HADITS-HADITS TENTANG TATA PERGAULAN
Disusun Oleh
MUHAMMAD ABDI : 170101040109
MUHAMMAD FADILLAH :
170101040237
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya
sanjungkan kepada Allah SWT karena dengan limpahan karunia-Nya saya bisa
menyelesaikan tugas dengan tepat waktu,mudah mudahan makalah yang saya buat
bisa bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua, Amin... Makalah ini
merupakan tugas dari mata kuliah HADITS yang berisi tentang “TATA PERGAULAN”.
Saya tahu makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
untuk disajikan ,maka dari itu kritik dan saran yang membangun saya harapkan
demi kesempurnaan penyusunan makalah makalah berikutnya. Saya mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu memberikan kelancaran dalam penyelesaikan tugas ini, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kami penulis dan pembaca. Aamiin
HADIS-HADIS TENTANG TATA PERGAULAN
(MU’ASYARAH)
A.
Perintah menyebarkan salam
Pengertian Salam Secara harfiah salam berasal dari
kata salima- Yasiamu-Salaamatan, yang berarti selamat. Kata salam yang
merupakan isim mashdar dari kata salima memiliki makna yang cukup banyak,
diantaranya keselamatan, kedamaian, ketenteraman, penghormatan, ketundukan dan
ketaatan. Inilah makna – makna harfiah yang ada dalam salam. Dari kata salima
muncul kata aslama yang artinya menyelamatkan, mendamaikan, menenudukkan, dan
seterusnya. Dari kata aslama inilah muncul kata islam yang kemudian menjadi
nama dari agama kita .
Al-jarjani mendifinisikan salam sebagai
selamatnya seseorang dari bencana baik di dunia maupun di akhirat (tajarrud
al-nafsi’an al-mihnati al-darain). Dari definisi ini dijelaskan bahwa salam
merupakan tujuan utama dari Islam, yakni selamatnya seorang Muslim di dunia dan
di akhirat. Salam juga merupakan doa yang berisi permohonan kepada Allah Swt.
Agar orang yang diberi salam memperoleh keselamatan di dunia maupun di akhirat.
Karena begitu pentingnya isi dari salam , maka
Allah memerintahkan kepada orang – orang yang beriman agar selalu mengucapkan
atau menyebarkan salam kepada orang lain yang seiman,
Bila Rasulullah SAW mengabarkan kepada kita
bahwa salah satu di antara tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat adalah salam
tidak diucapkan kecuali kepada orang-orang yang dikenal saja, dan kaum muslimin
telah mengganti kalimat salam tersebut dengan kalimat-kalimat yang sama sekali
jauh dari tuntunan sunnah, hari ini kabar beliau tersebut telah semakin nyata
kebenarannya.
Terbukti pada hari ini, sebagian kaum muslimin
mengucapkan salam hanya kepada orang-orang tertentu saja dari kelompoknya,
partainya, golongannya, kaumnya, sukunya, atau hanya kepada orang-orang yang
dikenalnya saja. Lebih dari itu, sebagian kaum muslimin yang mengaku dirinya
sebagai akademisi muslim, sarjanawan muslim, cendekiawan muslim, dan para
ilmuwan muslim yang belajar Islam kepada Barat dan para orientalis telah
mengganti kalimat salam dengan kalimat-kalimat yang menurut mereka lebih
modern, gaul, dan maju, dan sesuai dengan zaman hari ini, seperti ‘selamat pagi,
selamat siang, selamat malam, dan kalimat-kalimat lainnya’, yang tidak lain
hanyalah adopsi dan impor dari Barat dan orang-orang kafir.
Namun atas nama kemajuan, pluralis,
liberalis, mereka katakana ini bagian dari pada Islam dan bukti bahwa Islam
sebagai dari rahmatan lil’alamin.
Dalam hadits :
Hukum Mengucapkan Salam
1. Mengucapkan Salam
Hukum mengucapkan salam adalah sunnah yang dikuatkan (sunnah
mu'akadah). Rasulullah SAW bersabda:"Jika seseorang di antara kalian
berjumpa dengan saudaranya, maka hendaklah memberi salam kepadanya. Jika antara
dia dan saudaranya terhalang pepohonan, dinding atau bebatuan; kemudian mereka
berjumpa kembali, maka ucapkan salam kepadanya" (HR. Abu Daud).
