kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman
modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada
pada dirinya sendiri.
2.2
Macam-macam
Aliran Pemikiran dalam Filsafat Modern dan Tokoh-tokoh
A.
RENAISSANCE
Istilah Renaissance berasal dari bahasa Perancis.
Dalam bahasa Latin berarti “re + nasci” berarti lahir kembali (rebirth).
Istilah ini biasanya digunakan oleh sejarawan untuk menunjuk berbagai periode
kebangkitan intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa.Dan lebih khusus lagi
di Italia, sepanjang abad ke-15 dan ke-16.
Oleh sejarawan, istilah tersebut digunakan untuk
menunjukkan berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya yang terjadi di
Eropa. Dalam keadaan seperti itu kebebasan pemikiran amat dibatasi, sehingga
perkembangan sains sulit terjadi, demikian pula filsafat tidak berkembang,
bahkan dapat dikatakan bahwa manusia tidak mampu menemukan dirinya sendiri.
Oleh karena itu, orang mulai mencari alternatif. Dalam perenungan mencari
alternatif itulah orang teringat pada suatu zaman ketika peradaban begitu bebas
dan maju, pemikiran tidak dikungkung, sehingga sains berkembang, yaitu zaman
Yunani kuno.Pada zaman Yunani kuno tersebut orang melihat kemajuan kemanusiaan
telah terjadi.Kondisi seperti itulah yang hendak dihidupkan kembali. Orang yang pertama menggunakan
istilah tersebut adalah Jules Michelet, sejarawan Perancis terkenal.
Menurutnya, Renaissance ialah periode penemuan manusia dan dunia dan bukan
senagai kebangkitan kembali yang merupakan permulaan kebangkitan modern.Bila
dikaitkan dengan keadaan.
Renaissence adalah
masa antara zaman pertengahan dan zaman modern yang dapat dipandang sebagai
masa peralihan, yang ditandai oleh sejumlah kekacauan dalam bidang pemikiran.
Di satu pihak terdapat Astrologi, kepercayaan yang bersangkutan dengfan dunia
hitam, perang-perang agama, dan sebagainya, dan di lain pihak muncul lah ilmu
pengetahuan alam modern serta mulai berpengarunya suatu perasaan hidup baru.
Pada saat itu muncul lah usaha-usaha penelitian yang lebih giat yang pada
akhirnya memunculkan sains baru.
Ciri utama
Renaissance ialah Humanisme, Individualisme, lepas dari agama (tidak mau diatur
oleh agama), Empirisme, dan Rasionalisme. Filsafat berkembang bukan pada zaman Renaissance,
melaunkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman modern).Sains berkembang karena
semangat dan hasil Empirisme itu.Agama Kristen semakin ditinggalkan, karena
semangat Humanisme itu.Ini kelihatan dengan jelas kelak pada zaman modern.Pada
zaman modern filsafat di dahului oleh zaman Renaissance. Di sisi lain
kegemilangan ilmu-ilmu alam (fisika) dengan Newton sebagai tokoh utamanya telah
membangkitkan semangat empirisme rasional-materialistik dibidang astronomi,
biologi, psikologi, sosiologi, maupun filsafat. Laplace misalnya, berani
mengatakan bahwa teori astronomi yang dibangunnya tidak membutuhkan hipotesis
tentang peran Tuhan untuk menjelaskan asal-usul alam semesta. Begitu juga Darwin yang menafikan keterlibatan Tuhan
dalam kehidupan organis, yang berjalan sendiri melalui prinsip mekanika hukum
evolusi yaitu seleksi alamiah.
Demikian juga dengan Freud yang memandang
konsep Tuhan bagi orang-orang beragama sebagai ide ilusif karena berasal dari
imajinasi ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi fenomena yang ada diluar
dirinya. Sedangkan bagi Durkheim, kekuatan
supranatural atau hal-hal yang gaib tidak lebih dari kekuatan-kekuatan listrik
yang terkonsentrasi dalam diri manusia, sehingga ia tidak bercaya pada
metafisika atau Tuhan. Menurutnya, yang lebih
pantas disebut sebagai Tuhan adalah masyarakat, karena masyarakat mampu
mengakomodasi hal-hal diyakini sebagai sifat-sifat Tuhan.
