Langsung ke konten utama

Makalah Hadis Tentang Tata Pergaulan


HADITS-HADITS TENTANG TATA PERGAULAN


Disusun Oleh

MUHAMMAD ABDI                   : 170101040109
MUHAMMAD FADILLAH         : 170101040237





KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sanjungkan kepada Allah SWT karena dengan limpahan karunia-Nya saya bisa menyelesaikan tugas dengan tepat waktu,mudah mudahan makalah yang saya buat bisa bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua, Amin... Makalah ini merupakan tugas dari mata kuliah HADITS yang berisi tentang “TATA PERGAULAN”.

Saya tahu makalah ini masih jauh dari kesempurnaan untuk disajikan ,maka dari itu kritik dan saran yang membangun saya harapkan demi kesempurnaan penyusunan makalah makalah berikutnya. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu memberikan kelancaran  dalam penyelesaikan tugas ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami penulis dan pembaca. Aamiin


HADIS-HADIS TENTANG TATA PERGAULAN (MU’ASYARAH)

A.      Perintah menyebarkan salam
Pengertian Salam Secara harfiah salam berasal dari kata salima- Yasiamu-Salaamatan, yang berarti selamat. Kata salam yang merupakan isim mashdar dari kata salima memiliki makna yang cukup banyak, diantaranya keselamatan, kedamaian, ketenteraman, penghormatan, ketundukan dan ketaatan. Inilah makna – makna harfiah yang ada dalam salam. Dari kata salima muncul kata aslama yang artinya menyelamatkan, mendamaikan, menenudukkan, dan seterusnya. Dari kata aslama inilah muncul kata islam yang kemudian menjadi nama dari agama kita .
Al-jarjani mendifinisikan salam sebagai selamatnya seseorang dari bencana baik di dunia maupun di akhirat (tajarrud al-nafsi’an al-mihnati al-darain). Dari definisi ini dijelaskan bahwa salam merupakan tujuan utama dari Islam, yakni selamatnya seorang Muslim di dunia dan di akhirat. Salam juga merupakan doa yang berisi permohonan kepada Allah Swt. Agar orang yang diberi salam memperoleh keselamatan di dunia maupun di akhirat.

Karena begitu pentingnya isi dari salam , maka Allah memerintahkan kepada orang – orang yang beriman agar selalu mengucapkan atau menyebarkan salam kepada orang lain yang seiman,

Bila Rasulullah SAW mengabarkan kepada kita bahwa salah satu di antara tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat adalah salam tidak diucapkan kecuali kepada orang-orang yang dikenal saja, dan kaum muslimin telah mengganti kalimat salam tersebut dengan kalimat-kalimat yang sama sekali jauh dari tuntunan sunnah, hari ini kabar beliau tersebut telah semakin nyata kebenarannya.

Terbukti pada hari ini, sebagian kaum muslimin mengucapkan salam hanya kepada orang-orang tertentu saja dari kelompoknya, partainya, golongannya, kaumnya, sukunya, atau hanya kepada orang-orang yang dikenalnya saja. Lebih dari itu, sebagian kaum muslimin yang mengaku dirinya sebagai akademisi muslim, sarjanawan muslim, cendekiawan muslim, dan para ilmuwan muslim yang belajar Islam kepada Barat dan para orientalis telah mengganti kalimat salam dengan kalimat-kalimat yang menurut mereka lebih modern, gaul, dan maju, dan sesuai dengan zaman hari ini, seperti ‘selamat pagi, selamat siang, selamat malam, dan kalimat-kalimat lainnya’, yang tidak lain hanyalah adopsi dan impor dari Barat dan orang-orang kafir.
        
    Namun atas nama kemajuan, pluralis, liberalis, mereka katakana ini bagian dari pada Islam dan bukti bahwa Islam sebagai dari rahmatan lil’alamin.
Dalam hadits :

Hukum Mengucapkan Salam

1.      Mengucapkan Salam
Hukum mengucapkan salam adalah sunnah yang dikuatkan (sunnah mu'akadah). Rasulullah SAW bersabda:"Jika seseorang di antara kalian berjumpa dengan saudaranya, maka hendaklah memberi salam kepadanya. Jika antara dia dan saudaranya terhalang pepohonan, dinding atau bebatuan; kemudian mereka berjumpa kembali, maka ucapkan salam kepadanya" (HR. Abu Daud).