2. Menjawab Salam
Sedangkan hukum menjawab salam adalah wajib. Sebagaimana firman
Allah SWT:" (An Nisaa' ayat
86). Artinya:
apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan
segala sesuatu.
3. Ucapan Salam
Ucapan salam yang lengkap adalah "Assalaamu ‘alaikum
warahmatullaahi wabarakaatuh" yang artinya "semoga seluruh
keselamatan, rahmat dan berkah Allah dilimpahkan kepada kalian". Ucapan
salam ini sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW ketika beliau tengah bersama
isterinya, ‘Aisyah RA, beliau bersabda:"Ini Jibril mengucapkan salam
kepada kamu". Maka ‘Aisyah RA menjawab:"Wa ‘alaihissalaam
warahmatullaahi wabarakaatuh" (HR. Bukhary dan Muslim).
B.
Duduk dipinggir jalan
Larangan
keras duduk-duduk di pinggir jalan, sebab itu adalah majelis syaitan, kecuali
apabila hak jalan tersebut ditunaikan. Abu Ja'far ath-Thahawi berkata dalam
kitabnya Musykilul Atsar (I/158), "Coba perhatikan atsar-atsar ini,
ternyata kita dapati bahwa Rasulullah saw. melarang duduk di pinggir jalan.
Kemudian beliau membolehkannya dengan catatan harus menunaikan hak-hak jalan
tersebut sebagai syarat pembolehannya. Kita juga dapati bahwa larangan duduk di
pinggir jalan ditujukan bagi mereka yang tetapi ingin duduk di pinggir jalan
tetapi tidak menunaikan syarat-syarat tadi. Padahal duduk di tempat tersebut
dibolehkan bagi mereka yang dapat menjamin dirinya menunaikan syarat-syarat
dibolehkannya duduk di pinggir jalan."
Dengan demikian, jelaslah perbedaan antara larangan Nabi
saw. dan pembolehannya. Dan
masing-masing memiliki makna yang berbeda dengan yang lainnya. Hadits ini menunjukkan bolehnya menggunakan
jalan umum selama tidak mengganggu pengguna jalan. Jika demikian halnya maka
secara akal, apabila duduk di pinggir jalan dapat membuat sempit bagi pengguna
jalan, tidak termasuk hal yang dibolehkan oleh Rasulullah saw.
Perkara seperti ini hukumnya sebagaimana yang tercantum
dalam hadits Sahl bin Mu'adz al-Juhani dari ayahnya, "Ketika areal
perumahan sudah semakin sempit hingga orang-orang menutup jalan untuk
perumahan, maka pada beberapa peperangan Rasulullah saw. memerintahkan untuk
diumumkan bahwa barangsiapa yang rumahnya sempit lantas ia menutup jalan untuk
perumahan maka tidak ada jihad baginya." Oleh karena itu wajib bagi orang
yang memiliki akal untuk memahami hadits Rasulullah saw. yang beliau tujukan
kepada ummatnya. Sesungguhnya beliau berbicara kepada mereka agar mereka
benar-benar berada di atas aturan agama mereka, di atas adab yang berlaku dalam
agama mereka, dan hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam agama mereka.
Dan hendaklah ia mengetahui bahwa tidak ada pertentangan
di dalam hukum-hukum tersebut. Dan setiap makna yang beliau lontarkan kepada
mereka yang mengandung lafadz bertentangan dengan lafadz sebelumnya merupakan
lafadz yang memiliki makna yang sejenis dan dicari dari masing-masing kedua
makna tersebut. Apabila terdetik dalam hati mereka adanya pertentangan atau
perbedaan, berarti makna tersebut bukan seperti yang mereka duga. Dan apabila
sebagian orang tidak mengetahui makna tersebut, itu dikarenakan kelemahan
ilmunya, bukan karena adanya pertentangan sebagaimana apa yang mereka sangka.
Sebab Allah telah menjamin tidak ada pertentangan di dalamnya.