Kemudian tak
ketinggalan pula Karl Marx mengatakan agama adalah candu, konsep surga dan
kerajaan Tuhan di akhirat adalah refleksi penderitaan kaum proletar sebagai
manuver kaum borjuis untuk menyembunyikan realitas sosial yang sebenarnya, agar
kedudukan mereka sebagai tuan tanah tetap kukuh dan memonopoli alat-alat
produksi hingga mereka tetap menguasai roda ekonomi sekaligus aman dari
kemarahan kaum proletar. Agama tidak lain dari
konstruk borjuis bukan berasal dari dunia gaib.
Tokoh-tokoh pada zaman Renaissance
Pada zaman
Renaissance ada banyak penemuan di bidang ilmu pengetahuan. Di antara
tokoh-tokohnya adalah :
1.
Nicolaus Copernicus (1473-1543)
Ia dilahirkan di Torun, Polandia dan belajar di
Universitas Cracow. Walaupun ia tidak mengambil studi astronomi, namun ia
mempunyai koleksi buku-buku astronomi dan matematika. Ia sering disebut sebagai
Founder of Astronomy. Nicholas Copernicus adalah seorang tokoh gereja
ortodoks, Ia mengembangkan teori bahwa matahari adalah pusat jagad raya dan
Bumi mempunyai dua macam gerak, yaitu : perputaran sehari-hari pada
porosnya dan perputaran tahunan mengitari matahari. Teori itu disebut Heliocentric menggeser
teori Ptolemaic, yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya
dan gerak tahunan mengelilingi matahari. Teorinya ini disebut Heliosentrisme,
di mana matahari adalah pusat jagad raya, bukan bumi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ptolomeus yang diperkuat gereja. Teori Ptolomeus disebut
Geosentrisme yang mempertahankan bumi sebagai pusat jagad raya.[1]
Ini adalah perkembangan besar, tetapi yang lebih
penting adalah metode yang dipakai Copernicus, yaitu metode mencakup penelitian
terhadap benda-benda langit dan kalkulasi matematik dari pergerakan benda-benda
tersebut.
2.
Galileo Galilei (1564-1642)
Galileo Galilei adalah salah seorang penemu terbesar
dibidang ilmu pengetahuan.Ia Menemukan bahwa sebuah peluru yang ditembakkan
membuat suatu gerak parabola, bukan gerak horizontal yang kemudian berubah
menjadi gerak vertical.Ia menerima pandangan bahwa matahari adalah pusat jagad
raya. Dengan teleskopnya, ia mengamati jagad raya dan
menemukan bahwa bintang Bimasakti terdiri dari bintang-bintang yang banyak
sekali jumlahnya dan masing-masing berdiri sendiri. Selain itu, ia juga
berhasil mengamati bentuk Venus dan menemukan beberapa satelit Jupiter.
3.
Francis Bacon (1561-1626)
Francis Bacon
adalah seorang filosof dan plitikus Inggris.Ia belajar di Cambridge University dan kemudian menduduki jabatan penting
dipemerintahan serta pernah terpilih menjadi anggota parlemen. Ia adalah
pendukung penggunaan Scientific Methods, ia berpendapat bahwa
pengakuan tentang pengetahuan pada zaman dahulu kebanyakan salah, tetapi ia
percaya bahwa orang dapat mengungkapkan kebenaran dengan Inductive
Methods, tetapi lebih dahulu harus membersihkan pikiran dari prasangka yang
ia namakanidols (arca). Bacon telah memberi kita pernyataan yang
klasik tentang kesalahan-kesalahan berpikir dalam Idols of the Mind.
(ahmad tafsir, 1990:162).
B. RASIONALISME
Rasionalisme
adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah
alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan.
Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat
dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.
Rasionalisme.
Mazhab ini dipelopori oleh Rene descartes (1596-1650), seorang filosof Prancis
yang digelar sebagai bapak filsafat modern. Setelah
lama merenung ia munculkan untuk menghidupkan kembali pemikiran filsafat
idealitas yang berakar pada idealisme Plato. Ia melahirkan prinsip yang
terkenal cagito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Dalam pencarian
pondasi yang kuat bagi pengetahuan, ia memutuskan untuk tidak menerima
kebetulan-kebetulan dan menolak semua yang tidak pasti.
