Langsung ke konten utama

Makalah Hadis-Hadis tentang Korupsi dan Kolusi



Hadis-Hadis Korupsi dan Kolusi


OLEH:
BAHRUL ILMI                                       170101040450
MUHAMMAD FAHRI                           170101040517



KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, akhirnya penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah ini, yang berjudul “KORUPSI DAN KOLUSI”.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangannya, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki penyusun, oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan adanya saran atau kritik yang sifatnya membangun untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan tugas ini terutama kepada dosen pengampu mata kuliah Hadis, Bapak Abdul Hafiz Sairazi, SHI, MHI. Semoga Allah SWT, membalas amal kebaikan. Amin.
Dengan segala pengharapan dan doa semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.





Banjarmasin,   Maret 2018


Penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................... iii
BAB I      PENDAHULUAN........................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah................................................................................ 2
1.3. Tujuan................................................................................................... 2
BAB II     PEMBAHASAN............................................................................................. 3
2.1. larangan korupsi dan kolusi.................................................................. 3
2.2. larangan menyuap................................................................................. 4
2.3. larangan bagi pejabat untuk menerima hadiah..................................... 8
BAB III    PENUTUP..................................................................................................... 12
3.1. Simpulan............................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 13
















BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Dasar negaranya adalah Al-Qur’an dan Sunnah. kepala negaranya disebut Khalifah, Para pemimpin dan pegawai-pegawai pemerintahannya adalah orang-orang baik, bertanggung jawab, jujur, amanah, adil, faham Islam, berakhlak mulia dan bertakwa. Dasar pelajaran dan pendidikannya ialah dasar pendidikan Rasulullah, yang dapat melahirkan orang dunia dan orang Akhirat, berwatak abid dan singa, bertugas sebagai hamba dan khalifah ALLAH.[1]
Gelar pemimpin umat adalah layak diberikan kepada mereka yang mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi umat itu dan menghantarkannya dengan selamat sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Orang yang menghantarkan tidak harus berjalan di depan, kadang-kadang disamping, di tengah, di mana saja menurut jalan keadaan jalannya, diperlukan guna keselamatan orang yang diantarkannya.[2]
Berbicara tentang korupsi dan kolusi di negeri kita tercinta ini sangat tidak asing dan bahkan sering disorot oleh media masa, seakan korupsi dan kolusi menjadi makanan yang empuk bagi para pejabat baik tingkat daerah maupun nasional. kendati sudah ada institusi negara yang sangat besar yang khusus mengatasi korupsi, namun masih banyak mereka masih tetap tenang untuk makan uang haram ini. Adapun menurut hukum Islam sudah jelas itu hukumnya haram dan banyak hadis-hadis Nabi yang menerangkan tentang hal itu.[3]
Terdapat banyak ungkapan yang dapat di pakai untuk menggambarkan pengertian korupsi, meskipun tidak seutuhnya benar. Akan tetapi tidak terlalu menjauh dari hakikat dan pengertian korupsi itu sendiri. Ada sebagian yang menggunakan istilah “ikhtilas” untuk menyebutkan prilaku koruptor, meskipun dalam kamus di temukan arti aslinya yaitu mencopet atau merampas harta orang lain. Sementara itu terdapat pengungkapan “Ghulul” dan mengistilahkan “Akhdul Amwal Bil Bathil”, sebagaimana disebutkan oleh al-qur’an dalam surat al-baqarah : 188

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”

1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Larangan Korupsi dan Kolusi?
1.2.2. Larangan menyuap?
1.2.3. Larangan Bagi Penjabat untuk Menerima Hadiah?

1.3. Tujuan
1.3.1. untuk mempelajari hadis-hadis nabi yang menerangkan tentang                            larangan korupsi dan kolusi.
1.3.2. untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang hadis-hadis                 larangan korupsi dan kolusi.
1.3.3. untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadis.
1.3.4. melaksanakan kewajiban untuk membuat makalah tugas mata kuliah                   hadis.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Laranagan Korupsi dan Kolusi

وعن أبي مريم اللأزدي -  رضي الله عنه - عن النّبي - صلى الله عليه وسلم  قال: من ولاّه الله شيئا من أمر المسليمن, فاحتجب عن حاجتهم وفقيرهمو احتجبالله دون حاجته, أخرجهأبو داود, والتّرمذيّ

Dari Abi Maryam al-Azdiy ra,. nabi Muhammad SAW, beliau bersabda: barang siapa diberikan suatu wewenang dari urusn kaum muslimin, lalu ia berlindung dari kebutuhan (pelayanan) dan orang-orang fakir di antara mereka, maka Allah akan berlindung dari kebutuhnnya. (HR. Abu Daud dan al-Turmudzi).