Allah berfirman :
"Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya," (An-Nisaa': 82).[3] 2
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (XI/11), "Seluruh
hadits-hadits ini mengandung 14 adab yang aku susun dalam bait-bait berikut,
"Ku kumpulkan beberapa adab untuk mereka yang ingin duduk di pinggir
jalan. Dari sabda manusia terbaik. Tebarkan salam dan ucapan baik. Mengucapkan
tasymit bagi yang bersin. Membalas
salam dengan baik. Membantu sesama dan menolong yang teraniaya. Memberi minum bagi yang haus serta menunjukkan
jalan dan kebaikan. Menyuruh berbuat baik, melarang kemungkaran dan tidak
mengganggu. Menundukkan pandangan dan banyak berdzikir kepada Allah." Dan
termasuk penyebab terlarangnya duduk di pinggir jalan karena akan berhadapan
dengan bahaya fitnah wanita-wanita muda dan dikhawatirkan munculnya fitnah
setelah melihat mereka.
Padahal para wanita tidak terlarang melintas di
jalan-jalan untuk suatu keperluan. Demikian juga jika ia berada di rumahnya,
tentunya ia tidak akan berhadapan dengan hak-hak Allah dan hak kaum muslimin di
mana ia tidak sendirian dan harus melakukan apa yang wajib ia lakukan, seperti
ketika ia melihat kemungkaran dan terhentinya kebaikan, maka pada saat itu
seorang muslim wajib menyuruh berbuat baik dan melarang kemungkaran tersebut.
Sebab meninggalkan itu semua berarti telah berbuat maksiat.
Demikian juga, ia akan bertemu dengan orang yang akan
melintas maka mereka harus menjawab salam mereka. Dan mungkin akan membuatnya
bosan menjawab salam jika pelintas yang memberi salam semakin banyak, sementara
menjawab salam itu hukumnya wajib. Jika ia tidak jawab salam tentunya ia akan
mendapat dosa. Oleh karena itu, orang yang diperintahkan untuk tidak menghadang
fitnah dan menyuruh untuk melakukan sesuatu yang diperkirakan ia sanggup
melakukannya. Untuk menghindari masalah inilah syari'at menganjurkan mereka agar
tidak duduk di pinggir jalan. Ketika para sahabat menyebutkan pentingnya tempat
tersebut bagi mereka untuk beberapa maslahat, tempat berjumpa, tempat
membincangkan masalah agama dan dunia atau untuk tempat istirahat dengan
berbicalah masalah yang hukumnya mubah, maka Rasulullah saw. menunjukkan kepada
mereka perkara-perkara di atas yang dapat menghilangkan kerusakan yang timbul
akibat duduk di pinggir jalan.
وعن ابي سعيد الخدر رضي الله عنه عن النبي ص.م قال : ايّاكم والجلوس
في الطرقات, قالوا : يا رسول الله ما لنا
من مجالسنا بدّ نتحدّث فيها, ققال رسول الله ص.م : فاذا ابيتم الاّ المجلس فاعطوا
الطّريق حقّه, قالوا : وما حقّ الطّريق يا رسول الله ؟ قال : غضّ البصر, وكفّ
الاذي, وردّ السّلام, والامر بالمعروف, والنّهي عن المنكر, (رواه البخاري و
مسلم)
Diriwayatkan
dari Abu Sa'id al-Khudri r.a, bahwasanya Nabi saw. pernah bersabda,
"Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan." Para sahabat
berkata, "Ya Rasulullah, kami duduk di situ untuk mengobrol, kami tidak
bisa meninggalkannya." Beliau bersabda, "Jika kalian tidak mau meninggalkan
tempat itu maka kalian harus menunaikan hak jalan." Para sahabat bertanya,
"Apa hak jalan itu ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Menundukkan
pandangan, membuang hal-hal yang mengganggu di jalan, menjawab salam,
memerintahkan perkara ma'ruf, dan melarang perbuatan mungkar," (H.R
Bukahri dan Muslim).
C.