Rasionalisme
ada dua macam : dalam bidang Agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang
agama rasionalisme adalah lawan autoritas, dalam bidang filsafat rasionalisme
adalah lawan empirisme.
Rasionalisme
dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama
rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan.
Tokoh-tokoh pada zaman Renaissance
1. Descartes
(1596-1650)
a. Tentang Kesadaran
Dengan konsep dan metode pengetahuannya yang rasional dan baru, Rene
Descartes dijuluki Bapak Filsafat Modern.[2] Ia
meyakini bahwa sumber pengetahuan yang benar adalah rasio, bukan mitos,
prasangka, omongan orang, ataupun wahyu seperti yang diyakini pada Abad
Pertengahan. Ia sangat yakin pada kemampuan rasio untuk mencapai kebenaran,
lantaran di luar rasio mengandung kelemahan atau kesangsian. Atas keyakinannya
pada rasio tersebut, ia membangun pemikiran filsafatnya.
Rasio yang dimaksud oleh Descartes adalah kesadaran (cogito). Sejak
Descartes mengeluarkan konsepnya tentang kesadaran, para filsuf mulai
benar-benar menggeluti masalah kesadaran. (Masykur Arif Rahman, 2013: 241)
b. Metode Keraguan
Descartes menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode keragu-raguan.
Karyanya, A Discourse on Methode.[3]
mengemukakan empat hal berikut :
1.
Kebenaran baru dinyatakan sahih jika telah benar-benar indrawi dan
realitasnya telah jelas dan tegas (clearly and distincictly.
2.
Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sampai sebanyak mungkin,
sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3.
Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana
dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan
kompleks.
4.
Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus
dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan
yang menyeluruh, sehingga diperoleh keyakinan bahwa tidak ada satu pun yang
mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu. (Atang Abdul Hakim, 2008:
251)
c. Tiga Realitas
Descartes menegaskan adanya tiga realitas atau substansi bawaan (ide-ide
bawaan). Adapun ketiga realitas tersebut adalah :
1.
Realitas pikiran atau kesadaran (res cogitan). Descartes menyebutkan
bahwa pikiran sebagai ide bawaan sudah ada sejak kita dilahirkan. Selain itu,
pikiran adalah kesadaran yang tidak mengambil tempat dan tak dapat dibagi-bagi
menjadi bagian yang lebih kecil. Sebab, pikiran bukanlah materi, melainkan jiwa
yang berbeda dengan materi.
2.
Realitas perluasan atau materi (res extensa). Materi merupakan
keluasan yang mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi serta tidak memiliki
kesadaran. Bagi Descartes, walaupun terkadang menampakkan kesan yang menipu dan
tidak selalu sempurna atau berubah, tetapi materi sudah ada sejak semula.
Karena itu, materi menunjukkan sebuah ide bawaan.
3.
Realitas Tuhan. Tuhan merupakan wujud yang seluruhnya sempurna. Adanya
realitas Tuhan ini dikarenakan adanya kesadaran memiliki ide tentang yang sempurna,
dan ketidaksempurnaan materi mengandalkan adanya yang sempurna. Yang sempurna
itu adalah Tuhan. Karena itu, Tuhan termasuk ide bawaan.
2. Spinoza (1632-1677)
a. Tentang Substansi
Tunggal
Baruch de Spinoza menolak tiga realitas atau substansi yang dipercayai oleh
Descartes. Penolakannya itu didasarkan pada definisi mengenai substansi. Ia
mendefinisikan substansi adalah sesuatu yang berdiri sendiri tanpa membutuhkan
sebab yang lain, atau ada dengan dirinya sendiri, bahkan tidak tergantung pada
yang lain. Jika dalam realitas terdapat dua substansi yang berasal dari satu
substansi, sebagaimana diyakini Desartes, hal itu sangat tidak masuk akal.