Penjelas Hadis

Korupsi merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dilarang, karena korupsi merusak mental atau akhlak suatu bangsa yang bisa dikenakan tindak pidana sebagaimana hukumannnya. Untuk menanggulanginya, harus memahami dan kemudian merealisasikannya dalam perbuatan.

Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 188 Allah SWT berfirman yang artinya:

وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِنْ أَمْوَالِ
 النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya:
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."
 “Dari Zaid bin Khalid Al Juhani r.a. bahwa seorang laki-laki dari seorang sahabat Nabi SAW. Lalu beliau bersabda: “Shalatkanlah teman kamu (aku tidak mau menshalatkannya)” Berubahlah raut wajah para sahabat karenanya. Kemudian beliau bersabda: “Sebenarnya temanmu itu berlaku korupsi dijalan Allah”. Maka kami memeriksa barang-barangnya, lalu kami dapatkan seuntai marjan yahudi, tidak mencapai dua dirham”
“Dari shalih bin Muhammad dia berkata: pernah kami berperang bersama Walid bin Hisyam, sedang kami bersama Salim bin Abdillah bin umar r.a. dan Umar bin Abdil Aziz. Kemudian ada seorang laki-laki korupsi, maka Walid memerintahkan, agar barangnya dibakar. Setelah dibakar, orang itu diarak berkeliling, dan bagaiannya tidak diberikan.[4]

2.2. Larangan Menyuap

وعن أبي هريرة - رضي الله عنه قال: لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم  - الرّاشي والمرتشي في الحكم

Dari Abu Hurairah ra,. ia berkata: Rasulullah SAW. Melaknat oang yang memberi suap dan orang menerima suap dalam hukum. (HR. Ahmad dan Al-Arba’ah, dinyatakan hasan oleh al-Turmudzi dan dinyatakan sahih oleh ibnu Hibban.