2.      Menjawab Salam
Sedangkan hukum menjawab salam adalah wajib. Sebagaimana firman Allah SWT:" (An Nisaa' ayat  86).                  Artinya: apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.

3.      Ucapan Salam
Ucapan salam yang lengkap adalah "Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh" yang artinya "semoga seluruh keselamatan, rahmat dan berkah Allah dilimpahkan kepada kalian". Ucapan salam ini sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW ketika beliau tengah bersama isterinya, ‘Aisyah RA, beliau bersabda:"Ini Jibril mengucapkan salam kepada kamu". Maka ‘Aisyah RA menjawab:"Wa ‘alaihissalaam warahmatullaahi wabarakaatuh" (HR. Bukhary dan Muslim).

B.       Duduk dipinggir jalan

Larangan keras duduk-duduk di pinggir jalan, sebab itu adalah majelis syaitan, kecuali apabila hak jalan tersebut ditunaikan. Abu Ja'far ath-Thahawi berkata dalam kitabnya Musykilul Atsar (I/158), "Coba perhatikan atsar-atsar ini, ternyata kita dapati bahwa Rasulullah saw. melarang duduk di pinggir jalan. Kemudian beliau membolehkannya dengan catatan harus menunaikan hak-hak jalan tersebut sebagai syarat pembolehannya. Kita juga dapati bahwa larangan duduk di pinggir jalan ditujukan bagi mereka yang tetapi ingin duduk di pinggir jalan tetapi tidak menunaikan syarat-syarat tadi. Padahal duduk di tempat tersebut dibolehkan bagi mereka yang dapat menjamin dirinya menunaikan syarat-syarat dibolehkannya duduk di pinggir jalan."

Dengan demikian, jelaslah perbedaan antara larangan Nabi saw. dan pembolehannya. Dan masing-masing memiliki makna yang berbeda dengan yang lainnya. Hadits ini menunjukkan bolehnya menggunakan jalan umum selama tidak mengganggu pengguna jalan. Jika demikian halnya maka secara akal, apabila duduk di pinggir jalan dapat membuat sempit bagi pengguna jalan, tidak termasuk hal yang dibolehkan oleh Rasulullah saw.

Perkara seperti ini hukumnya sebagaimana yang tercantum dalam hadits Sahl bin Mu'adz al-Juhani dari ayahnya, "Ketika areal perumahan sudah semakin sempit hingga orang-orang menutup jalan untuk perumahan, maka pada beberapa peperangan Rasulullah saw. memerintahkan untuk diumumkan bahwa barangsiapa yang rumahnya sempit lantas ia menutup jalan untuk perumahan maka tidak ada jihad baginya." Oleh karena itu wajib bagi orang yang memiliki akal untuk memahami hadits Rasulullah saw. yang beliau tujukan kepada ummatnya. Sesungguhnya beliau berbicara kepada mereka agar mereka benar-benar berada di atas aturan agama mereka, di atas adab yang berlaku dalam agama mereka, dan hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam agama mereka.