Pasti substansi hanyalah satu. Oleh sebab itu, Spinoza dengan definisi
substansi tersebut, menyakini bahwa substansi itu tunggal. Tidak ada substansi
yang berasal dari substansi lain.
b. Tuhan atau Alam (Deus suve Natura)
Menurut Spinoza, substansi tunggal itu adalah Tuhan. Bagi Spinoza,
sebagaimana substansi, Tuhan itu tunggal, abadi, tidak terbatas (universal),
tidak tergantung pada yang lain, mutlak, dan utuh. Spinoza mengajarkan, apabila
Tuhan sebagai satu-satunya substansi, maka harus dikatakan bahwa segala
sesuatu, baik yang bersifat materi (tubuh, pohon, batu, planet, dan materi
laninnya) maupun jiwa (pemikiran, kesadaran, perasaan, dan kehendak), berasal
dari Tuhan. Sebab, materi dan jiwa tidak berdiri sendiri dan bukanlah
substansi, tetapi berasal dari serta tergantung pada substansi tunggal, yaitu
Tuhan.
Spinoza menganggap materi dan jiwa hanyalah modi (cara) berada Tuhan
sebagai substansi tunggal. Oleh karena itu, pada dasarnya, alam semesta dan
segala isinya identik dengan Tuhan, atau tidak ada perbedaan hakiki antara
Tuhan dan alam. Pendapat yang menyamakan antara Tuhan dan alam ini desebut
sebagai panteisme.[4]
(Masykur Arif Rahman, 2013: 248)
3. Leibniz (1646-1716)
Bagi Spinoza, alam semesta ini mekanistis dan
keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara substansi pada Leibniz adalah
hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan.
Gottfried Wilhelm von
Leibniz tidak meyakini adanya tiga substansi seperti yang diyakini Descartes.
Ia juga tidak percaya dengan satu substansi sebagaimana yang dipercaya Spinoza.
Baginya, tidak hanya ada satu atau tiga substansi di alam ini, tetapi ada
banyak substansi, atau substansi itu jumlahnya tidak terhingga.
Spinoza menyebut
substansi yang banyak itu sebagai monad (monos = satu; monad
= satu unit). Monad bukanlah materi terkecil yang mempunyai bentuk dan
keluasan, melainkan murni bersifat metafisik atau spiritual. Karena itu,
sebagai substansi yang nonmaterial, monad memiliki beberapa sifat, diantaranya
:
1.
Abadi, artinya tidak bisa dihasilkan ataupun dimusnahkan.
2.
Tidak bisa dibagi (ini bertentangan dengan substansi keluasan Descartes
yang bisa dibagi-bagi).
3.
Berdiri sendiri atau individual. Artinya, monad yang satu dengan monad yang
lain tidak identik atau tidak sama (ini bertentangan dengan substansi Spinoza
yang mengidentikkan antara Tuhan dan alam).
4.
Tertutup. Mengenai sifat ini, menunjuk pada kata-kata Leibniz sendiri. Ia
mengatakan bahwa monad-monad itu “tidak berjendela yang membuat sesuatu bisa
masuk atau keluar.”
5.
Memiliki hasrat dan keinginan yang muncul dalam dirinya sendiri.
Leibniz menyebutkan
adanya monad pertama, yaitu Tuhan. Monad pertama ini tidak terbatas dan
menciptakan monad-monad yang terbatas. Tuhan, sebagai monad pertama, pada saat
penciptaan, mengadakan “harmonie preetablie” (keselarasan yang
ditetapkan sebelumnya) di antara monad-monad terbatas ciptaan-Nya sebagaimana
terlihat dalam kehidupan. Jadi, adanya keselarasan, keteraturan, dan interaksi
di dunia disebabkan oleh perantara Tuhan yang menciptakan harmoni di antara
monad-monad. Tuhan, dalam pandangan Leibniz, memiliki kekuasaan penuh terhadap
ciptaan-Nya. Jika Tuhan sudah berkehendak, walaupun ciptaan-Nya juga memiliki
kehendak, kehendak ciptaan-Nya akan dikalahkan oleh kehendak Tuhan yang
menciptakannya. (Masykur Arif Rahman, 2013: 252)
C. EMPIRISME (LOCKE – HUME)
Empirisme adalah suatu
doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti
coba-coba atau pengalaman. Empirisme adalah lawan rasionalisme. Seluruh
penganut madhzab empirisme menolak ide-ide instenktif[5]
Paham Empirisme
menganggap bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang diperoleh
langsung dari pengalaman konkret. Menurut paham empirisme ini, gejala alam ini
bersifat konkrit dan dapat ditangkap dengan pancaindera manusia. Dengan
pertolongan pancainderanya, manusia berhasil menghimpun sangat banyak
pengetahuan. Penganut empirisme menyusun pengetahuan dengan menggunakan
penalaran induktif.[6]
Tokoh-tokoh pada zaman Renaissance
1. John Locke (1632 – 1704)
Buku Locke, Essay
Concerning Human Understanding (1689), ditulis berdasarkan satu premis,
yaitu semua pengetahuan datang dari pengalaman. Ini berarti tidak ada yang
dapat dijadikan ide atau konsep tentang sesuatu yang berada di belakang
pengalaman. Sebab, sebelum manusia mengalami sesuatu, pikiran atau rasio
seperti tabula rasa (kertas putih kosong). Dengan contoh lain, bagi
Locke, pikiran ibarat papan tulis yang masih polos dan kosong sebelum guru
masuk kelas.