 Penjelasan Hadis

Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukuman ringan.
Perbuatan seperti itu sangat dilarang dalam islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh dengan jalan batil. Allah SWT. Berfirman dalam Al-Qur’an:
Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.
Suap menyuap sangat berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat karena akan merusak berbagai tatanan atas system yang berada di masyarakat., dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan dengan uang. Akibatnya, terjadi kekacauan dan ketidakadilan. Dengan suap, banyak para pelanggar yng seharusnya diberi hukuman berat justru mendapat hukuman ringan, bahkan lolos dari jeratan hukum. Sebaliknya banyak pelanggar hukum kecil, yang dilakukan oleh orang kecil mendapat hukumna yang sangat berat karena tidak memiliki uang untuk menyuap para hakim. Tak heran bila seorang pujangga sebagaimana dikutip oleh Yusuf Qardhawi menyindir tentang suap menyuap dengan kata-katanya:
Jika anda tidak dapat mendapat sesuatu
Yang anda butuhkan
Sedangkan anda sangat menginginkan
Maka kirimlah juru damai
Dan janganlah pesan apa-apa
Juru damai itu adalah uang
Bagaimana pun juga, seorang hakim yang telah mendapatkan uang suap tidak mungkin dapat berbuat adil. Ia akan membolak-balikkan supremasi hukum. Apalagi kalau perundang-undangan yang digunakannya merupakan hasil buatan manusia, mudah sekali baginya untuk mengutak atiknya sesuai dengan kehendaknya. Lama kelamaan masyarakat terutama golongan kecil tidak akan percaya lagi kepada para penegak hukum karena selalu menjadi pihak yang dirugikan. Dengan demikian, hukum rimba yang berlaku, yaitu siapa yang kuat dialah yang menang.
Islam melarang perbuatan tersebut, bahkan menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, yang dilaknat oleh Allah dan RasulNya. Karena perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi lebih jauh lagi melecehkan hak seseorang untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Oleh karena itu, seorang hakim hendaklah tidak menerima pemberian apapun dari pihak mannapun selain gajinya sebagai hakim.
Untuk mengurangi perbuatan suap menyuap dalam masalah hukum, jabatan hakim lebih utama diberikan kepada mereka yang berkecukupan daripada dijabat oleh mereka yang hidupnya serba kekurangan karena kemiskinan seorang hakimakan mudah membawa dirinya untuk berusha mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.
Sebenarnya, suap-menyuap tidak hanya dilarang dalam masalah hukum saja, tetapi dalam berbagai aktivitas dan kegiatan. Dalam beberapa hadis lainnya, suap menyuap tidak hanya dilarang dalam masalah hukum saja, tetapi bersifat umum, seperti dalam hadis:
Artinya:
“Dari Abdullah bin Amr, “Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan orang yang disuap.”
Misalnya, dalam penerimaan tenaga kerja, jika didasarkan pada besarnya uang suap, bukan pada profesionalisme dan kemampuan, hal itu diyakini akan merusak kualitas dan kuantitas hasil kerja, bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa pekerja tersebut tidak dapat melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya, sehingga akan merugikan rakyat.
Begitu pula suatu proyek atau tender yang didapatkan melalui uang suap, maka pemenang tender akan mengerjakan proyeknya tidak sesuai program atau rencana sebagaimana yang ada dalam gambar, tetapi mngurangi kualitasnya agar uang yang dipakai untuk menyuap dapat tertutupi dan ia tidak merugi, sehingga tidak jarang hasil pekerjaan mereka tidak tahan lama atau cepat rusak, seperti banyak jalan dan jembatan yang seharusnya kuat 10 tahun, tetapi baru lima tahun saja telah rusak.
Dengan demikian, kapan dan dimana saja, suap akan menyebabkan kerugian bagi masyarakat banyak. Dengan demikian larangan islam untuk menjauhi suap tidak lain agar manusia terhindar dari kerusakan dan kebinasaan di dunia dan siksa Allah SWT. kelak diakhirat.
      Sangat disayangkan, suap menyuap dewasa ini seperti sudah menjadi penyakit menahun yang sangat sulit untuk disembuhkan, bahkan disinyalir sudah membudaya. Segala kativitas, baik yang berskala kecil maupun besar tidak terlepas dari suap menyuap. Dengan kata lain, sebagaimana diungkapkan M. Qurais Shihab, masyarakat telah melahirkan budaya yang tadinya munkar (tidak dibenarkan) dapat menjadi ma’ruf (dikenal dan dinilai baik) apabila berulang-ulang dilakukan banyak orang. yang ma’ruf pun dapat menjadi munkar bila tidak lagi dilakukan orang.
     Menurut Muhammad ibn Ismail Al-Kahlany, suap dibolehkan dalam rangka memperoleh sesuatu yang menjadi haknya atau untuk mencegah dari kezaliman, baik yang akan menimpa dirinya maupun keluarganya. Hal ini didasarkan pada pendapat sebagian tabi’in bahwa boleh melakukan suap jika takut tertimpa zalim, baik etrhadap dirinya maupun keluarganya.
       Adapun menurut Imam Asy-Syaukani, sesungguhnya keharaman suap adalah mutlak atau tidak dapat ditakhsish. Namun demikian, dalam islam ada kaidah:
(kemadaratan membolehkan sesuatu yang membahayakan). Dengan demikian, jika tidak ada jalan lain bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari kerusakan, kecuali dengan melakukan suap, ia boleh melakukannya.
            Menurut M. Quraish Shihab, argument para ulama diatas tidaklah jelas, tetapi tampaknya keadaan ketika itu mirip dengan keadaan pada masa sekarang. Tampaknya saat itu budaya sogok-menyogok telah menjamur, sehingga menyulitkan penuntut hak  untuk memperoleh haknya maka lahirlah pendapat yang membolehkan tadi.
          Akan tetapi, menurutnya, Asy-Syukani mengingatkan bahwa pada dasarnya agam tidak membolehkan pemberian dan penerimaan sesuatu dari seseorang, kecuali dengan hati yang tulus. Apakah mereka yang membeli pelicin itu tulus? dan tidakkah sikap tersebut semakin menumbuh suburkan praktek suap-menyuap dalam masyarakat? Bukankah dengan memberi walaupun dengan dalih meraih hak yang sah seseorang telah membantu si penerima untuk memperoleh sesuatu yang haram dan terkutuk. Dengan demikian, si pemberi sedikit ataupun banyak menurutnya, telah pula menerima saksi keharaman dan kutukan atas suap-menyuap tersebut.[5]

2.3. Larangan Bagi Pejabat untuk Menerima Hadiah

حديث أبي جميد السّاعدي, أن رسول الله صلى الله عليه وسلم استعمل عاملا, فجاءه العامل حين فرغمن عملهو فقال: يا رسول الله هذا لكم, وهذا أهدي لي فقال له: أفلا قعدت في بيت أبيك وأمّك فنظرت أيهدى لك أم لأ ثمّ قام رسول الله صلى الله عليه وسلم عشيّه, بعد الصّلا, فتشهّد وأثنى على ا لله بما هو أهله, ثمّ قال: أمّا بعدو فما بال العا مل نستعمله فيأتينا فيقول هذا من عملكم, وهذا أهديلي, افلا قعد في بيت أبيه وأمّه فنظر هل يهدى له أم لأفوالّذنفس محمد بيده لا يغلّ أحدكم منها شيئا إلاّ جلء به يوم القيامة بحمله على عنقه, إن كان بعيرا جاء به له ر غاء, وإن كانت بقرة جاء بها لها خوار,وإن كانت شاة جاء بها تيعر, فقد بلّغت
فقال أبو حميد: ثمّ رفع رسول الله صلى الله عليه وسلم يده حتّى إنّا لننظرة إبطيه