Larangan berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram
Larangan
Berduaan Tanpa Mahram
وَعَنْهُ
رَضِى اللهُ َعْنهُ قَالَ : سَمِعْتُ رسول اللهِ صلى الله عليه و سلم َيخْطُبُ يَقُوْلُ
: لاَيَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ اِلاَّوَمَعَهَاذُوْمَحْرَمٍ وَلاَ
تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ ِالاَّمَعَ ِذيْ مَحْرَمٍ. فَقَامَ رَجُلٌ. فقال:يارسول
الله، ِإنَّ ِإمْرَأَتِى خَرَجَتْ حَا جَّةً وَ ِإنِّى ِاكْتَتَبْتُ فِى غَزْوَةٍ
كَذَاوَكَذَا، فَقَالَ : اِنْطَلِقْ فَحَجِّ مَعَ إِ مْرَأَتِكَ. (متفق عليه)
"Ibnu
Abbas berkata : "Saya mendengar Rasulullah SAW berkotbah, "Janganlah
seorang laki-laki bersama dengan seorang perempuan, melainkan (hendaklah)
besertanya (ada) mahramnya, dan janganlah bersafar (bepergian) seorang
perempuan, melainkan dengan mahramnya. "Seorang berdiri dan berkata : Ya
Rasulullah, istri saya keluar untuk haji, dan saya telah mendaftarkan diri pada
peperangan anu dan anu." Maka beliau bersabda, "Pergilah dan berhajilah
bersama istrimu." [1]
· Penjelasan Hadits
Larangan
tersebut, antara lain dimaksudkan sebagai batasan dalam pergaulan antara lawan
jenis demi menghindari fitnah. Dalam kenyataannya, di negara-negara yang
menganut pergaulan bebas, norma-norma hukum dan kesopanan merupakan salah satu
pembeda antara manusia dengan binatang seakan-akan hilang. Hal ini karena kesenangan dan kebebasan
dijadikan sebagai rujukan utama. Akibatnya, perzinahan sudah bukan hal yang
aneh, tetapi sudah biasa terjadi, bahkan di tempat-tempat umum sekalipun. Kalau
demikian adanya, apa bedanya antara manusia dengan binatang ?
Oleh karena itu, larangan Islam, tidak semata-mata untuk
membatasi pergaulan, tetapi lebih dari itu yaitu, untuk menyelamatkan peradaban
manusia. Berduaan dengan lawan jenis merupakan salah satu langkah awal terhadap
terjadinya fitnah. Dengan demikian, larangan perbuatan tersebut, sebenarnya
sebagai langkah preventif agar tidak melanggar norma-norma hukum yang telah
ditetapkan oleh agama dan yang telah disepakati masyarakat.
Adapun larangan kedua, tentang wanita yang bepergian
tanpa mahram, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang
menyatakan bahwa larangan tersebut sifatnya mutlak. Dengan demikian, perjalanan
apa saja, baik yang dekat maupun yang jauh, harus disertai mahram. Ada yang
berpendapat bahwa perjalanan tersebut adalah perjalanan jauh yang memerlukan
waktu minimal dua hari. Ada pula yang berpendapat bahwa larangan tersebut
ditujukan bagi wanita yang masih muda-muda saja, sedangkan bagi wanita yang
sudah tua diperbolehkan, dan masih banyak pendapat lainnya.
Sebenarnya, kalau dikaji secara mendalam, larangan wanita
mengadakan safar adalah sangat kondisional. Seandainya wanita tersebut dapat
menjaga diri dan meyakini tidak akan terjadi apa-apa. Serta merasa bahwa ia
akan merepotkan mahramnya setiap kali akan pergi. Maka perjalanannya
dibolehkan. Misalnya pergi untuk kuliah, kanotr dan lain-lain yang memang sudah
biasa dilakukan setiap hari, apabila kalau kantor atau tempat kuliahnya dekat.
Namun demikian, lebih baik ditemani oleh mahramnya, kalau tidak merepotkan dan
menganggunya.
Dengan demikian, yang menjadi standar adalah kemaslahatan dan keamanan.