Proses Memperoleh
Pengetahuan
Lingkungan dan
pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber
pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi
serta pemanfaatan seluruh indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak
percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin. Selanjutnya, pandangan sederhana
atau ide-ide sederhana itu terolah di dalam pikiran dengan cara
digabung-gabungkan dan diabstraksikan, sehingga menghasilkan “pandangan
kompleks” atau “ide-ide kompleks” (complex ideas), seperti ide kemanusiaan,
keadilan, pepohonan dan lainnya.
Contoh sederhana
mengenai pandangan John Locke tersebut ialah : pertama-tama seseorang mengamati
“ide-ide sederhana”, seperti materi, manis, berair dan berwarna kemerahan yang
terdapat pada suatu objek. Kemudian, ide-ide sederhana itu digabungkan dan
diabstraksikan menjadi “ide kompleks”, sehingga menghasilkan nama “buah
anggur”. Nama “buah anggur” yang tak lain adalah ide kompleks merupakan hasil
penggabungan dari ide-ide sederhana tadi. Jadi, “ide kompleks” merupakan
kumpulan dari “ide-ide sederhana” yang didapat dari pengalaman. Dengan
demikian, ide kompleks yang oleh kaum rasionalis sering disebut sebagai ide
bawaan sebenarnya juga adalah dari pengalaman.[7]
2. David Hume (1711 – 1776)
Hume menolak anggapan
kaum rasionalis yang meyakini bahwa manusia mempunyai ide-ide bawaan. Baginya,
manusia tidak memiliki ide-ide bawaan. Pengetahuan atau kesadaran yang
terbentuk dalam diri manusia berasal dari pengalaman indrawi. Tak ada
pengetahuan yang tidak berasal dari pengalaman indrawi. Menurutnya, pengetahuan
yang berasal dari pengalaman indrawi diperoleh melauli persepsi, yang terdiri
dari dua unsur, yaitu :
1.
Kesan (impressions). Kesan diperoleh melalui pengalaman langsung (ketika
sedang terjadi). Kesan ini sifatnya jelas, hidup, dan kuat. Misalnya, ketika
tangan menyentuh api, maka tangan akan langsung terasa panas. Inilah yang
dimaksud kesan itu jelas, hidup dan kuat.
2.
Gagasan (ideas). Gagasan lahir karena adanya penggabungan, persekutuan atau
pertautan antara kesan-kesan yang telah didapatkan sebelumnya. Dengan demikian,
“gagasan” diperoleh secara tidak langsung dari pengalaman yang berbentuk
“kesan”. Dengan kata lain, “kesan-kesan” yang ditangkap melalui pengalaman
langsung selanjutnya diproses di dalam akal lewat refleksi, berpikir,
menghubungkan, mengingat, membandingkan, berfantasi dan lain sebagainya,
sehingga membentuk sebuah “gagasan”.
Prinsip sebab akibat
(kausalitas) atau hukum alam sudah menjadi kepercayaan yang mengakar kuat sejak
lama, baik dalam filsafat, agama, maupun sains. Misal, jika terjadi peristiwa
A, maka akan terjadi peristiwa B. Menurut Hume, konsep kausalitas yang
didasarkan pada hubungan yang niscaya antara peristiwa yang satu dengan
peristiwa yang lain tidak benar dan didasarkan pada sebuah kebingungan belaka.