Dan hendaklah ia mengetahui bahwa tidak ada pertentangan di dalam hukum-hukum tersebut. Dan setiap makna yang beliau lontarkan kepada mereka yang mengandung lafadz bertentangan dengan lafadz sebelumnya merupakan lafadz yang memiliki makna yang sejenis dan dicari dari masing-masing kedua makna tersebut. Apabila terdetik dalam hati mereka adanya pertentangan atau perbedaan, berarti makna tersebut bukan seperti yang mereka duga. Dan apabila sebagian orang tidak mengetahui makna tersebut, itu dikarenakan kelemahan ilmunya, bukan karena adanya pertentangan sebagaimana apa yang mereka sangka. Sebab Allah telah menjamin tidak ada pertentangan di dalamnya.
Allah berfirman :  "Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya," (An-Nisaa': 82).[3] 2 Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (XI/11), "Seluruh hadits-hadits ini mengandung 14 adab yang aku susun dalam bait-bait berikut, "Ku kumpulkan beberapa adab untuk mereka yang ingin duduk di pinggir jalan. Dari sabda manusia terbaik. Tebarkan salam dan ucapan baik. Mengucapkan tasymit bagi yang bersin. Membalas salam dengan baik. Membantu sesama dan menolong yang teraniaya. Memberi minum bagi yang haus serta menunjukkan jalan dan kebaikan. Menyuruh berbuat baik, melarang kemungkaran dan tidak mengganggu. Menundukkan pandangan dan banyak berdzikir kepada Allah." Dan termasuk penyebab terlarangnya duduk di pinggir jalan karena akan berhadapan dengan bahaya fitnah wanita-wanita muda dan dikhawatirkan munculnya fitnah setelah melihat mereka.

Padahal para wanita tidak terlarang melintas di jalan-jalan untuk suatu keperluan. Demikian juga jika ia berada di rumahnya, tentunya ia tidak akan berhadapan dengan hak-hak Allah dan hak kaum muslimin di mana ia tidak sendirian dan harus melakukan apa yang wajib ia lakukan, seperti ketika ia melihat kemungkaran dan terhentinya kebaikan, maka pada saat itu seorang muslim wajib menyuruh berbuat baik dan melarang kemungkaran tersebut. Sebab meninggalkan itu semua berarti telah berbuat maksiat.
Demikian juga, ia akan bertemu dengan orang yang akan melintas maka mereka harus menjawab salam mereka. Dan mungkin akan membuatnya bosan menjawab salam jika pelintas yang memberi salam semakin banyak, sementara menjawab salam itu hukumnya wajib. Jika ia tidak jawab salam tentunya ia akan mendapat dosa. Oleh karena itu, orang yang diperintahkan untuk tidak menghadang fitnah dan menyuruh untuk melakukan sesuatu yang diperkirakan ia sanggup melakukannya. Untuk menghindari masalah inilah syari'at menganjurkan mereka agar tidak duduk di pinggir jalan. Ketika para sahabat menyebutkan pentingnya tempat tersebut bagi mereka untuk beberapa maslahat, tempat berjumpa, tempat membincangkan masalah agama dan dunia atau untuk tempat istirahat dengan berbicalah masalah yang hukumnya mubah, maka Rasulullah saw. menunjukkan kepada mereka perkara-perkara di atas yang dapat menghilangkan kerusakan yang timbul akibat duduk di pinggir jalan.
وعن ابي سعيد الخدر رضي الله عنه عن النبي ص.م قال : ايّاكم والجلوس في الطرقات, قالوا : يا رسول الله   ما لنا من مجالسنا بدّ نتحدّث فيها, ققال رسول الله ص.م : فاذا ابيتم الاّ المجلس فاعطوا الطّريق حقّه, قالوا : وما حقّ الطّريق يا رسول الله ؟ قال : غضّ البصر, وكفّ الاذي, وردّ السّلام, والامر بالمعروف, والنّهي عن المنكر, (رواه البخاري و
مسلم)
Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri r.a, bahwasanya Nabi saw. pernah bersabda, "Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan." Para sahabat berkata, "Ya Rasulullah, kami duduk di situ untuk mengobrol, kami tidak bisa meninggalkannya." Beliau bersabda, "Jika kalian tidak mau meninggalkan tempat itu maka kalian harus menunaikan hak jalan." Para sahabat bertanya, "Apa hak jalan itu ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Menundukkan pandangan, membuang hal-hal yang mengganggu di jalan, menjawab salam, memerintahkan perkara ma'ruf, dan melarang perbuatan mungkar," (H.R Bukahri dan Muslim).