Begitu pula pergi haji, kalau diperkirakan akan aman, apalagi pada saat ini
telah ada petugas pembimbing haji yang akan bertanggung jawab terhadap
keselamatan dan kelancaran para jamaah haji, maka seorang wanita yang pergi
haji tidak disertai mahramnya diperbolehkan kalau memang dia sudah memenuhi
persyaratan untuk melaksanakan ibadah haji
D. Zina anggota tubuh
Macam-macam
Zina Anggota Tubuh
Hadisnya yang berbunyi:
حَدَّثَنَا اِسْحَقُ بْنُ مَنْصُوْرٍ
أَخْبَرَنَا أَبُو هِشَامٍ المَخْزُوْمِيٍّ حَدَّ ثَنَا وُهَيْبُ حَدَّ ثَنَا
سُهَيْلُ اِبْنُ اَبِي صَالِحٍ عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّي
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُتِبَ عَلَي اِبْنِ أدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ
الزِنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَمَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهَمَا النَّظَرُ
وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الأِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ
وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ ( اخرجه مسلم فى كتاب
القدر باب قدر على ابن ادم حظه من الزنا وغيره)
Artinya:
Abdurrahman Ibn Shakhar (Abu Hurairah) Ra. Bahwa Nabi SAW bersabda: “telah
diterapkan bagi anak-anak Adam yang pasti terkena, kedua mata zinanya adalah
melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah
berkata-kata, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah berjalan,
hati zinanya adalah keinginan (hasrat) dan yang membenarkan dan mendustakannya
adalah kemaluan. (HR. Muslim dalam kitab Qadr bab ketentuan batas-batas ziina
dan lainnya bagi anak-anak Adam).[3]
Yaitu zina
dengan kedua mata: memandang wanita yang tidak halal, misalnya memandang wanita
yang bukan muhrimnya.
Rasulullah SAW bersabda:
زِنَا الْعَيْنَيْنِ النَّظْرُ
“Zina kedua mata ialah memandang wanita yang bukan muhrim.” (H.R. Ibnu
Sa’ad, Thabrani, dan Abu Nu’Aim dari Alqamah bin Huwarits)
Adapun Rasulullah SAW bersabda:
نَظْرُ الآَجْنَبِيَّا تِ مِنَ الكَبَا ئِر ِ
“Memandang
wanita ajnabiyyat (bukan muhrim) termasuk dosa-dosa besar”
Keterangan: Kata Ajnabiyyat, artinya wanita
yang halal dinikahi. Termasuk dosa besar, yakni jika dalam pandangan tersebut
menimbulkan nafsu dan kecenderungan hati kepadanya, tetapi jika tidak, tidak
termasuk dosa besar.
Yaitu zina kedua kaki: Yaitu
barjalan ketempat maksiat. Seperti berjalan ke tempat-tempat yang di larang
oleh agama.
Yaitu zina dengan kedua tangan: Yaitu bertindak dengan tangannnya dengan
cara kekerasan tanpa alasan yang dibolehkan.
Maka Rasulullah SAW bersabda:
زِنَا الرِّجْلَيْنِ المَشْيُ وَزِنَا الْيَدَيْنِ
الْبَطْشُ وَ زِنَا العَيْنَيْنِ النَّظْرُ
“ Zina kedua kaki adalah berjalan, dan zina kedua tangan adalah bertindak
dengan kasar, serta zina kedua mata ialah memandang kepada yang tidak halal”
Yaitu zina kedua telinga, ialah mendengar sesuatu yang
membuka ‘aib seseorang/ mendengarkan yang tidak baik (menguping).
Yaitu zina lisan, ialah sesuatu yang membuka ‘aib seseorang, beerkata-kata
yang kasar, dan berkata-kata yang tidak
benar (menuduh) seseorang berzina,
Yaitu zina dengan hidung, ialah mencium yang bukan muhrim, atau mencium
parfum seseorang yang bukan muhrim apabila Ia bersyahwat.
Yaitu degan faraj, ialah memasukkan kemaluan laki-laki kedalam kemaluan
perempuan yang tidak halal disetubuhi/yang bukan muhrim.
Maka Rasulullah SAW bersabda :
زَنْيَةٌ وَاحِدَةُ تُحْبِطُ عَمَلَ سَبْعِيْنَ سَنَةً
“Melakukan zina satu kaliakan menghapuskan amal selama tujuh puluh
tahun.”.[4]
Riwayat Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya disebutkan bahwa Rasulullah SAW.
Bersabda, “seorang ahli ibadah (pendeta)dari Bani Israil telah beribadah kepada
Allah Taala selama enam puluh tahun didalam tempat ibadahnya (sinagoga). Suatu
ketika, hujan turun dan bumi subur menghijau. Kemudian, pendeta itu melihat
dari sinagoga dan memperhatikan, lalu berkata, “jika aku turun dan berzikir
kepada Allah, maka akan bertambahlah kebaikan. “ Lalu dia turun dengan membawa sepotong atau dua potong roti.