Bagi Hume, yang disebut kausalitas hanyalah sebuah urutan kejadian. Sebab, di
dalam konsep kausalitas, tidak ada prinsip yang dijadikan dasar penghubung
antarperistiwa. Dengan kata lain, dalam konsep kausalitas, tidak ada yang
niscaya, yang ada hanyalah pengalaman mengenai urutan kejadian. Karena itu,
Hume menolak kausalitas.[8]
D. KRITISME
Aliran ini muncul abad
ke-18. Suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba
menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Zaman baru ini
disebut zaman Pencerahan (Aufklarung). Zaman pencerahan ini muncul
dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya).
Akan tetapi, setelah Kant mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap peran
pengetahuan akal. Setelah itu, manusia terasa bebas dari otoritas yang
datangnya dari luar manusia, demi kemajuan atau peradaban manusia.
Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan
(ilmu pasti, biologi, filsafat, dan sejarah) telah mencapai hasil yang
menggembirakan. Di sisi lain, jalanya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu
diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan
alam. Isaac Newton (1642-1772) memberikan dasar-dasar berpikir dengan induksi,
yaitu pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-gejala dan mengembalikan kepada
dasar-dasar yang sifatnya umum. Untuk itu dibutuhkan analisis.
Gerakan ini dimulai di Inggris, kemudian ke Prancis, dan sselanjutnya
menyebar ke seluruh Eropa, termasuk ke Jerman. Di Jerman pertentangan antara
rasionalisme dengan empirisme semakin beerlanjut. Masingh-masing berebut
otonomi. Kemudian timbul masalah, siapa yang sebenarnya dikatakan sebagai
sumber pengetahuan? Apakah pengetahuan yang benar itu lewat rasio atau empiri?
Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mencoba
menyelesaikan persoalan diatas. Pada awalnya, Kant mengikuti rasionalisme,
tetapi kemudian terpengaruh oleh empirisme (Hume). Walaupun demikian,
Kant tidak begitu mudah menrimanya karena ia mengetahui bahwa empirisme
terkandung skep-tisisme. Untuk itu, ia tetap mengakui kebenaran ilmu, dan
dengan akal manusia akan dapat mencapai kebenaran.
Mulanya Kant mengaku
rasionalisme lalu kemudian empirisme datang mempegaruhinya. Namun Kant tidak
sepenuhnya di bawah pengaruh empirisme dan tidak menerima metodenya dengan
begitu saja, karena dia menganggap emperisme membangun keraguaan terhadap akal
budi. Walaupun dia mengakui kebenaran pengatahuan indera sambil tetap juga
mengakui kebenaran akal budi, tetapi syarat-syaratnya harus tetap dicari, yaitu
dengan menyelidiki atau mengkritik pengetahuan akal budi dan akan diterangkan
apa sebabnya, dengan demikian pengetahuan menjadi mungkin, itulah sebabnya mengapa
aliran Kant disebut kritisme.
Akhirnya, Kant mengakui peranan akal dan keharusan empiris, kemudian
dicobanya menggunakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal
(rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Ibarat
burung terbang harus mempunyai sayap (rasio) dan udara (empirii).
Jadi, metode berpikirnya disebut metode kritis. Walaupun ia mendasarkan
diri pada nilai yang tinggi dari akal, tetapi ia tidak mengingkari adanya
persoalan-persoalan yang melampaui akal. Sehingga akal mengenal batas-batasnya.
Karena itu aspek irrasionalitas dari kehidupan dapat diterima kenyataanya.
2.3 Keruntuhan Filsafat
Modern
Dan penyebab Keruntuhan Filsafat Modern ialah Proyek filsafat modern
yang ingin menguasai dunia lewat satu pemikiran rasional dan utuh, setelah
dievaluasi oleh beberapa filsuf, ternyata diketahui mengandung kelemahan. Tak
heran jika kemudian bermunculan filsuf-filsuf yang mengkritisi proyek filsafat
modern tersebut. Fenomena ini, oleh beberapa kalangan diangggap sebagai suatu
periode baru dalam sejarah filsafat, yaitu periode yang disebut postmodern.
Lalu, para filsuf yang mengkritisi proyek filsafat modern dikatakan sebagai
tokoh-tokoh filsafat postmodern.