1202. Abu Humaid Assa’idi ra. Berkata: Rasulullah SAw. Mengangkat seorang aamil (pegawai) untuk menerima sedekah/zakat, kemudian sesudah selesai ia datang kepada Nabi SAW dan berkata: ini untukmu dan yang ini hadiah yang diberkan orang kepadaku. Maka Nabi SAW. Bersabda kepdanya: mengapakah anda tidak duduk saja dirumah ayah atau ibu, untuk melihat apakah diberi hadiyah atau tidak? Kemudian sesudah shalat Nabi SAW. Berdiri setelah tasyahhud dan memuji Allah selayaknya lalu bersabda: Amma ba’du, mengapakah seorang aamil yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata: ini hasil untuk kamu dan ini aku diberi hadiah. Mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk mengetahui apakah diberi hadiah atau tidak, demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi) melainkan ia akan menghadapi di hari qiymat memikul di atas lehernya, jka berupa onta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengemek, maka sungguh aku telah menyampaikan. Abu Humaid berkata: Kemudia Nabi SAW. Mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya. (Bukhari dan Muslim).[6]

Penjelas Hadis

Hadiah berbeda dengan sedekah. Jika hadiah diorentasikan untuk mengakrapkan hubungan dan menambah cinta kasih maka sedekah di dedikasikan untuk mencri ridho Allah swt. Di riwayatkan abu Hurairah Ra, tuturnya Rasulullah saw bersabda: tukar menukar hadiahlah, niscaya kalian saling mencintai.
Perbedaan antara hadiah dan suap adalah bahwa begitu memegang hadiah sipenerima hadiah serta merta langsung menjadi pemiliknya. Sementara penerima suap tidak secara otomatis menjadi pemilik barang tersebut saat menerimanya. Perbedaan lainnya suap di awali kepentingan dan di dorong oleh kebutuhan, sementara hadiah diberikan unsur kepentingan atau tendensi apa pun. Selain itu penyuap berhak meminta kembali barang suappanya meskipun telah di gunakan, sementara hadiah tidak boleh di minta kembali entah itu belum maupun sudah digunakan penerimanya. Sesuai dengan apa yang di lansir dalam Al-Quran, sunnah, dan dari beragam pendapat fiqih secara tegas mematenkan keharaman memberikan pemberian hadiah dengan tujuan tertentu (suap) dan diantara juztifikasi syarat atas pengharaman praktek kotor tersebut.
Dalam Islam hadiah dianggap sebagai salah satu cara untuk lebih merekatkan persaudaraan atau persahabatan, sebagaimana disebutkan dalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Muatha dari Al-Khurasani yang dikutip oleh Syafe’I (2000: 159) :
تصا فحوايد هب الغل و تها دوا تحا بوا وتد هب اشحناء. (رواه الاء مام ما لك)
“Saling bersalamanlah kamu semua, niscaya akan menghilangkan kedengkian, saling member hadiahlah kamu semua, niscaya akan saling mencintai, dan menghilangkan perceksokan”. (H.R. Imam Malik)
Turmudzi meriwayatkan hadis lain dari Abu Hurairah yang dikutip oleh Syafe’I (2000: 159)
تها دوا فاء ن الهد ية تدهب حر الصدر. (رواه التر مدى)
Artinya :“saling memberi hadihlah kamu semua, sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kebencian dan kemarahan”. (H.R. Turmudzi)
Bagi orang yang diberi hadiah, disunahkan untuk menerimanya meskipun hadiah tersebut kelihatannya hina dan tidak berguna. Nabi SAW bersabda :
عن انس قال رسول الله صلى ا لله عليه وسلم : لو ا هدي الي كراع لتبلت. (روه التر مدى)
“Dari Anas r.a, bahwa Nabi SAW bersabda, “kalau saya diberi hadiah keledai, pasti akan saya terima”. (H.R. Turmudzi)
Dari keterangan-keterangan diatas, jelaslah bahwa pada dasarnya memberikan hadiah kepada orang lain sangat baik dan dianjurka untuk lebih meningkatkan rasa saling mencintai. Begitu pula bagi yang diberi hadiah disunahkan untuk menerimanya.
Akan tetapi Islampun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun penerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah, misalnya bagi seorang pejabat atau pemegang kekuasaan karena hal itu dapat menimbulkan fitnah.
Dengan demikian, sangatlah pantas kalau Rasululah SAW melarang seorang pegawai atau petugas negara untuk menerima hadiah karena menimbulkan kemadaratan walaupun pada asalnya menerima hadiah itu dianjurkan. Dalam kaidah Ushul Fiqih dinyatakan bahwa “ Suatu perantara yang akan menimbulkan suatu kemadaratan, tidak boleh dilakukan.
Namun demikian, kalau kaidah tersebut betul-betul murni dan tidak ada kaian dengan jabatannya, Islam tentu saja memperbolehkannya. Misalnya sebelum dia memangku suatu jabatan, dia sudah terbiasa menerima hadiah dari seseorang. Begitu pula setelah dia menduduki suatu jabatan, orang tersebut masih tetap memberinya haiah. Pemberian seperti itu kemungkinan besar tidak ada kaitannya dengan jabatannya atau kedudukannya dan ini boleh diterima olehnya.
Rasulullah amat melarang bagi seseorang memberikan hadiah jika hadiah tersebut mengandung hajat dan pamrih nabi melarang keras bagi pejabat (hakim) menerima uang (hadiah) dalam bentuk sogokkan.[7]
Para ulama’ fiqih pun menegaskan bahwa hadiah yang di terima kepada pejabat atau pegawai sesungguhnya adalah suap jika sampai menerima berarti ia telah menghiyanati kepercayaan dan mandat Allah dan apa yang di ambilnya adalah uang haram dan termasuk penghiyanatan jabatan. Praktik pemberian hadiah dan bingkisan kepada pejabat yang terbukti menerima hadiah-pun harus di hukum dan dicopot jabatanya.[8]









BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpukan
Korupsi ialah pelaku yang buruk yang tidak legal dan tidak wajar untuk memperkaya diri. Haram hukumnya melakukan korupsi dan kolusi, tetapi khusus korupsi dan kolusi haram hukumnya jika yang diserahi jabatan tidak profesional, tidak memiliki kapabilitas dan tidak mempunyai moralitas yang sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Hadis. Korupsi dinilai dari sudut manapun ia tetap suatu pelanggaran.
Korupsi mengakibatkan kurangnya pendapatan negara dan kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah. Agama Islam mengakui adanya hak pribadi yang berhak mendapat perlindungan dan tidak boleh di ganggu gugat.
KKN diharamkan karena bertantangan dengan ajaran Al-Quran, Hadis dan tujuan syariat, selain itu juga bertentangan dengan rasa kemanusiaan dan rasa keadilan, pula karena merugikan orang lain, masyarakat dan negara. Maka dari itu kita sebagai re-generasi bangsa Indonesia ini janganlah mendekati KKN.














DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rachmat, Al-Hadits, Bandung: Setia Pustaka, 2000)

M, Thariq As-Suwaidan dan Faishal Umar Basyarahil, Melahirkan Pemimpin                     Masa Depan, Jakarta: Gema Insani, 2005

Arifin, Bey, Terjemahan Sunan Abu Daud, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1992

Poespoprodjo, W, Filsafat Moral, Bandung: CV PUSTAKA GRAFIKA, 1999

Fuad, Muhammad Abdul Haqi, Al-Lu’lu’ wal Marjan, Terj. H. Salim Bahreisy       Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990

Lam, Abdullah Ibrahim, fiqih finansial, solo: Inter Media, 2005.

Husai, Husain syahata, Suap dan Korupsi, Jakarta: Amzah, 2005




[1] Syafe’i, Rachmat, Al-Hadits, (Bandung: Setia Pustaka, 2000), hlm 133.
[2] Thariq M As-Suwaidan dan Faishal Umar Basyarahil, Melahirkan Pemimpin Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm 301.
[4] Bey Arifin, Terjemahan Sunan Abu Daud. (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1992), hlm 420.
[5] W. Poespoprodjo, Filsafat Moral, (Bandung: CV PUSTAKA GRAFIKA, 1999), hlm 46-48.
[6] Muhammad Fuad Abdul Haqi, Al-Lu’lu’ wal Marjan, Terj. H. Salim Bahreisy (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), hlm 711.
[7] Abdullah Lam Ibrahim, fiqih finansial, (solo: Inter Media, 2005), hlm 200-202.
[8] Husain Husain syahata, Suap dan Korupsi, (Jakarta: Amzah, 2005) hlm 11.

Komentar