Ketika berjalan, dia bertemu dengan seorang wanita sehingga terjadilah
percakapan yang akhirnya melakukan zina, kemudian dia pingsan. Setelah siuman,
dia turun kakali untuk mandi. Tiba-tiba datanglah seorang pengemis, lalu
pendeta itu menunjuk dengan tangannya kepada pengemis agar mengambil dua potong
roti tersebut, kemudian dia meninggal dunia. Lalu, ditimbanglah ibadahnya
selama enam puluh tahun dengan perbuatan zinanya dan ternyata zina tersebut
lebih berat timbangannya daripada ibadah selama enam puluh tahun. Lalu, dua
roti yang dia sedekahkan disimpan dalam itu kebaikannya, maka kebaikannya
menjadi lebih berat sehingga dia diampuni.” Demikian tercantum dalam kitab
Zawajir.
C. Unsur-unsur Zina
Meskipun
para Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan zina, tetapi mereka sepakat
terhadap dua unsure zina, yaitu wathi haram dan sengaja atau ada I’tikad jahat.
Seseorang dianggap memiliki I’tikad jahat apabila ia melakukan perzinaan dan ia
tahu bahwa perzinaan itu haram.
Yang dimaksud
Wathi haram ialah Wathi pada paraj wanita bukan istrinya atau hambanya yang
masuknya zakar itu seperti masuknya ember kedalam sumur dan tetap dianggap zina
meskipun ada penghalang antara zakar dengan farajnya selama penghalang itu
tidak menghalangi kenikmatan.
Dasar keharaman zina dalam syari’at
Islam adalah firman Allah SWT sebagai berikut:
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿٥
إِلَّا
عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
﴿٦
فَمَنِ
ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٧
Artinya: Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
terceIa., Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang
yang melampaui batas.(QS. Al-Mukminun:5-7)
Maksudnya:
budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan
budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan
orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada
kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasaan ini bukanlah suatu
yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang
dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
Dan maksud dari
kata melampaui batas diatas, ialah zina, atau homoseksual, dan sebagainya.
E.
Kesimpulan
Islam mengajarkan tentang asfek semua kehidupan manusia baik itu
tentang akidah dan tentang tata pergaulan sehari-hari, dan dalam makalah ini
dapat disimpulakn bahwa
Rasulullah SAW mengabarkan kepada kita bahwa salah satu di antara
tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat adalah salam tidak diucapkan kecuali
kepada orang-orang yang dikenal saja, dan kaum muslimin telah mengganti kalimat
salam tersebut dengan kalimat-kalimat yang sama sekali jauh dari tuntunan
sunnah, hari ini kabar beliau tersebut telah semakin nyata kebenarannya.
Dan Larangan keras duduk-duduk di pinggir jalan, sebab itu adalah
majelis syaitan, kecuali apabila hak jalan tersebut ditunaikan
Begitu pula larangan berduaan dengan seseorang yang bukan muhrimnya
dan Islam, tidak semata-mata untuk membatasi pergaulan, tetapi lebih dari itu
yaitu, untuk menyelamatkan peradaban manusia. Berduaan dengan lawan jenis
merupakan salah satu langkah awal terhadap terjadinya fitnah. Dengan demikian,
larangan perbuatan tersebut, sebenarnya sebagai langkah preventif agar tidak
melanggar norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh agama dan yang telah
disepakati masyarakat.
Dan juga islam melarang untuk berbuat zina cintihnya zina anggota
tubuh karena dalam diri kita terdapat macam-macam indra dan dari bernacam-macam
indra tersebut bisa membawa manfaat dan bisa juga membawa mudhorat oleh karna
itu islam mengajarkan untuk menjaga diri kita dari segala macam-macam zina.
DAFTAR
PUSTAKA
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,
Asy-syifa, (Semarang: 1990)hal 613
Rachmat Syafe'I, Al-Hadits (Aqidah,
Akhlaq, Sosial dan Hukum), Jakarta: PT. Pustaka Setia, 2003, h.217
Ja’far, Abidin. 2006. Hadits
Nabawi. MT. Furqan: Banjarmasin
Syekh Muhammad bin Umar An-Nawawi
Al-bantani, penafsiran hadits Rasulullah SAW secara intelektual, Trigendi Karya,
(Bandung: 1994), hal 264-266
Fathi Bahansyi, Al-siyasyah al-jinayah, hal 36-37
Komentar
Posting Komentar