C.    Larangan berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram
Larangan Berduaan Tanpa Mahram



وَعَنْهُ رَضِى اللهُ َعْنهُ قَالَ : سَمِعْتُ رسول اللهِ صلى الله عليه و سلم َيخْطُبُ يَقُوْلُ : لاَيَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ اِلاَّوَمَعَهَاذُوْمَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ ِالاَّمَعَ ِذيْ مَحْرَمٍ. فَقَامَ رَجُلٌ. فقال:يارسول الله، ِإنَّ ِإمْرَأَتِى خَرَجَتْ حَا جَّةً وَ ِإنِّى ِاكْتَتَبْتُ فِى غَزْوَةٍ كَذَاوَكَذَا، فَقَالَ : اِنْطَلِقْ فَحَجِّ مَعَ إِ مْرَأَتِكَ. (متفق عليه)

"Ibnu Abbas berkata : "Saya mendengar Rasulullah SAW berkotbah, "Janganlah seorang laki-laki bersama dengan seorang perempuan, melainkan (hendaklah) besertanya (ada) mahramnya, dan janganlah bersafar (bepergian) seorang perempuan, melainkan dengan mahramnya. "Seorang berdiri dan berkata : Ya Rasulullah, istri saya keluar untuk haji, dan saya telah mendaftarkan diri pada peperangan anu dan anu." Maka beliau bersabda, "Pergilah dan berhajilah bersama istrimu." [1]

·  Penjelasan Hadits

Larangan tersebut, antara lain dimaksudkan sebagai batasan dalam pergaulan antara lawan jenis demi menghindari fitnah. Dalam kenyataannya, di negara-negara yang menganut pergaulan bebas, norma-norma hukum dan kesopanan merupakan salah satu pembeda antara manusia dengan binatang seakan-akan hilang. Hal ini karena kesenangan dan kebebasan dijadikan sebagai rujukan utama. Akibatnya, perzinahan sudah bukan hal yang aneh, tetapi sudah biasa terjadi, bahkan di tempat-tempat umum sekalipun. Kalau demikian adanya, apa bedanya antara manusia dengan binatang ?
Oleh karena itu, larangan Islam, tidak semata-mata untuk membatasi pergaulan, tetapi lebih dari itu yaitu, untuk menyelamatkan peradaban manusia. Berduaan dengan lawan jenis merupakan salah satu langkah awal terhadap terjadinya fitnah. Dengan demikian, larangan perbuatan tersebut, sebenarnya sebagai langkah preventif agar tidak melanggar norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh agama dan yang telah disepakati masyarakat.

Adapun larangan kedua, tentang wanita yang bepergian tanpa mahram, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang menyatakan bahwa larangan tersebut sifatnya mutlak. Dengan demikian, perjalanan apa saja, baik yang dekat maupun yang jauh, harus disertai mahram. Ada yang berpendapat bahwa perjalanan tersebut adalah perjalanan jauh yang memerlukan waktu minimal dua hari. Ada pula yang berpendapat bahwa larangan tersebut ditujukan bagi wanita yang masih muda-muda saja, sedangkan bagi wanita yang sudah tua diperbolehkan, dan masih banyak pendapat lainnya.
Sebenarnya, kalau dikaji secara mendalam, larangan wanita mengadakan safar adalah sangat kondisional. Seandainya wanita tersebut dapat menjaga diri dan meyakini tidak akan terjadi apa-apa. Serta merasa bahwa ia akan merepotkan mahramnya setiap kali akan pergi. Maka perjalanannya dibolehkan. Misalnya pergi untuk kuliah, kanotr dan lain-lain yang memang sudah biasa dilakukan setiap hari, apabila kalau kantor atau tempat kuliahnya dekat. Namun demikian, lebih baik ditemani oleh mahramnya, kalau tidak merepotkan dan menganggunya.
Dengan demikian, yang menjadi standar adalah kemaslahatan dan keamanan. Begitu pula pergi haji, kalau diperkirakan akan aman, apalagi pada saat ini telah ada petugas pembimbing haji yang akan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kelancaran para jamaah haji, maka seorang wanita yang pergi haji tidak disertai mahramnya diperbolehkan kalau memang dia sudah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan ibadah haji




