Langsung ke konten utama

Makalah Akad


( Makalah Akad )

OLEH:
Nor Rahimah                               170101040235



KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, akhirnya penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah ini, yang berjudul “AKAD KERJASAMA DALAM FIKIH MUAMALAH”.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangannya, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki penyusun, oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan adanya saran atau kritik yang sifatnya membangun untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan tugas ini terutama kepada dosen pengampu mata kuliah Fikih, Bapak Abdul Hafiz Sairazi, SHI, MHI. Semoga Allah SWT, membalas amal kebaikan. Amin.
Dengan segala pengharapan dan doa semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.



Banjarmasin,   Febuari 2018



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................. iii
BAB I      PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah................................................................................ 2
1.3. Tujuan................................................................................................... 2
BAB II     PEMBAHASAN............................................................................................ 3
2.1. Pengertian Akad Kerjasama................................................................. 3
2.2. Syarat-syarat Akad Kerjasama............................................................. 3
2.3. Jenis-jenis Akad Kerjasama.................................................................. 5
2.4. Tujuan Akad Kerjasama....................................................................... 8
2.5. Berakhirnya Akad Kerjasama.............................................................. 9
BAB III    PENUTUP................................................................................................... 11
3.1. Simpulan............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 14



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Allah SWT. Telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka saling tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, akan tetapi, sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia, dan juga menjaga kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh sebab itu, agama memberi peraturan sebaik-baiknya, karena dengan teraturnya muamalat, maka penghidupan manusia jadi terjamin pula dengan sebaik-baiknya sehingga perbantahan dan dendam-dendaman tidak akan terjadi.[1]
Secara etimologi fiqh mempunyai arti al-fahmu (paham), sedangkan secara definitif fiqh berarti “ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili.” Pendapat yang menarik yang perlu dikaji adalah pernyataan Imam Haramain bahwa fiqh merupakan pengetahuan hukum syara’ dengan jalan ijtihad. Pengetahuan hukum yang tidak melalui ijtihad (kajian), tetapi bersifat dharuri, seperti shalat lima waktu, zina haram, dan masalah-masalah qath’i lainnya yang tidak termasuk fiqh. Pada perkembangan selanjutnya, ulama fiqh membagi beberapa bidang, salah satunya fiqh muamalah. Kata muamalah berasal dari bahasa Arab secara etimologi sama dan semakna dengan kata mufa’alah (saling berbuat). kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Atau muamalah yaitu hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan urusan dunia untuk melanjutkan eksistensi kehidupan seseorang seperti jual beli. Dalam pengertian yang lain, kata muamalah yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hal tukar-menukar harta (termasuk jual beli). dalam redaksi lain fiqh muamalah didefinisikan sebagai hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan-persoalan hukum keduniaan. Misalknya, dalam persoalan jual beli, utang piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerja sama dalam penggerapan tanah, dan sewa-menyewa.
Pengertian fikh muamalah pada mulanya seperti yang seperti diuraikan di atas, memiliki cakupan yang luas, yaitu peraturan-peraturan dari Allah SWT yang harus diikuti dan ditaati oleh manbusia dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia. Namun, belakangan ini pengertian fiqh muamalah lebih banyak dipahami sebagai “aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam memperoleh dan mengembangkan harta benda” atau lebih tepatnya “aturan islam tentang kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia.”[2]
Syirkah merupakan suatu akad dalam bentuk kerja sama, baik dalam bidang modal atau jasa antara sesama pemilik modal dan jasa tersebut.[3]

1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apakah yang dimaksud dari Akad Kerjasama?
1.2.2. Syarat-syarat sahnya Akad Kerjasama?
1.2.3. Jenis-jenis Akad Kerjasama?
1.2.4. Tujuan Akad Kerjasama?
1.2.5. Berakhirnya Akad Kerjasama?

1.3. Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “FIKIH” yang diberikan kepada penulis serta agar mahasiswa/i sebagai umat islam yang di rahmati Allah dapat memahami materi Akad Kerjasama Dalam Fikih Muamalah dengan lebih detail dan bertambahnya ilmu pengetahuannya.















BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Akad Kerjasama
Dalam menjalankan bisnis, satu hal yang sangat penting adalah masalah akad (perjanjian). akad sebagai salah satu cara untuk memperoleh harta dalam syariat islam yang hanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara yang diridhai Allah yang harus ditegakkan isinya.[4] Al-quran surah Al-Maidah (5) ayat 1 menyebutkan: “hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”.[5] kata “akad” berasal dari bahasa Arab al-aqdu dalam bentuk jamak disebut al-uquud yang berarti ikatan atau simpul tali. Menurut para ulama fiqh, kata akad didefinisikan sebagai hubungan ijab dan kabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum dalam perikatan. Rumusan akad di atas didefinisikan bahwa perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad ini diwujudkan pertama, dalam ijab kabul. Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya akibat hukum pada objek perikatan.
Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau transaksi dapat diartikan sebagai kemitraan yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah.
Dalam istilah fiqh, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak, sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa, gadai,[6] dan wakalaf (pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu).[7]
2.2. Syarat-Syarat Akad Kerjasama
Unsur sahnya suatu akad harus memenuhi hukum akad yang merupakan unsur asasi dari akad. Rukun akad tersebut adalah:
a. Al-Aqid atau pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Karena itu, orang gila dan anak kecil yang belum mumayyid tidah sah melakukan transaksi jual beli, kecuali membeli suatu yang kecil-kecil atau murah seperti korek api, korek kuping, dan lain-lain.[8]
b. Shigat atau perbuatan yang menunjukkan terjadinya akad berupa ijab dan kabul. Dalam akad jual beli, ijab adalah ucapan yang diucapkan oleh penjual, sedangkan kabul adalah ucapan setuju dan rela yang berasal dari pembeli.
c. Al-Ma’qud alaih atau objek akad. Objek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan masing-masing pihak.[9]
d. Maudhu’ al-aqd, yaitu atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad.[10]
e. Tujuan pokok akad. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’ dan tujuan akad itu terkait erat dalam berbagai bentuk yang dilakukan. Misalnya tujuan akad jual beli adalah untuk memindahkan hak penjual kepada pembeli dengan imbalan. Dalam akad ijarah, tujuannya adalah pemikiran manfaat orang yang menyewa dan pihak yang menyewakan mendapatkan imbalan, dan dalam ariyah tujuannya adalah pemilikan manfaat oleh pihak yang meminjam tanpa imbalan. Oleh sebab itu, apabila tujuan suatu akad berbeda dengan tujuan aslinya, maka akad itu menjadi tidak sah. Tujuan setiap akad, menurut para ulama fiqh, hanya diketahui melalui syara’ dan harus sejalan dengan kehendak syara’. atas dasar itu, seluruh akad yang mempunyai tujuan dan akibat hukum yang tidak sejalan dengan kehendak syara’, hukumnya tidak sah, seperti berbagai akad yang dilangsungkan dalam rangka menghalalkan riba. misalnya, jual beli al-’ainah (salah satu bentuk akad semu yang diciptakan untuk menghalalkan riba).
2.3. Jenis-Jenis Akad Kerjasama
Dalam kitab-kitab fikih terdapat banyak bentuk akad yang kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variasi jenis-jenis akad.
a. Akad menurut tujuannya terbagi atas dua jenis:
  1) Akad Tabarru yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-mata karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari “return” ataupun motif. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Hibah, Wakaf, Wasiat, Ibra’, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, dan Qirad.
2) Akad Tijari yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi semuanya. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Murabahah, Salam, Istishna’ dan Ijarah Muntahiya bittmalik serta Mudharabah dan Musyarakah.
b. Akad menurut keabsahannya terbagi menjadi kepada tiga jenis:
1) Akad Shahih (Valid Contract) yaitu akad yang memenuhi semua rukun dan syaratnya. Akibat hukumannya adalah perpindahan barang misalnya dari penjual kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual.
2) Akad Fasid (Voidable Contract) yaitu akad yang semua rukun-rukunnya terpenuhi, namun ada syarat yang tidak terpenuhi. Belum terjadi perpindahan barang dari penjual kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual. Sebelum adanya usaha untuk melengkapi syarat tersebut. dengan kata lain akibat hukumnya adalah Mauquf (berhenti dan tertahan untuk sementara).
3) Akad Bathal (Void Contact) yaitu akad dimana salah satu rukunnya tidak terpenuhi dan otomatis syaratnya juga tidak terpenuhi. Akad seperti ini tidak menimbulkan akibat hukum perpindahan harta (harga/uang) dan benda kepada kedua belah pihak.
c. Akad menurut namanya, akad dibedakan menjadi:
1) Akad Bernama (Al-’Uqud al-Musamma) yaitu akad yang sudah ditentukan namanya oleh pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain.
2) Akad tidak bernama (Al-’Uqud gair Al-Musamma) yaitu akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fiqh di bawah satu nama tertentu. Dalam kata lain, akad tidak bernama adalah akad yang tidak ditentukan oleh pembuat hukum namanya yang khusus serta tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya. Terhadapnya berlaku ketentuan-ketentuan umum akad.
d. Akad menurut kedudukannya, dibedakan menjadi:
 1) Akad Pokok (Al-’Aqd al-Ashli) adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak tergantung pada suatu hal lain. Termasuk ke dalam jenis ini adalah semua akad yanag keberadaannya karena dirinya sendiri, seperti akad jual beli, sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai dan seterusnya.
2) Akad Asesoir (Al-’Aqd at-Tab’i) adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri, tetapi tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidak atau sah dan tidak sahnya akad tersebut.
e. Akad dari segi unsur tempo di dalam akad terbagi dari:
1) Akad bertempo adalah akad yang didalamnya unsur waktu merupakan unsur asasi, dalam arti unsur waktu merupakan bagian darin isi perjanjian. Termasuk dalam kategori ini, misalnya adalah akad sewa menyewa, akad penitipan, akad pinjam pakai, akad pemberian kuasa, akad berlangganan majalah atau surat kabar, dan lain-lain.
2) Akad tidak bertempo adalah akad dimana unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli, misalnya, dapat terjadi seketika tanpa perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad tersebut.
f. Akad dari segi Formalitas terbagi dari:
1) Akad konsensual dimaksudkan jenis akad yang untuk terciptanya cukup berdasarkan pada kesepakatan para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas tertentu.
2) Akad Formalistis adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas yang ditentukan oleh pembuat akad, dimana apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi akad tidak sah.
3) Akad riil adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya penyerahan tunai objek akad, dimana akad tersebut belum terjadi dan belum menimbulkan akibat hukum apabila belum dilaksanakan.
g. Dilihat dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh Syara’, akad dibedakan menjadi dua:
1) Akad masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak ada larangan untuk menutupnya, seperti akad-akad yang sudah dikenal luas semisal jual beli, sewa-menyewa[11], Mudharabah (kerja sama antara pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan bagi hasil). dan sebagainya.[12]
2) Akad terlantang akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat seperti akad jual beli janin, akad donasi harta anak di bawak umur, akad yang bertentangan dengan akhlak islam (kesusilaan) dan ketertiban umum seperti sewa-menyewa untuk melakukan kejahatan.
h. Akad menurut dari mengikat dan tidak mengikat terbagi dari:
1) Akad mengikat (al-’aqd al-lazim) adalah akad di mana apabila seluruh rukun dan syaratnya telah terenuhi, maka akad itu mengikat secara penuh dan maisng-masing pihak tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak lain.
2) Akad mengikat satu pihak, yaitu akad di mana salah satu pihak tidak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain, akan tetapi pihak lain dapat membatalkannya tanpa persetujan pihak pertama seperti akad[13] kafalah (Hal menanggung, atau penanggungan terhadap sesuatu)[14] dan gadai (ar-rahn. Hukumnya jaiz menurut kesepakatan para ulama).[15]
i. Akad menurut dapat dilaksanakannya dan tidak dapat dilaksanakannya:
 1) Akad nafiz adalah akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya akad tesebut dilaksanakan. Dengan kata lain, akad nafiz adalah akad yang tercipta secara sah dan langsung menimbulkan akibat hukum sejak saat terjadinya.
2) Akad Mauquf kebalikan dari akad nafiz, yaitu akad yang tidak dapat secara langsung dilaksanakan akibat hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah, tetapi masih tergantung (mauquf) kepada adanya ratifikasi (ijazah) dari pihak berkepentingannya.
        j. Akad menurut tanggungan, kepercayaan bersifat ganda dibagi menjadi dua:
1) aqd adh-dhaman adalah akad yang mengalihkan tanggungan risiko atas kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan akad tersebut, sehingga kerusakan barang yang telah diterimanya melalui akad tersebut berada dalam tanggungannya sekalipun sebagai akibat keadaan memaksa.
2) ‘aqd al-’amanah adalah akad di nmana barang yang dialihkan melalui barang tersebut merupakan amanah di tangan penerima barang tersebut, sehingga ia tidak berkewajiban menanggung risiko atas barang tersebut, kecuali kalau ada unsur kesengajaan, dan melawa hukum. Termasuk akad jenis ini adalah akad penitipan, akad pinjaman, perwakilan (pemberi kuasa).[16]