BAB III
PENUTUP
3.1
SIMPULAN
Filsafat zaman modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang
disebut dengan “Renaissance” dan dimatangkan oleh “gerakan” Aufklaerung di abad
ke-18 itu. Sehingga mucullah beberpapa aliran diantaranya rasionalisme,
empirisme, kritisisme, idealisme, positivisme, evolusionisme, materialisme,
Neokantianisme, pragmatisme, filsafat hidup, fenomenologi, dan
Eksistensialisme.
Filsafat
Barat memiliki empat periodisasi. Periodisasi ini didasarkan atas corak
pemikiran yang dominan pada waktu itu. Pertama, adalah zaman Yunani
Kuno, ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah ditujukannya
perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna
menemukan asal mula (arche) yang merupakan unsur awal terjadinya gejala-gejala.
Kedua, adalah zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran filsafat pada zaman
ini di sebut teosentris. Ketiga, adalah zaman Abad Modern, para filosof
zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat, maka corak
filsafat zaman ini lazim disebut antroposentris. Filsafat Barat modern dengan
demikian memiliki corak yang berbeda dengan filsafat Abad Pertengahan. Keempat, adalah Abad Kontemporer
dengan ciri pokok pemikiran logosentris, artinya teks menjadi tema sentral
diskursus filsafat.
Dan penyebab Keruntuhan
Filsafat Modern ialah Proyek filsafat modern yang ingin menguasai dunia
lewat satu pemikiran rasional dan utuh, setelah dievaluasi oleh beberapa
filsuf, ternyata diketahui mengandung kelemahan. Tak heran jika kemudian
bermunculan filsuf-filsuf yang mengkritisi proyek filsafat modern tersebut.
Fenomena ini, oleh beberapa kalangan diangggap sebagai suatu periode baru dalam
sejarah filsafat, yaitu periode yang disebut postmodern. Lalu, para filsuf yang
mengkritisi proyek filsafat modern dikatakan sebagai tokoh-tokoh filsafat
postmodern
3.2 SARAN
Materi dalam makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Dalam
penulisan makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan didalamnya baik dalam
hal sistematika penulisan maupun isi. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik
dan saran dari semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Mustansir, Rizal dan Minsal munir. Filsafat Ilmu (Cet.2:
Yogyakarta:Pustaka pelajar.2002)
Farid Ismail, Fu’ad
dan Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar Filsafat, (cet pertama,
Yogyakarta: IRCiSoD. 2012)
Rahman,
Masykur Arif, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: IRCiSoD,
2013.
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2013.
Achmadi Asmoro, Filsafat Umum, Rajawali
Pers, Jakarta:2013.
[1] Rizal Mustansir
dan Minsal munir. Filsafat Ilmu (Cet.2: Yogyakarta:Pustaka pelajar.2002).hlm.
70
[2] Kata Bapak diberikan
kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern yang membangun
filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh
pengetahuan rasional. Dialah orang pertama pada akhir abad pertengahan yang
menyusun argumentasi yang kuat, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah
akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, dan bukan yang lainnya.
[3] Di dalam karyanya
inilah, ia menyatakan ketidakpuasannya atas filsafat dan ilmu pengetahuan yang
menjadi bahan penyelidikannya. Dalam bidang ilmiah, tidak ada sesuatu pun yang
dianggap pasti. Semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang
dipersoalkan juga. Satu-satunya pengecualian adalah ilmu pasti. Demikian
menurutnya,
[4] Spinoza percaya kepada
Tuhan, tetapi Tuhan yang dimaksudkannya adalah alam semesta ini. Tuhan Spinoza
itu tidak berkemauan, tidak melakukan sesuatu, tak terbatas (ultimate).
[5] Fu’ad Farid
Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar Filsafat, (cet pertama,
Yogyakarta: IRCiSoD. 2012), hlm.111
[6] Ahmad Tafsir,
Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, h.173-174
[7] Karena pandangannya
itu, John Locke masuk dalam barisan filsuf empirisme, yang meyakini bahwa
pengetahuan didapat berdasarkan pengalaman, dan pengalaman di sini adalah
pengalaman indrawi.
[8] Menurut para penulis
sejarah flsafat, empirisme berpuncak pada David Hume sebab ia menggunakan
prinsip-prinsip empiristis dengan cara yang paling radikal, terutama pengertian
substansi dan kausalitas (hubungan sebab akibat) yang menjadi objek kritiknya.
Komentar
Posting Komentar