D.    Zina anggota tubuh

Macam-macam Zina Anggota Tubuh

Hadisnya yang berbunyi:
حَدَّثَنَا اِسْحَقُ بْنُ مَنْصُوْرٍ أَخْبَرَنَا أَبُو هِشَامٍ المَخْزُوْمِيٍّ حَدَّ ثَنَا وُهَيْبُ حَدَّ ثَنَا سُهَيْلُ اِبْنُ اَبِي صَالِحٍ عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُتِبَ عَلَي اِبْنِ أدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَمَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهَمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الأِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ ( اخرجه مسلم فى كتاب القدر باب قدر على ابن ادم حظه من الزنا وغيره)

Artinya: Abdurrahman Ibn Shakhar (Abu Hurairah) Ra. Bahwa Nabi SAW bersabda: “telah diterapkan bagi anak-anak Adam yang pasti terkena, kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berkata-kata, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah berjalan, hati zinanya adalah keinginan (hasrat) dan yang membenarkan dan mendustakannya adalah kemaluan. (HR. Muslim dalam kitab Qadr bab ketentuan batas-batas ziina dan lainnya bagi anak-anak Adam).[3]
Yaitu zina dengan kedua mata: memandang wanita yang tidak halal, misalnya memandang wanita yang bukan muhrimnya.
Rasulullah SAW bersabda:
زِنَا الْعَيْنَيْنِ النَّظْرُ
“Zina kedua mata ialah memandang wanita yang bukan muhrim.” (H.R. Ibnu Sa’ad, Thabrani, dan Abu Nu’Aim dari Alqamah bin Huwarits)
Adapun Rasulullah SAW bersabda:
نَظْرُ الآَجْنَبِيَّا تِ مِنَ الكَبَا ئِر        ِ
“Memandang wanita ajnabiyyat (bukan muhrim) termasuk dosa-dosa besar”
       Keterangan: Kata Ajnabiyyat, artinya wanita yang halal dinikahi. Termasuk dosa besar, yakni jika dalam pandangan tersebut menimbulkan nafsu dan kecenderungan hati kepadanya, tetapi jika tidak, tidak termasuk dosa besar.
Yaitu zina  kedua kaki: Yaitu barjalan ketempat maksiat. Seperti berjalan ke tempat-tempat yang di larang oleh agama.
Yaitu zina dengan kedua tangan: Yaitu bertindak dengan tangannnya dengan cara kekerasan tanpa alasan yang dibolehkan.
Maka Rasulullah SAW bersabda:
زِنَا الرِّجْلَيْنِ المَشْيُ وَزِنَا الْيَدَيْنِ الْبَطْشُ وَ زِنَا العَيْنَيْنِ النَّظْرُ
“ Zina kedua kaki adalah berjalan, dan zina kedua tangan adalah bertindak dengan kasar, serta zina kedua mata ialah memandang kepada yang tidak halal”
Yaitu zina kedua telinga, ialah mendengar sesuatu yang membuka ‘aib seseorang/ mendengarkan yang tidak baik (menguping).
Yaitu zina lisan, ialah sesuatu yang membuka ‘aib seseorang, beerkata-kata yang kasar, dan  berkata-kata yang tidak benar (menuduh) seseorang berzina,
Yaitu zina dengan hidung, ialah mencium yang bukan muhrim, atau mencium parfum seseorang yang bukan muhrim apabila Ia bersyahwat.
Yaitu degan faraj, ialah memasukkan kemaluan laki-laki kedalam kemaluan perempuan yang tidak halal disetubuhi/yang bukan muhrim.