2.4. Tujuan Akad Kerjasama
     Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad kerjasama dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu:
1. tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
2. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.
3. Tujuan akad harus dibenarkan syara’.[17]
Tujuan akad (maudhu al-’aqd) ialah maksud utama disyariatkan akad itu sendiri. Misalnya, seorang nasabah ingin melakukan jual beli melalui lembaga perbankan syariah tujuannya tentu selain menanpatkan keuntungan secara ekonomi, juga dalam rangka mengamalkan firman Allah (QS. Al-baqarah/2; 275). karena dalam firman tersebut ditegaskan bahwa allah telah menghalalkan jual beli dan mengaramkan riba. Dengan demikian, jika seseorang hamba Allah yang ingin mendapatkan keuntungan hakiki bukan dilakukan dengan cara riba, melainkan dengan cara jual beli. Adapun tujuan jual beli itu sendiri dapat dicapai melalui jenis akad yang digunakan. Namun, apabila dalam jual beli niatnya bukan karena Allah SWT melainkan hanya untuk mencari keuntungan semata, maka hasilnya pun sesuai dengan apa yang diniatkannya itu.[18]
2.5. Berakhirnya Akad Kerjasama
Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam akad jual beli misalnya, akad telah dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. Dalam akad gadai dan pertanggungan (kafalah), akad dipandang telah berakhir apabila utang telah dibayar.
Selain telah tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya.[19]
Fasakh terjadi dengan sebab-sebab sebagai berikut:
1. Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti yang disebutkan dalam akad rusak. Misalnya, dalam jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan.
2. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat, atau majelis.
3. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara lain disebut iqalah. Dalam hubungan ini Hadits Nabi Riwayat Abu Daud mengajarkan, bahwa barang siapa mengabulkan permintaan pembatalan orang yang menyesal atas akad jual beli yang dilakukan, allah akan menghilangkan kesukarannya para hari kiamat kelak.
4. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak bersangkutan, misalnya, dalam khiyar pembayaran (Khiyar naqd) penjual mengatakan, bahwa ia menjual barangnya kepada pembeli, dengan ketentuan apabila dalam tempo seminggu harganya tidak dibayar, akad jual beli menjadi batal. Apabila pembeli dalam waktu yang ditentukan itu membayar, akad berlangsung. Akad tetapi apabila ia tidak membayar, akad akan menjadi rusak batal).
5. Karena habis waktuya, seperti dalam akad sewa-menyewa berjangka waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang.
6. Karena tidak dapat izin pihak yang berwenang.
7. Karena kematian.[20]
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Akad merupakan Kesepekatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih.
            Syarat-Syarat Akad Kerjasama
a. Al-Aqid atau pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum.
b. Shigat atau perbuatan yang menunjukkan terjadinya akad berupa ijab dan kabul.
c. Al-Ma’qud alaih atau objek akad. Objek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan masing-masing pihak.
d. Tujuan pokok akad. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’ dan tujuan akad itu terkait erat dalam berbagai bentuk yang dilakukan.







DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Maidah (5) ayat 1.
Dewi, Gumala,  Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian                  Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016)
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012).
Hiranuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta:     Gentapress, 2008).
Supriyatna, Agus dan Fauzan, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta:   PPHIMM, 2009).
Syafi’ah, M. Abdul Mujieb Mabruri Thohlah Syafi’ah, Kamus Istilah Fiqih,                 (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1991).
http://kingilmu.blogspot.com/.2015/08/pengertian-tujuan-syarat-rukun-dan.html?m=1



[1] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2017), hlm 278.
[2] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012 Ed, 1. Cet 1), hlm 1-3.
[3] http://www.makalah.co.id/2015/10/makalah-lengkap-fiqh-muamalah-syirkah.html?m=1
[4] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012 Ed, 1. Cet 1), hlm 71.
[5] Al-Quran Surah Al-Maidah (5) ayat 1.
[6] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012 Ed, 1. Cet 1), hlm 71-72.
[7] Agus Supriyatna dan Fauzan, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: PPHIMM, 2009), hlm 17.
[8] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012 Ed, 1. Cet 1), hlm 72
[9] Hisranuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: GentaPress, 2008), hlm 8.
[10] http://kingilmu.blogspot.com/.2015/08/pengertian-tujuan-syarat-rukun-dan.html?m=1
[11] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012 Ed, 1. Cet 1), hlm 73-84.
[12] Agus Supriyatna dan Fauzan, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: PPHIMM, 2009), hlm 15.
[13] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012 Ed, 1. Cet 1), hlm 84.
[14] M. Abdul Mujieb Mabruri Thohlah Syafi’ah, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1991), hlm 148.
[15] M. Abdul Mujieb Mabruri Thohlah Syafi’ah, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1991), hlm 81.
[16] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012 Ed, 1. Cet 1), hlm 85-86.
[17] http://kingilmu.blogspot.co.id/2015/08/pengertian-tujuan-syarat-rukun-dan.html?m=1
[18] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012 Ed, 1. Cet 1), hlm 89-90.
[19] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm 94-95.
[20] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012 Ed, 1. Cet 1), hlm 100.

Komentar