Maka Rasulullah SAW bersabda :
زَنْيَةٌ وَاحِدَةُ تُحْبِطُ عَمَلَ سَبْعِيْنَ سَنَةً
“Melakukan zina satu kaliakan menghapuskan amal selama tujuh puluh tahun.”.[4]
Riwayat Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya disebutkan bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “seorang ahli ibadah (pendeta)dari Bani Israil telah beribadah kepada Allah Taala selama enam puluh tahun didalam tempat ibadahnya (sinagoga). Suatu ketika, hujan turun dan bumi subur menghijau. Kemudian, pendeta itu melihat dari sinagoga dan memperhatikan, lalu berkata, “jika aku turun dan berzikir kepada Allah, maka akan bertambahlah kebaikan. “ Lalu dia turun dengan membawa sepotong atau dua potong roti. Ketika berjalan, dia bertemu dengan seorang wanita sehingga terjadilah percakapan yang akhirnya melakukan zina, kemudian dia pingsan. Setelah siuman, dia turun kakali untuk mandi. Tiba-tiba datanglah seorang pengemis, lalu pendeta itu menunjuk dengan tangannya kepada pengemis agar mengambil dua potong roti tersebut, kemudian dia meninggal dunia. Lalu, ditimbanglah ibadahnya selama enam puluh tahun dengan perbuatan zinanya dan ternyata zina tersebut lebih berat timbangannya daripada ibadah selama enam puluh tahun. Lalu, dua roti yang dia sedekahkan disimpan dalam itu kebaikannya, maka kebaikannya menjadi lebih berat sehingga dia diampuni.” Demikian tercantum dalam kitab Zawajir.

C.    Unsur-unsur Zina

Meskipun para Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan zina, tetapi mereka sepakat terhadap dua unsure zina, yaitu wathi haram dan sengaja atau ada I’tikad jahat. Seseorang dianggap memiliki I’tikad jahat apabila ia melakukan perzinaan dan ia tahu bahwa perzinaan itu haram.
Yang dimaksud Wathi haram ialah Wathi pada paraj wanita bukan istrinya atau hambanya yang masuknya zakar itu seperti masuknya ember kedalam sumur dan tetap dianggap zina meskipun ada penghalang antara zakar dengan farajnya selama penghalang itu tidak menghalangi kenikmatan.
Dasar keharaman zina dalam syari’at Islam adalah firman Allah SWT sebagai berikut:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿٥
إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٧
Artinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa., Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.(QS. Al-Mukminun:5-7)
Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasaan ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
Dan maksud dari kata melampaui batas diatas, ialah zina, atau homoseksual, dan sebagainya.
































E.     Kesimpulan   

Islam mengajarkan tentang asfek semua kehidupan manusia baik itu tentang akidah dan tentang tata pergaulan sehari-hari, dan dalam makalah ini dapat disimpulakn bahwa
Rasulullah SAW mengabarkan kepada kita bahwa salah satu di antara tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat adalah salam tidak diucapkan kecuali kepada orang-orang yang dikenal saja, dan kaum muslimin telah mengganti kalimat salam tersebut dengan kalimat-kalimat yang sama sekali jauh dari tuntunan sunnah, hari ini kabar beliau tersebut telah semakin nyata kebenarannya.
Dan Larangan keras duduk-duduk di pinggir jalan, sebab itu adalah majelis syaitan, kecuali apabila hak jalan tersebut ditunaikan
Begitu pula larangan berduaan dengan seseorang yang bukan muhrimnya dan Islam, tidak semata-mata untuk membatasi pergaulan, tetapi lebih dari itu yaitu, untuk menyelamatkan peradaban manusia. Berduaan dengan lawan jenis merupakan salah satu langkah awal terhadap terjadinya fitnah. Dengan demikian, larangan perbuatan tersebut, sebenarnya sebagai langkah preventif agar tidak melanggar norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh agama dan yang telah disepakati masyarakat.
Dan juga islam melarang untuk berbuat zina cintihnya zina anggota tubuh karena dalam diri kita terdapat macam-macam indra dan dari bernacam-macam indra tersebut bisa membawa manfaat dan bisa juga membawa mudhorat oleh karna itu islam mengajarkan untuk menjaga diri kita dari segala macam-macam zina.





DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Asy-syifa, (Semarang: 1990)hal 613
Rachmat Syafe'I, Al-Hadits (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum), Jakarta: PT. Pustaka Setia, 2003, h.217
Ja’far, Abidin. 2006. Hadits Nabawi. MT. Furqan: Banjarmasin
Syekh Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-bantani, penafsiran hadits Rasulullah SAW    secara intelektual, Trigendi Karya, (Bandung: 1994), hal 264-266
Fathi Bahansyi, Al-siyasyah al-jinayah, hal 36-37

Komentar